Sajian ‘Wajah Politik’ Masa Kini di Panggung 'Bongkar'

"Maka dari itu kami menyerukan, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya juga kasus penculikan tidak boleh ditutup. Kasus HAM tidak boleh dipendam," kata Petrus dalam orasinya di Panggung Rakyat bertajuk 'Bongkar' di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (9/12).

Dec 12, 2023 - 06:17
Sajian ‘Wajah Politik’ Masa Kini di Panggung 'Bongkar'

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Eks Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD) Petrus Hariyanto mengkritisi sikap koleganya, Budiman Sudjatmiko yang seolah-olah meminta agar kasus pelanggaran HAM masa lalu dilupakan dan fokus pada masa depan Indonesia.

Petrus menegaskan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu perlu dituntaskan dan tak boleh dipendam.

"Maka dari itu kami menyerukan, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya juga kasus penculikan tidak boleh ditutup. Kasus HAM tidak boleh dipendam," kata Petrus dalam orasinya di Panggung Rakyat bertajuk 'Bongkar' di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (9/12).

Panggung itu digelar Aliansi Selamatkan Demokrasi Indonesia (ASDI) yang menampilkan penampilan sejumlah musisi hingga orasi sejumlah tokoh aktivis.

Petrus yang duduk di kursi roda menyampaikan perasaannya soal sikap yang diambil Budiman yang merupakan sahabatnya di masa aktivisme melawan Orde Baru. Pada Pilpres 2024 ini, Budiman kini telah mendukung calon presiden nomor urut dua Prabowo Subianto.

Petrus mengatakan bersama Budiman sempat membangun gerakan melawan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto hingga masuk bui bersama sebagai tahanan politik kala itu.

"Kami harus masuk ke dalam penjara, kawan kami juga ada yang terbunuh, kawan kami juga ada yang diculik," kata dia.

Petrus menegaskan bersama para aktivis Reformasi 1998 kala itu memiliki utang terhadap masa lalu. Baginya, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan kasus penculikan harus diselesaikan. Ia menilai tidak akan ada masa depan yang cerah bagi bangsa, jika utang masa lalu tidak dituntaskan..

"Kembalikan kawan kami. Tolak politik imunitas. Tolak dinasti politik. Tolak korupsi, tolak nepotisme, tolak kolusi. Hanya ada satu kata, lawan," kata Petrus.

Kerajaan politik dinasti

Ekonom senior Faisal Basri menilai ada pihak yang membentuk siluman Rayap-Kecoa yang bertaring tajam untuk membangun kerajaan lewat politik dinasti di Indonesia

"Untuk membangun kerajaan lewat politik dinasti. Mereka membentuk kawanan siluman rayap dan kecoa, yang bertaring tajam mengusik rumah Indonesia," kata Faisal dalam orasinya di Panggung Rakyat bertajuk 'Bongkar'.

Faisal menilai kondisi Indonesia saat ini makin memprihatinkan lantaran digerogoti praktik-praktik korupsi. Dia mengibaratkan Indonesia sebagai rumah yang tiang-tiangnya goyah karena diserbu koruptor yang disebutnya sebagai rayap dan kecoa.

Melihat persoalan tersebut, Faisal meminta masyarakat tidak diam dan melawan praktik terhadap korupsi dan politik dinasti. Tujuannya supaya supaya pilar-pilar negara tidak semakin rapuh dan runtuh.

"Mereka kian menggerogoti segala penjuru rumah. Menyerang fondasinya, menyerbu pilar-pilar rumah kita. Tak pelak rumah Indonesia menjadi oleng akibat polah mereka. Kita semua berada di sini untuk memastikan rumah Indonesia tidak menuju kehancuran, tidak menuju keruntuhan," kata dia.

Setop aksi represi aparat

Pada kesempatan ini, elemen masyarakat yang mengatasnamakan Aliansi Selamatkan Demokrasi Indonesia (ASDI) turut menyatakan enam poin pernyataan sikapnya jelang Pemilu 2024.

Perwakilan ASDI, Aida Leonardo mendesak negara harus memulihkan hak masyarakat dan mengehentikan represi aparat kepada warga yang bersuara kritis di pelbagai bidang seperti HAM, lingkungan, hak perempuan atau kesetaraan gender, hak-hak adat dan antikorupsi, juga isu keragaman.

Sikap kedua, kata Aida, ASDI mendesak negara memulihkan penegakan hukum atas perilaku korupsi, pelanggaran berat hak asasi, dan kejahatan ekologis.

"Memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan yang faham terhadap hak asasi, punya integritas tinggi, tidak punya jekak melalukan pelanggaran hak asasi dan kekuasan inklusif dan menjunjung kesetaraan," kata Aida dalam pernyataan sikap nomor tiga.

Kemudian Aida turut meminta supaya negara menghentikan segala bentuk penggunaan aparat penegak hukum untuk hal apapun. Kecuali bagi penegakan hukum yang jujur, adil dan bermartabat.

Desakan kelima, kata Aida, mereka meminta negara harus memilihkan integritas DPR, dan setop menyalahgunakan KPK maupun MK demi kepentingan keluarga dan golongan sendiri.

"Menjaga pemilu jujur, adil, damai, bermartabat dan inklusif," kata Aida.

Sejumlah musisi hingga tokoh mengisi panggung rakyat tersebut.

Beberapa di antaranya adalah Fajar Merah, putra aktivis yang diculik Orba dan masih misterius hingga saat ini, Wiji Thukul. Putri bungsu Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wahid. Dan sejumlah musisi dari mulai grup etnik Horja Bius, Once, Gugun Blues Shelter, Iwa K, Doms Dee, Dhea Siregar, Marjinal, Pas Band, Endank Soekamti, Kotak, hingga Jamrud.

Fajar dalam salah satu penampilannya di panggung membacakan puisi karya ayahnya yang berjudul Momok Hiyong. Puisi itu berisi kritik terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa yang menggelapkan masa depan rakyat.

"Emas doyan, hutan doyan/Kursi doyan, nyawa doyan/Luar biasa/Tanah air digadaikan," demikian penggalan puisi yang dibacakan Fajar.

Kekuasaan Sedang Resah

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai kasus dugaan intimidasi terhadap Seniman Butet Kartaredjasa hingga kriminalisasi aktivis Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti adalah tanda kekuasaan mulai resah terhadap kritik.

Hal ini ia sampaikan dalam orasinya di atas panggung 'Bongkar' yang digelar di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Sabtu (9/12).

"Kasus Haris dan Fatia, Budi Pego, Mama Yosefa di Papua, Bung Retno Gunardi di Rembang, dan terakhir kasus Butet memperlihatkan kekuasaan sedang resah karena rakyatnya mulai bicara," cetus Usman.

Saat berorasi, Usman terlihat didampingi oleh anak Wiji Thukul, Fajar Merah, di atas panggung. Mantan Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu terlihat membawa bendera hitam bertuliskan 'Reformasi Dikorupsi'.

Usman menilai demokrasi di Indonesia saat ini alami regresi hingga represi. Ia mengatakan kini kebebasan berekspresi mulai di represi hingga pengawasan rakyat di legislatif mulai dilemahkan.

"Dan badan peradilan juga dikebiri. Seluruh kekayaan alam di Indonesia ini untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan investor asing. Jangan diam," kata dia.

Di sisi lain, Usman turut menyoroti langkah Presiden Joko Widodo melalui instrumen kekuasaan eksekutifnya berupaya melanggengkan kekuasaannya. Salah satunya dengan cara melemahkan kebebasan rakyat dan mengebiri Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dia jadikan Ketua MK untuk utamakan kepentingan keluarga, anaknya jadi cawapres. Bukan untuk kepentingan negara," kata dia.

"Kalau saya bilang selamatkan demokrasi, bilang lawan dinasti, lawan dinasti," tambahnya.

Sebelumnya, Haris dan Fatia dituntut pidana dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait frasa 'Lord Luhut' dan dugaan bisnis tambang di Papua.

Fatia dituntut penjara tiga tahun dan enam bulan serta denda Rp500 ribu subsider tiga bulan kurungan Sementara Haris dituntut pidana penjara selama empat tahun serta denda Rp1 Juta subsider enam bulan penjara.

Sementara Butet Kartaredjasa mengaku dilarang polisi untuk memuat unsur politik dalam pergelaran pentas teater berjudul Musuh Bebuyutan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (1/12) lalu.

Butet mengaku diperintah untuk menandatangani surat pernyataan tidak akan membahas unsur politik dalam pentas itu.

"Jadi itu persyaratan administrasi sebelumnya tidak pernah ada sejak reformasi 1998. Itu jaman orde baru saja seperti itu," kata Butet, Selasa (5/12).

Respons Pemerintah

Terkait pelaporan terhadap pengkritik, Jokowi pernah mengaku lebih memilih kerja saja sebagai presiden.

"Itu hal-hal kecillah. Saya kerja saja," kata dia, soal dorongan pelaporan terhadap aktivis politik Rocky Gerung, di Senayan Park, Jakarta, Rabu (2/8).

Soal dugaan nepotisme di MK demi melanggengkan kekuasaan, Jokowi juga ogah berkomentar. 

"Saya tidak ingin memberikan pendapat atas putusan MK, nanti bisa disalah mengerti seolah-olah saya mencampuri kewenangan yudikatif," kata dia, kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (17/10).

Sementara itu, soal pelaporan terhadap Haris dan Fatia, Luhut Pandjaitan mengungkapkan itu terkait dengan kehormatan pribadinya.

"Saya terus terang kerugian materiil tidak perlu dihitung, tetapi secara moral, anak cucu saya, saya dibilang penjahat, saya dibilang lord, coba saya menuduh anda sebagai penjahat, sebagai pencuri, itu kan anda tidak bisa diterima juga," ujar Luhut, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (8/6).

Menurutnya, tak ada kebebasan yang bersifat absolut. "Kita ini boleh berbuat apa saja tapi harus bertanggung jawab. Tidak ada kebebasan absolut," sambung Luhut.(han)