Soal Pernyataan Menteri Hadi Sebut Warga Rempang Tak Punya Sertifikat, Begini Respons Walhi

"Selama hampir dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, kementerian ini kemana saja. Skema Tora maupun perhutanan sosial seharusnya sudah terlaksana di Rempang sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi," kata Boy, Kamis (14/9).

Sep 16, 2023 - 15:02
Soal Pernyataan Menteri Hadi Sebut Warga Rempang Tak Punya Sertifikat, Begini Respons Walhi

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengkritik Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang menyebut warga Rempang, Batam tak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.

Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring berpendapat seharusnya negara dalam hal ini Kementerian ATR/BPN memberikan legalitas tanah itu kepada masyarakat sejak lama. Pasalnya, warga telah tinggal di lahan itu sejak 1834.

Dia pun menyinggung komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap 9 juta hektare yang akan ditata kepemilikannya lewat reforma agraria. Jokowi juga menyebut 4,9 juta hektare tanah negara bisa diberikan kepemilikannya pada rakyat.

"Selama hampir dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, kementerian ini kemana saja. Skema Tora maupun perhutanan sosial seharusnya sudah terlaksana di Rempang sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi," kata Boy kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/9).

Boy juga menyebut pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN yang mengatakan masyarakat belum punya sertifikat merupakan pernyataan yang harus dikembalikan ke kementerian tersebut.

Menurut Boy, Kementerian ATR/BPN seharusnya proaktif untuk untuk melegalisasi tanah warga di 16 kampung Melayu di Rempang, bukan merelokasinya.

"Mengapa tidak pro aktif melegalisasi tanah tanah yang dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat dan tempatan di Rempang," ujar dia.

Boy heran pernyataan pemerintah selama ini seakan ingin mengambil tanah yang telah ditempati warga jauh sebelum Indonesia mereda. Menurutnya, relokasi bukan lah opsi.

"Pendekatan win win solution bukan rencana yang tepat. Misalnya kamu punya rumah, dicaplok sama orang terus ditawari win win solution. Saya terus terang berani mengatakan negara merampas tanah rakyat. Dari mana rumusnya," ucap dia.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki sertifikat kepemilikan.

"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa (11/9) seperti dikutip dari Antara.

Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada perusahaan terkait.

Selain itu, Hadi mengatakan sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Ia mengklaim hampir 50 persen dari warga menerima usulan yang telah disampaikan terkait relokasi untuk Rempang Eco City.

Anak SD Korban Gas Air Mata di Rempang Takut Sekolah

Terpisah, Juru Bicara Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), Suardi Mongga mengungkapkan anak-anak yang terkena dampak gas air mata dari aparat saat bentrok dengan warga penolak relokasi di Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada 7 September lalu lalu hingga saat ini masih trauma.

Suardi mengatakan anak-anak yang trauma itu kebanyakan masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Bahkan, kata Suardi, beberapa anak takut untuk berangkat sekolah.

"Ada 20 sampai 25 [anak yang terkena gas air mata], dari SMP dan SD. Kalau untuk anak SD itu lagi tak berani sekolah. Jadi ada rasa takut, berangkat aja takut," kata Suardi saat dihubungiCNNIndonesia.com, Kamis (14/9).

Suardi menyampaikan secara mental, anak-anak butuh pemulihan. Menurutnya, momen anak-anak terkena gas air mata itu akan menjadi suatu pengalaman buruk.

"Namanya mental. Untuk memulihkan mental itu butuh waktu lama dan itu saya rasa kan menjadi sejarah yang tidak dapat dilupakan," ujarnya.

Sebelumnya, aparat gabungan TNI, Polri, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP terlibat bentrok dengan warga Rempang, Batam, Kamis (7/9). Belasan anak sekolah terkena gas air mata.

Dilansir dari Antara, bentrok itu terjadi saat proses pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Keributan pecah saat petugas gabungan tiba di lokasi.

Keributan dipicu karena warga masih belum setuju dengan pengembangan kawasan tersebut yang merupakan kampung adat masyarakat Melayu. Akibat keributan tersebut, petugas terpaksa menembakkan gas air mata karena situasi yang tidak kondusif.

Antara melaporkan beberapa siswa sekolah dibawa ke rumah sakit akibat terkena gas air mata yang terbawa angin. Lokasi anak-anak itu tidak jauh dari titik keributan.

"Ada belasan siswa yang saya tahu dibawa oleh ambulans ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Gas air mata itu tadi terbawa angin, karena ribut dekat dari sekolah kami," ujar Kepala Sekolah SMP Negeri 22 Muhammad Nazib.

Sementara itu, Mabes Polri menyatakan penggunaan gas air mata oleh petugas saat bentrok di Pulau Rempang, Batam, sudah sesuai prosedur. Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menilai tak ada lagi yang perlu dievaluasi.

"Apa yang dievaluasi? Jadi beberapa informasi yang viral itu tidak benar," kata Ramadhan saat ditanya soal penggunaan gas air mata Rempang dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (8/9).

Senada, Kabid Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan pihaknya sudah sesuai aturan saat melontarkan gas air mata ke arah massa.

"Gas air mata sudah sesuai prosedur karena mereka lempar batu," kata Zahwani saat dihubungi, Kamis (7/9).

Dia membantah pihaknya mengarahkan gas air mata ke anak sekolah. Ia menyebut gas air mata yang mengenai sejumlah anak sekolah itu lantaran lokasi bentrokan yang berdekatan dengan sekolah.

"Sekolah berbatasan dengan tempat mereka berkumpul. Engak mungkin gas air mata diarahkan ke sekolah," ujarnya.

"Gas (air mata) dialihkan ke kerumunan tapi tertiup angin," kata Zahwani.(han)