Melihat Gelagat MK Jelang Putusan Batas Usia Capres-Cawapres

Denny menduga putusan MK bisa saja mengabulkan syarat usia menjadi 35 tahun atau tetap pada 40 tahun tetapi dibuka kesempatan bagi yang telah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Oct 12, 2023 - 17:07
Melihat Gelagat MK Jelang Putusan Batas Usia Capres-Cawapres

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) bakal memutus perkara uji materiel atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10) mendatang.

Ketua MK yang juga adik ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman menyebut putusan uji materiel tersebut sudah di tahap finalisasi.

Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana memprediksi MK bakal mengabulkan permohonan tersebut.

Ia memperkirakan lima hakim konstitusi bakal mengabulkan, sedangkan empat hakim lainnya memberikan dissenting opinion.

Denny menduga putusan MK bisa saja mengabulkan syarat usia menjadi 35 tahun atau tetap pada 40 tahun tetapi dibuka kesempatan bagi yang telah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Adapun pembacaan putusan MK itu hanya berselang tiga hari sebelum masa pendaftaran capres-cawapres ke KPU yang dibuka pada 19-25 Oktober 2023.

Tak ayal, sejumlah pihak menduga jika benar MK mengabulkan permohonan ini, maka ada upaya meloloskan seseorang untuk maju di Pilpres 2024. Ialah putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Salah satu pemohon dalam gugatan uji materi di persidangan bahkan menyinggung peran Gibran selaku pemimpin muda yang patut dipertimbangkan kapabilitasnya.

Usia Gibran diketahui tak memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai capres maupun cawapres jika mengacu Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Kini, ia masih berusia 36 tahun.

Penopang dinasti Jokowi

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengatakan soal batas usia untuk menduduki jabatan bukanlah isu konstitusional, tetapi kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Maka tidak seharusnya diuji oleh MK.

Namun, menurutnya, operasi politik pengusung dinasti Jokowi hampir menggoyahkan MK untuk memenuhi hasrat kandidasi anak Presiden.

Dia mengingatkan, jika permohonan uji materiel ini dikabulkan, maka MK bukan hanya inkonsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, tetapi juga kehilangan integritas dan kenegarawanan.

"MK akan menjadi penopang dinasti Jokowi, jika karena putusannya, Gibran bisa berlaga dan memenangi Pilpres. Ini adalah cara politik terburuk yang dijalankan oleh penguasa dari semua Presiden yang pernah menjabat," ujar Hendardi dalam keterangannya, Senin (9/10).

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menegaskan seharusnya sejak awal MK membatasi diri untuk tak memeriksa gugatan tersebut.

"Seharusnya dari awal MK sudah melakukan pengekangan diri untuk tidak memeriksa permohonan karena perkara ini bisa dikategorikan sebagai 'mega politics'," kata Susi, mengutip CNNIndonesia.com, Selasa (10/10 malam.

Terlebih, kata Susi, perkara ini diduga juga akan bertalian dengan upaya partai politik untuk mengusung Gibran sebagai cawapres. Oleh karenanya, ia berpendapat nuansa konflik kepentingan dalam perkara ini sangatlah kental.

"Apalagi permohonan ini diperkirakan akan berkaitan dengan usaha-usaha parpol menjadikan putra Presiden Jokowi sebagai bakal cawapres," ujarnya.

Selain itu, Susi juga menekankan gugatan ini masuk dalam wewenang rumpun kekuasaan legislatif lantaran berkenaan dengan persyaratan yang diatur Undang-Undang.

"Apa yang dimohonkan masuk pada ranah wewenang kekuasaan legislatif karena berkenaan dengan syarat-syarat. Dalam berbagai putusan MK mengatakan sebagai open legal policy. Oleh karena itu, sudah seharusnya MK konsisten," ucap dia.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat MK seakan memberikan karpet merah ke keluarga Jokowi jika mengabulkan gugatan tersebut.

Feri menekankan seharusnya MK tak berwenang mengabulkan permohonan tersebut. Ia meminta kepada MK agar tak merusak tafsir mereka atas konstitusi hanya demi meloloskan seseorang bisa maju di Pemilu.

"Jangan kemudian MK merusak langgam tafsir mereka terhadap UUD hanya untuk memberikan kesempatan bagi keluarga Istana dapat ikut meraih kekuasaan Pemilu 2024," kata Feri kepada CNNIndonesia.com.

Feri mengatakan akan aneh dan tak adil jika peraturan itu diubah kala tahapan Pemilu 2024 telah berlangsung.

Ia lantas menyinggung pada putusan-putusan sebelumnya MK selalu berpendapat bahwa hal ini merupakan wewenang pembentuk UU atau kebijakan hukum terbuka.

Feri pun berpandangan jika mengabulkan gugatan tersebut, maka MK sendiri telah menerapkan tafsir ganda atas makna open legal policy itu sendiri.

"Karena harus ingat bahwa MK selalu untuk hal yang seperti ini mengatakan ini open legal policy, kebijakan hukum terbuka yang harusnya yang mengatur adalah pembentuk undang-undang," ujarnya.

Pelanggaran etik Hakim Konstitusi

Selain itu, Feri menyebut hal itu merupakan pelanggaran etik bagi hakim konstitusi jika gugatan dikabulkan.

Ia menilai dikabulkannya gugatan itu juga akan merusak muruah MK sebagai the guardian of the constitution atau penjaga konstitusi.

"Muruah MK sudah memudar dari lama. Apalagi jika ditambah putusan besok," ucap dia.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan MK tidak berwenang mengubah aturan terkait batas usia capres-cawapres. Ketua MK periode 2008-2013 itu menjelaskan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sedang diuji materi di MK hanya boleh diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator.

MK sebagai negative legislator, kata Mahfud, wewenangnya terbatas pada membatalkan aturan di undang-undang yang tak sesuai undang-undang dasar.

"MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi," kata Mahfud di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/9).

MK menyatakan akan bersikap independen dalam memutus perkara uji materiel UU Pemilu terkait batas usia capres dan cawapres.

"Saya kira Mahkamah Konstitusi diawasi oleh semua mata saya kira ya. Sidang terbuka, diikuti semua pihak, bahkan ini pihaknya banyak. Saya kira independensi MK saat ini masih terus terjaga," ujar Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) MK Fajar Laksono saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/8).

Tanggapan Ketua MK

Ketua MK Anwar Usman mengklaim para hakim tidak terpengaruh dengan hubungan keluarga dalam menyidangkan gugatan uji materi.

Anwar menyampaikan itu dalam sidang uji materi pasal mengenai batas usia capres-cawapres dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Selasa (29/8).

"Yang pasti, kami bertanggung jawab kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa ketika memutus sebuah perkara," ujar Anwar dalam persidangan di Gedung MK.

"Saya mengikuti ajaran Rasulullah. Tadi saya sudah kutip. Anaknya sendiri, Nabi Muhammad, akan dipotong tangannya kalau mencuri. Artinya apa? Tidak ada hubungan kekerabatan, tidak ada hubungan kekeluargaan ketika mengadili sebuah perkara," jelas dia.

Anwar mengatakan prinsip dari peradilan itu mengadili berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. Bukan didasari pada penafsiran-penafsiran yang dikaitkan dengan hal-hal tertentu.(han)