Duh duh duh… Pemerintah Bersikukuh Pakai Acuan Lama Hapus Kemiskin Ekstrem di 2024

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menuturkan pihaknya dan Badan Pusat Statistik (BPS) sepakat tetap menggunakan angka US$1,9 untuk batas garis kemiskinan ekstrem.

Dec 15, 2023 - 08:08
Duh duh duh… Pemerintah Bersikukuh Pakai Acuan Lama Hapus Kemiskin Ekstrem di 2024

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Bank Dunia (World Bank) telah mengubah ambang batas kemiskinan ekstrem dari US$ 1,9 menjadi US$2,15 atau Rp32.0235 per hari.

Anehnya, pemerintahan Jokowi, kukuh menggunakan batas garis kemiskinan ekstrem US$1,9 atau Rp29.461 per hari.

Hal itu mungkin dalakuakn demi mencapai target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, serta akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menuturkan pihaknya dan Badan Pusat Statistik (BPS) sepakat tetap menggunakan angka US$1,9 untuk batas garis kemiskinan ekstrem.

Menurutnya, saat ini tak ada sanksi bagi negara yang tetap menggunakan batas garis kemiskinan yang lama, yakni US$1,9 per hari. Karena itu, data angka kemiskinan ekstrem pun tetap valid.

"Bank Dunia, benar, mengubah jadi US$2,15. Tapi kami sepakat untuk target 0 persen ini tetap menggunakan US$1,9, sampai 2024," katanya dalam media briefing di Kantor Setwapres, Jakarta Pusat, Kamis (14/12).

Berdasarkan data BPS, jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 1,2 persen atau 3,1 juta orang per Maret 2023. Angka itu turun dibandingkan Maret 2022, yang mencapai 1,74 persen atau 4,79 juta orang.

Sementara untuk tingkat kemiskinan nasional, per Maret 2023 angkanya baru mencapai 9,36 persen. Padahal, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah 6,5 persen hingga 7,5 persen.

Suprayoga menuturkan jika pemerintah menggunakan acuan US$2,15 untuk batas kemiskinan ekstrem, maka jumlahnya bakal dua kali lipat dari yang saat ini 3,1 juta orang.

"Dari 1,12 persen bisa balik ke 2 persen lagi kita," ucapnya.

Lantas apa yang menjadi latar belakang pemerintah ogah mengacu pada ambang batas kemiskinan ekstrem versi terbaru dari Bank Dunia?

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat ada dua hal yang perlu dicermati dalam hal kemiskinan ekstrem.

Pertama, target pemerintah yang menargetkan kemiskinan ekstrem mendekati 0 persen di 2024. Menurutnya, pemerintah ingin meninggalkan peninggalan positif meskipun harus menggunakan batasan yang lama yang sudah tidak relevan lagi.

"Jika itu dinaikkan ke standarnya World Bank terbaru, saya yakin pemerintah meninggalkan legacy yang buruk tentang kemiskinan ekstrem," kata Nailul, dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (14/12).

"Pemerintah saat ini butuh pencitraan positif agar legacy Pak Jokowi positif pula walaupun penuh 'kecurangan'," sambungnya.

Kedua, anggaran pengentasan kemiskinan ekstrem membutuhkan anggaran sekitar Rp493 triliun untuk perlindungan sosial (perlinsos) dengan batasan lama.

Apabila menggunakan versi yang baru dari Bank Dunia, kata Nailul, kelompok miskin 'biasa' bisa menjadi orang miskin ekstrem. Alhasil, anggaran perlinsos bakalan membengkak dan memberatkan pemerintah.

"Pemerintah tidak mau menggeser anggaran pembangunan infrastruktur, termasuk anggaran untuk IKN guna tambahan perlinsos. Apabila digeser, ancaman IKN gagal dibangun akan lebih besar," ungkap dia.

Nailul menyebut pemerintah juga lebih memilih untuk menambah anggaran pertahanan secara signifikan. Maka itu, ia menilai pemerintah saat ini lebih 'senang' menggunakan batasan yang lama.

Penggunaan batasan lama pun juga akan menimbulkan dampak negatif. Menurut Nailul, dampak dari penggunaan batas garis kemiskinan yang lama termasuk validitas penerima bantuan kemiskinan ekstrem akan banyak menimbulkan exclusion error, di mana orang yang seharusnya mendapatkan bantuan, tapi ternyata tidak.

"Jadi kesejahteraan yang diklaim oleh pemerintah semu. Hanya untuk memenuhi hasrat ataupun muka Jokowi seorang," ucap dia.

Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan semestinya pemerintah sudah menggunakan standar baru yang ditetapkan Bank Dunia.

Pasalnya, garis kemiskinan berdasarkan purchasing power parity sudah seharusnya berada di level US$2,15 per hari. Apalagi, tekanan daya beli sudah cukup tinggi sejak beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, penggunaan batas garis kemiskinan jadul akan berpengaruh pada jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin ekstrem di Indonesia.

Maret lalu, kemiskinan ekstrem di Indonesia sebesar 1,2 persen. Jika ambang batas miskin ekstrem dinaikkan menjadi US$2,15 per hari, imbuh Ronny, maka angka kemiskinan ekstrem bisa lebih dari 1,2 persen, bahkan bisa kembali ke angka 2 persen.

"Tentu ini akan membuat target pemerintah membuat kemiskinan ekstrem menjadi nol akan semakin jauh," imbuh Ronny kepada CNNIndonesia.com.

Apalagi, di tahun politik seperti ini, kata Ronny, pemerintah biasanya berusaha sedemikian rupa agar data-data kemiskinan terlihat bagus biar tidak menjadi sasaran serangan beberapa pihak.

Ronny menjelaskan data kemiskinan yang rendah sangat penting bagi pemerintah, apalagi kalau mencapai target yang ditetapkan. Sebab, data kemiskinan akan menjadi salah satu statistik yang digunakan pemerintah untuk memoles reputasi ekonomi Indonesia di panggung global.

"Imbas yang diharapkan misalnya adalah seperti peningkatan kepercayaan investor global, terutama dari negara-negara maju," jelasnya.

Ia menambahkan penggunaan standar lama hadir dengan keuntungan, termasuk jumlah masyarakat miskin menjadi lebih sedikit dari yang seharusnya. Hal ini akan membuat pemerintah dianggap berhasil dalam menekan angka kemiskinan ekstrem.

"Minusnya, data kemiskinan ekstrem kita semakin tidak merepresentasikan realitas kemiskinan ekstrim yang ada, jika tak mau dibilang memanipulasi data kemiskinan ekstrim nasional," pungkas Ronny.(han)