Jika Pilpres 2 Putaran, Mungkinkah Anies-Ganjar Koalisi?

Secara konstitusional salah satu paslon harus bisa meraup suara minimal 50+1 persen suara untuk menutup Pilpres dengan satu putaran. Melihat angka survei Prabowo-Gibran yang belum mencapai di atas 50 persen itu, wacana Pilpres 2024 akan berlangsung dua putaran juga mengemuka.

Jan 27, 2024 - 08:55
Jika Pilpres 2 Putaran, Mungkinkah Anies-Ganjar Koalisi?

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Wacana Pilpres 2024 satu putaran paling lantang disuarakan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Namun hasil terbaru sejumlah lembaga survei menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran belum mencapai 50 persen.

Padahal pemungutan suara pemilu 2024 hanya kurang 16 hari lagi.

Indikator Politik Indonesia mencatat tingkat elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming mencapai 48,55 persen.

Posisi kedua ditempati oleh pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dengan elektabilitas sebesar 24,17 persen.

Capaian itu sekaligus mengalahkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang hanya 21,60 persen.

Lalu, survei terbaru yang dilakukan Poltracking Indonesia menunjukkan elektabilitas Prabowo- Gibran sebesar 46,7 persen, lalu Anies-Muhaimin sebesar 26,9 persen dan Ganjar-Mahfud sebesar 20,6 persen.

Secara konstitusional salah satu paslon harus bisa meraup suara minimal 50+1 persen suara untuk menutup Pilpres dengan satu putaran.

Melihat angka survei Prabowo-Gibran yang belum mencapai di atas 50 persen itu, wacana Pilpres 2024 akan berlangsung dua putaran juga mengemuka.

Dalam skema dua putaran, mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla berpendapat apabila Anies-Muhaimin melenggang ke putaran kedua melawan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud tersingkir, Ketum PDIP Megawati Sukarnoputri lebih bisa menerima Anies untuk didukung ketimbang Prabowo atau Jokowi.

Merespons hal itu, Pengamat politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Idil Akbar berpandangan ucapan JK itu merupakan cara untuk menarik dukungan PDIP apabila Pilpres 2024 berlangsung dua putaran.

"Kalau saya sih melihat ini sebenarnya intrik saja, bagian dari upaya menarik gerbong PDIP," kata Idil melalui sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Jumat (26/1).

Idil mengatakan hingga kini pun belum ada yang bisa memastikan paslon mana saja yang akan lolos ke putaran kedua. Ia kemudian membalikkan perandaian, dengan Ganjar-Mahfud yang lolos dan Anies-Muhaimin tersingkir.

"Pertanyaan besarnya adalah apakah JK dan seluruh komponen pendukung AMIN apakah mereka bisa membangun upaya bersama untuk vis a vis dengan Prabowo?" tanya dia.

Idil berpendapat secara ideologis, kubu Ganjar-Mahfud dan AMIN sebetulnya cukup sukar untuk bersatu.

Ia menyinggung perbedaan ideologis yang cukup kental antara PKS di kubu AMIN dengan PDIP sebagai partai motor penggerak di kubu Ganjar.

"Satu sisi AMIN didukung oleh NasDem yang kita tahu dalam satu tahun terakhir, PDIP dengan NasDem ini kan sebenarnya perang dingin," ujarnya.

Meski begitu, Idil menilai kedua kubu itu masih berkemungkinan bersatu dengan catatan kepentingan apa yang bisa mereka kompromi kan.

Sejauh kepentingan tersebut memiliki visi yang sama, bersatunya dua kubu itu masih sangat mungkin untuk terjadi.

Dalam membaca peta politik yang lebih rinci, Idil berpendapat koalisi kubu yang kalah nanti belum tentu solid menyatakan dukungan ke salah satu paslon.

Menurutnya, koalisi dari kubu yang tersingkir juga akan ada yang berpisah jalan secara dukungan.

"Saya menduga akan ada kemudian yang berbelok ke Prabowo. Mungkin ada beberapa yang secara dinamikanya itu kemungkinan akan ke sana," ucap Idil.

Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah justru melihat dari sisi sebaliknya. Ia berpendapat sangat memungkinkan koalisi Ganjar dengan Anies jika pilpres berlangsung dua putaran.

"Setidaknya karena faktor konflik Megawati ke kubu Prabowo, meskipun ada Puan Maharani yang bisa saja jadi mediator perdamaian Megawati dengan kubu Prabowo," kata Dedi melalui pesan singkat.

Ia berbeda pendapat dengan Idil. Menurutnya PKS dan PDIP tak sepenuhnya berseberangan. Dedi mengatakan pada dasarnya orientasi partai politik ialah kekuasaan.

"PKS dan PDIP tidak sepenuhnya berseberangan, di pemilihan kepala daerah, PKS dan PDIP sudah punya pengalaman koalisi, jadi bukan hal sulit jika 2024 mereka koalisi di Pilpres," ucapnya.

Menurutnya, bersatunya kedua kubu itu memungkinkan untuk meraih kemenangan melawan Prabowo di putaran kedua.

Ia berpendapat hingga kini elektabilitas Prabowo pun masih tidak begitu jauh dengan perolehannya di Pilpres 2014 dan 2019 lalu.

"Artinya koalisi partai belum terlihat signifikan menambah suara ke Prabowo, bahkan Jokowi sekalipun terkesan tidak berdampak," ucap dia.

Dedi menyebut apabila dua kekuatan itu bersatu, maka bisa saja menumbangkan kekuasaan di putaran kedua.

Dengan syarat, mereka berhasil menggerakkan gerakan akar rumput untuk mengawal pilpres secara dominan.

"Sehingga kekuasaan tidak miliki celah untuk lakukan tindakan di luar kepatutan," ujarnya.

Begitu pula pandangan analis komunikasi politik Universitas Brawijaya, Verdy Firmantoro yang mengakui kendati ideologis masing-masing kubu cukup berseberangan. Namun kedua bisa bersatu karena kepentingan yang sama.

Ia lantas mengungkit dinamika politik belakangan yang dinilai PDIP kerap mengkritik paslon nomor urut 2.

"Kan tidak mungkin menarik ludah gitu ya, istilahnya sekarang ini sudah melakukan kritik ya tentunya kita lihat Ibu Mega dalam berbagai pidato-pidatonya terus kemudian beliau concern jaga demokrasi," kata Verdy.

Verdy berpendapat momentum politik tertentu inilah yang kemudian memungkinkan persatuan kubu Anies dengan Ganjar di putaran kedua. Ia mengatakan keduanya semacam memiliki musuh bersama yang harus dihadapi.

"Itu lebih berpeluang ketimbang dengan 02 yang mungkin secara kronologi dalam historisitas perjalanan tadi yang disampaikan Ibu Mega sepertinya tidak ketemu," ucap dia.

Gerakkan akar rumput

Verdy mengatakan apabila kedua kubu itu bersatu, maka mereka akan mengoptimalkan gerakan akar rumput untuk mengalahkan Prabowo-Gibran. 

Verdy berpendapat gerakan masyarakat sipil akan dijadikan sarana untuk melakukan gerakan total melawan kekuasaan.

"Tentunya akumulasi paslon 1 dan 3 bahasa kasarnya akan memaksimalkan yang disebut people power yang memanfaatkan oposan, opportunity atau gerakan masyarakat sipil," ujarnya.

"Kalau 2019 kan ada 'Ganti Presiden'. Nah, narasi-narasi seperti itu yang akan terulang mungkin," imbuh Verdy.(han)