Saat MK Berusaha Keluar dari Tudingan 'Mahkamah Kalkulator' di Sengketa Pilpres 2024

"Mahaguru hukum tata negara Profesor Yusril Ihza Mahendra saat ikut menjadi ahli pada sengketa hasil Pemilu 2014 dan bersaksi di MK pada 15 Juli mengatakan bahwa penilaian atas proses pemilu yang bukan hanya pada angka harus dilakukan oleh MK," kata Mahfud.

Apr 5, 2024 - 09:50
Saat MK Berusaha Keluar dari Tudingan  'Mahkamah Kalkulator' di Sengketa Pilpres 2024

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Perdebatan dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan kembali istilah pelesetan 'mahkamah kalkulator'.

Istilah tersebut awalnya muncul saat calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD mengutarakan pandangannya dalam sidang perdana sengketa Pilpres, Rabu (27/3).

Mahfud mengutip pandangan Yusril Ihza Mahendra saat bertindak sebagai ahli pada hasil sengketa Pemilu 2014 lalu.

"Mahaguru hukum tata negara Profesor Yusril Ihza Mahendra saat ikut menjadi ahli pada sengketa hasil Pemilu 2014 dan bersaksi di MK pada 15 Juli mengatakan bahwa penilaian atas proses pemilu yang bukan hanya pada angka harus dilakukan oleh MK," kata Mahfud.

Mahfud menyebut pandangan Yusril itu merupakan pandangan yang senantiasa baru dan terus berkembang hingga kini.

Menukil pernyataan Yusril, kata Mahfud, pandangan yang menempatkan MK sekadar menjadi 'mahkamah kalkulator' justru pandangan yang lama atau telah usang.

"Menjadikan MK hanya sekedar mahkamah kalkulator menurut Pak Yusril adalah justru merupakan pandangan lama yang sudah diperbaharui sekarang," ucap dia.

Yusril yang merupakan kuasa hukum pihak terkait, merespons hal tersebut. Ia mengakui ia pernah menyampaikan MK tidak seharusnya hanya mengurus selisih suara. Namun, pernyataan itu disampaikan pada 2014.

Dia mengatakan pendapatnya saat ini sudah berubah. Menurutnya, MK memang hanya berwenang mengurus perselisihan hasil.

Hal itu karena UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur pembagian kewenangan peradilan hukum kepemiluan. Yusril berkata hal itu tidak diatur saat Pilpres 2014.

Kemudian pada sidang lanjutan, Kamis (4/4), istilah 'mahkamah kalkulator' kembali muncul.

Saksi ahli Prabowo-Gibran, Margarito Kamis mengingatkan UUD 1945 mengatur wewenang MK hanya sebatas perselisihan hasil. Menurutnya, MK akan melanggar konstitusi bila mengurus proses hukum.

"Saya ingin menegaskan taatlah pada teks pasal 24C ayat (1), periksa hasil, bukan di luar itu. Suka atau tidak. Hukum tidak ada urusan suka atau tidak. Hukum itu selalu objektif," kata Margarito dalam sidang sengketa Pilpres 2024, Kamis.

Margarito berpendapat MK pun tidak berwenang mendiskualifikasi kandidat seperti yang diminta Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Pendapat itu dibalas kuasa hukum Anies-Muhaimin, Wakil Kamal. Ia mempertanyakan alasan Margarito mendesak MK untuk hanya mengurus perhitungan suara pilpres.

"Apakah ahli memaksa Mahkamah untuk kembali kepada mahkamah kalkulator?" kata Wakil.

Kamil berpendapat putusan MK dalam sengketa pilpres sejak 2004 selalu mempertimbangkan hal-hal kualitatif.

Tak hanya selisih angka

Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Dian Agung Wicaksono berpendapat persidangan pada Kamis (4/4) lalu menunjukkan MK tidak ingin sekadar menilai selisih angka.

Sidang hari itu menghadirkan saksi dan ahli dari tim Prabowo-Gibran.

"Persidangan hari ini menunjukkan MK ingin keluar tidak hanya menilai selisih angka-angka, hal tersebut bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh majelis hakim," kata Dian dilansir CNNIndonesia.com.

Tidak hanya itu, ia menilai langkah MK mengundang empat menteri pada Jumat (5/4) juga menjadi pertanda MK ingin keluar dari hanya menilai selisih angka.

Menurutnya, MK memang dimungkinkan menilai tidak hanya selisih angka.

"MK mau letterlijk selisih angka memang dimungkinkan menurut UUD, tapi kalau MK mau keluar dari menilai selisih pun juga dimungkinkan, karena selisih angka timbul dari proses. Semua tergantung pendirian Majelis Hakim," katanya.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Pemerintahan (Pushan) Oce Madril mengatakan jika melihat permohonan dan proses pembuktian yang berjalan di Mahkamah Konstitusi, arah sidang lebih banyak pada soal kecurangan yang sifatnya kualitatif dan TSM (terstruktur, sistematis dan masif).

Ia mengatakan penilaian tersebut terlihat dari saksi dan ahli yang dihadirkan masing-masing pihak, termasuk dari KPU, Bawaslu dan pihak 02.

Oce menyebut perdebatan dalam sidang masuk pada isu-isu seputar proses pemilu, misalnya soal pencalonan cawapres, bansos, netralitas PJ Kepala Daerah dan isu lain.

"Jika dipresentase, 60-70 persen pembuktian arahnya ke soal-soal kualitatif, sementara soal hitung-hitungan hasil mungkin hanya 30 persen saja," ujar Akademisi Hukum UGM ini.

Dian berpendapat jika melihat komposisi majelis hakim, ada peluang permohonan para pemohon dikabulkan.

Permohonan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud terdapat kesamaan yaitu menginginkan Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi dalam Pilpres 2024. Mereka sama-sama ingin pemungutan suara diulang tanpa keikutsertaan Prabowo-Gibran.

Dian menyebut tiga dari empat hakim yang dissenting dalam perkara 90 soal pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden, bisa menjadi kubu yang mengabulkan permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

"Bahwa 3 (Saldi, Suhartoyo, Arief) dari 4 hakim yang dissenting di putusan 90, bisa menjadi kubu yang mengabulkan permohonan, terlebih untuk menjadi suara mayoritas pasa komposisi 4:4 harus ada keberpihakan ketua (Suhartoyo). Jadi cukup tambah 1 hakim saja pendirian dissenting di putusan 90 bisa mengabulkan permohonan ini," ujarnya.

Menurutnya, sangat mungkin MK mendiskualifikasi paslon tertentu dalam sengketa PHPU, sebab MK dalam putusan nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021 pernah mendiskualifikasi pasangan calon Bupati dalam sengketa Pilkada.

"MK sudah punya preseden di Pilkada dan sekarang Pilkada oleh MK sudah tidak dipisahkan dengan rezim Pemilu dengan putusan 55/PUU-XVII/2019 dan 85/PUU-XX/2022. MK punya dasar pijakan teori dan preseden yang kuat untuk diskualifikasi paslon," ucapnya.

Sementara itu, Oce Madril berpendapat ada tiga kemungkinan pendekatan yang akan dilakukan MK dalam permohonan Anies-Muhaiman dan Ganjar-Mahfud.

Pertama, MK akan pertimbangkan kecurangan yang terjadi saat proses pemilu, namun MK akan menjawab bahwa kecurangan proses harusnya diadili oleh Bawaslu dan PTUN, bukan ranah MK.

Kedua, MK tidak terlalu mempertimbangkan kecurangan proses sebab tidak mempengaruhi hitung-hitungan hasil Pilpres, sehingga MK menolak permohonan.

"Ketiga, MK pertimbangkan kecurangan-kecurangan yang terjadi dan menerapkan konsep TSM, sehingga bisa perintahkan pemungutan suara ulang," ujar Oce.(han)