Diam-diam UU ITE Disahkan, Disebut Ada Peluang Kriminalisasi Jilid II

Selama kurun waktu itu, DPR dan pemerintah telah membahas total 38 daftar inventaris masalah (DIM). Jumlah itu terdiri atas usulan yang bersifat tetap 7 DIM, usulan perubahan redaksional 7 DIM, dan usulan perubahan substansial sebanyak 24 DIM. Selain itu, terdapat 16 DIM RUU usulan baru dari fraksi.

Dec 8, 2023 - 11:51
Diam-diam UU ITE Disahkan, Disebut Ada Peluang Kriminalisasi Jilid II

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Rapat Paripurna ke-10 DPR penutupan masa sidang II 2023-2024 pada Selasa (5/12) secara resmi telah mengesahkan revisi UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Revisi itu menjadi yang kedua setelah perbaikan terakhir melalui UU Nomor 11 Tahun 2016. Sembilan atau semua fraksi telah menyepakati poin-poin perubahan dalam UU yang selama ini dianggap menjadi alat kriminalisasi dan banyak menuai kritik sejumlah kalangan itu.

DPR melalui Komisi I dan pemerintah telah menggelar rapat maraton selama hampir sembilan bulan sejak Panja RUU ITE dibentuk pada 23 April lalu.

Selama kurun waktu itu, DPR dan pemerintah telah membahas total 38 daftar inventaris masalah (DIM). Jumlah itu terdiri atas usulan yang bersifat tetap 7 DIM, usulan perubahan redaksional 7 DIM, dan usulan perubahan substansial sebanyak 24 DIM. Selain itu, terdapat 16 DIM RUU usulan baru dari fraksi.

Namun, rapat-rapat yang digelar Panja selama kurun waktu itu lebih sering digelar tertutup dari awak media. Hingga disahkan di dalam rapat paripurna, naskah hasil revisi yang akan disepakati juga tak bisa diakses.

DPR dalam sejumlah kesempatan menyebut rapat tertutup pembahasan RUU ITE hanya persoalan teknis. Mereka membantah tudingan ada hal yang ditutup-tutupi dalam pembahasan RUU tersebut.

"Masalah teknis saja. Tidak ada yang ditutupi atau tidak ada yang disembunyikan," kata anggota Komisi I DPR Dave Laksono di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 12 Juli lalu.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik langkah DPR dan pemerintah yang terkesan tertutup selama pembahasan RUU ITE. YLBHI memandang DPR dan pemerintah tidak belajar dari kesalahan dalam praktik penyusunan atau revisi undang-undang yang elitis, tertutup, dan tidak transpara.

"Ironisnya, sampai dengan disahkan pada rapat paripurna DPR 4 Oktober 2023 yang lalu, publik tidak dapat mengakses dokumen resmi RUU tersebut. Situs resmi DPR bahkan tidak menyediakan informasi yang dimaksud dari awal hingga pengesahannya," kata Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana saat dihubungi, Kamis (7/12).

Lantas, selain proses pembahasan yang dinilai tertutup, bagaimana pasal substansi perubahan dalam UU ITE perubahan kedua tersebut?

LBH Jakarta mencatat sedikitnya ada tujuh pasal dengan ayat turunannya yang dinilai masih bermasalah dalam UU ITE yang baru. Pasal-pasal itu di antaranya Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 45 terkait pemidanaan.

Arif mengatakan, sejumlah pasal itu dinilai masih menjadi ancaman terhadap kebebasan demokrasi dan peluang kriminalisasi menjelang Pemilu dan Pilpres 2024. Dia misalnya menyoroti Pasal 27 ayat 3, yang masih dipertahankan dalam UU itu.

Beleid yang terbaru hanya mengurangi masa hukuman untuk pencemaran nama baik, dan berlaku ketentuan delik aduan absolut. Artinya, proses pidana lewat pasal itu hanya berlaku jika diadukan oleh pihak yang dirugikan.

Ada pula Pasal 40 yang berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik.

"Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik," kata Arif.

Sepanjang 2020-2022, Arief mengungkap, YLBHI dan 18 LBH Kantor telah menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Daei jumlah itu, sebagian adalah pemutusan ilegal oleh Kemenkominfo terhadap akses internet di Papua dan kriminalisasi terhadap aktifis HAM.

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyoroti kegagalan pemerintah dan DPR menghapus pasal pencemaran nama baik yang selama ini jadi biang kerok penurunan indeks demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Castro menilai, padahal substansi kebebasan berekspresi dalam UU ITE adalah pasal pencemaran nama baik. Pasal tersebut selama ini kerap digunakan untuk suara-suara kritis terhadap negara.

"DPR dan pemerintah seperti gagal mengurai problem utama dalam UU ITE. Jantung beleid ini adalah delik defamasi, pasal karet pencemaran nama baik," kata dia saat dihubungi, Kamis (7/12).

Namun begitu, Castro mengaku tidak kaget. Sebab pembahasan UU tersebut selama ini terkesan terburu-buru dan tertutup. Dia mencurigai pasal tersebut sengaja dipertahankan untuk menjadi senjata menggebuk lawan politik.

Dia terutama menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bisa membatasi aktivitas warga di media sosial. Bahkan pemerintah melalui Kemenkominfo bisa menutup sepihak konten yang dianggap kritis.

"Bahkan kalau penyelenggara sistem elektronik berbasis media sosial tidak nurut kemauan rezim, bakal ditutup paksa. Ini kan karakter rezim yang otoritarian," kata dia.(han)