Pilpres 2024, Jangan Singgung Isu SARA

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah*)

Oct 19, 2023 - 21:51
Pilpres 2024, Jangan Singgung Isu SARA

KATA SARA, yakni kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan, sangat popular di era Orde Baru (Orba) yaitu era ketika negeri ini dipimpin Jendral Suharto. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap pola kepemimpinan di era Orba itu, warning atau wanti-wanti Orba tentang perlunya menghindari konflik yang bernuasa SARA patut diapresiasi, demi keberlangsungan NKRI ini.

Indonesia, negara yang terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau ini, perlu wisdom atau kearifan dalam mengelolanya. Pengalaman konflik yang berlatar belakang SARA, pernah terjadi di negara yang multi kultur ini, sebagaimana yang pernah dan bahkan masih terjadi di beberapa negara di belahan bumi ini.

Pada tahun 1939-1945, dunia dihadapkan pada Perang Dunia ke II, di mana rezim pemerintahan Nazi Jerman yang kala itu dipimpin Adolf Hitler, menyerbu negara-negara Eropa dan mengusung ideologi kemurnian Ras. Jerman waktu itu mengklaim bahwa bangsanya adalah keturunan Aria, keturunan yang memiliki status lebih tinggi dibanding ras atau suku lainnya. Bahkan, dalam lagu kebangsaannya di kala itu, ada lirik “Deutschland, Uber Alles in the welt” yang maknanya “Jerman di atas segala-galanya di dunia”. Akibat arogansi kesukuan ini, Jerman memburu kaum minoritas, terutama kaum Yahudi di negara-negara yang didukinya, untuk dikirim ke kamp-kamp konsetrasi. Sebagian besar dari mereka di bunuh dengan cara dimasukkan ke kamar gas beracun. Lebih dari 6 juta orang terbunuh.

Genosida atau pembunuhan massal juga pernah terjadi di Rwanda. Peristiwa ini juga berawal dari adanya konflik bernuansa SARA, yakni sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe. Peristiwa ini terjadi dalam kurun 100 hari di tahun 1994. Rwanda sendiri adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah.

 

Di negara barat, Eropa dan Amerika Serikat (sampai saat ini) juga masih ada yakni Gerakan “White Supremacy” atau supremasi orang kulit putih terhadap kulit berwarna. Menengok sebuah pertistiwa berdarah, yakni peristiwa pembunuhan jamaah masjid di Selandia Baru. Ini bisa menjadi bukti masih adanya bentuk kebencian yang luar biasa, dari sang pembunuh terhadap mereka yang dianggap bukan bagian dari kelompoknya. Dan yang lebih ironis lagi, sang pembunuh merekam tindakan kejinya. Mereka warga kulit putih yang tergabung dalam kelompok sang pembunuh ini mengklaim bahwa mereka adalah warga yang statusnya lebih tinggi dibandingkan dengan warga yang memiliki warna kulit berbeda dengan mereka. Di Afrika Selatan juga pernah terjadi sistem Apartheid dimana warga kulit putih yang jumlahnya sedikit, memimpin dengan brutal dengan penuh penghinaan atas warga mayoritas kulit hitam. Begitu brutalnya sehingga di berbagai tempat, seperti toko, sekolah, tempat duduk di taman dan sebagainya ada tulisan “Dogs and Blacks Are not Allowed to Enter”. Aktivis kulit hitam yang menentang kebijakan Apartheid ini, yaitu almarhum Nelson Mandela, yang dipenjara selama 25 tahun dan akhirnya setelah dia dibebaskan dia menjadi presiden Afrika Selatan.

Sejarah peradaban barat yang menjajah negara-negara lain, juga telah mencatat sejarah pembunuhan terhadap jutaan warga asli. Di era modern pun, kita juga pernah menyaksikan pembunuhan etnik atau ethnic cleansing oleh warga Serbia terhadap warga Bosnia. Ini semua juga dilatarbelakangi oleh adanya kebencian, yakni antar agama.

Konflik yang bernuansa SARA telah memberikan dampak yang sangat tragis dan mengerikan sehingga bisa menimbulkan luka dan trauma yang luar biasa bagi para korbannya. Bahkan untuk menyembuhkan trauma ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Belajar dari peristiwa ini, maka para peserta Pilpres Indonesia tahun 2024, perlu di wanti-wanti atau di warning agar menghindari isu-isu SARA dalam kampanye mereka.

Isu yang mengarah pada SARA, kebencian terhadap agama dan suku, perlu dihindari dalam kontek apapun, termasuk dalam pemilu. Lagi pula mengusung isu SARA dalam sebuah kampanye Pemilu itu adalah Pendidikan politik yang tidak mendidik, dan bahkan sangat buruk bagi rakyat. Maka dari itu, Pilpres 2024 nanti, saatnya para calon Presiden dan Wakil Presiden, untuk mengusung isu-isu yang positif, menyangkut kepentingan hajat hidup rakyat banyak. Banyak isu yang bisa diangkat, seperti isu pemerataan kesehatan dan Pendidikan, kesenjangan pembangunan wilayah barat dan timur di Indonesia, kenaikan harga-harga pokok, posisi Indonesia di percaturan dunia yang berubah dengan cepat, perlindungan hak rakyat atas tanahnya, diversikasi ekspor, percepatan pembangunan Sumber Daya Manusia, perlindungan terhadap Sumber Daya Alam yang dirampok negara lain, peningkatan peran wanita, penurunan angka stunting dan sebagainya.

Perlu adanya Pendidikan politik yang rasional dan wajar bagi rakyat agar mereka mampu memilih calon pemimpin berdasarkan track record nya dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa ini, bukan berdasarkan pada pencitraan dan money politic, apalagi berdasarkan emosi kebencian yang bernuansa SARA. (***) 

 

)* Penulis adalah alumni FE Unair 1979, alumni University of London Inggris 1988, dosen LB Stiesia Surabaya,  Ketua Komite Audit UNAIR, Penasihat bidang internasional Unusa Surabaya, Penulis/kolumnis senior di Good News from Indonesia media Optika dan Media UNAIR. Tulisan ini diedit oleh Dr. Sumani, M.M., M.Hum., dosen Universitas PGRI Madiun.