Ada Apa Dengan MK dan KPK, Kok Terjadi Krisis Kepemimpinan di Lembaga Produk Reformasi

Anwar menuding ada upaya politisasi dan pembunuhan karakter terhadap dirinya terkait putusan MKMK. Sementara Ketua KPK Firli Bahuri diduga terlibat kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Nov 10, 2023 - 14:08
Ada Apa Dengan MK dan KPK, Kok Terjadi Krisis Kepemimpinan di Lembaga Produk Reformasi

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sorotan publik belakangan ini.

Dua lembaga negara yang lahir di era Reformasi itu mengalami krisis kepemimpinan. Ketua MK maupun ketua KPK terseret kasus hingga membuat publik elus dada.

Anwar Usman telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Dia terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat dan perilaku hakim konstitusi dalam penanganan perkara 90 terkait pengujian syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Meski telah dicopot dari jabatan ketua, Anwar Usman tidak dipecat sebagai hakim konstitusi.

Belakangan, Anwar menuding ada upaya politisasi dan pembunuhan karakter terhadap dirinya terkait putusan MKMK.

Sementara Ketua KPK Firli Bahuri diduga terlibat kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Selama proses penyelidikan, Firli dua kali mangkir dari pemeriksaan polisi.

Penyidik Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah menaikkan status kasus pemerasan itu ke tahap penyidikan berdasarkan gelar perkara pada Jumat, 6 Oktober 2023.

Kemudian, pada 26 Oktober lalu, penyidik juga telah melakukan penggeledahan di dua rumah yang disinggahi Firli di Jakarta Selatan dan Bekasi.

MK yang linglung

Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM (Pandekha) Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona mengatakan dalam dua dekade keberadaannya, MK sedang mengalami krisis kepemimpinan.

Yance menyebut pada dekade pertama di bawah kepemimpinan Jimly Ashhiddiqiedan Mahfud MD, MK mempunyai peranan penting dalam menyeimbangkan kekuasaan dan menjadi pelindung hak-hak rakyat.

"Kita lihat karakter kepemimpinan kedua Ketua MK itu, Jimly itu institusionalis, dia punya peranan untuk membangun institusi MK menjadi peradilan yang modern, akses publik gampang di situ," kata Yance mengutip CNNIndonesia.com, Kamis (9/11).

Sementara di bawah kepemimpinan Mahfud, MK menjadi lembaga peradilan yang mampu memberikan keadilan substantif.

"Jadi keputusan-keputusan MK di zaman Mahfud, banyak putusan yang berpihak untuk melindungi hak masyarakat," kata dia.

Ia mengatakan titik balik terjadi ketika MK dipimpin oleh Akil Mochtar pada 2013. Menurutnya, saat itu kredibiltas MK mulai jatuh usai Akil terjerat kasus korupsi.

"Sampai hari ini sebenarnya, MK masih linglung, belum kembali dalam kondisi pulih seperti 10 tahun pertama," ujar Yance.

Dalam perjalanannya, tidak hanya Akil, hakim Patrialis Akbar juga terjerat kasus korupsi.

Di sisi lain, Ketua MK saat itu, Arief Hidayat yang menggantikan Hamdan Zoelva, juga memiliki problem etik karena dikenai sanksi etik ringan berupa teguran tertulis.

"Arief Hidayat sebelumnya sudah dua kali pelanggaran etik. Jadi bukan yang ideal juga. Ditambah lagi dengan Anwar Usman saat ini ya, sama-sama kita sudah tahu. Jadi memang ada krisis kepemimpinan di MK. Itu nyata," kata Yance.

Penghancuran sistematis KPK

Sementara itu di KPK, menurut dia, kredibiltas yang baik bisa bertahan belasan tahun salah satunya dipengaruhi oleh semangat patriotisme anti-korupsi para pegawai KPK.

"Jadi di antara pegawai punya spirit anti-korupsi, jadi siapapun yang jadi komisioner tidak akan punya pengaruh besar. Itu bisa dijaga belasan tahun," katanya.

Namun, kondisi itu berubah lantaran ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK.

Ia menyoroti soal revisi UU, masuknya komisioner yang dinilai bermasalah dan didepaknya pegawai-pegawai lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

"Berubah ketika pegawai bagus didepak lewat TWK. Ditambah masuknya komisioner bermasalah, revisi UU KPK. Jadi KPK lebih sistematis penghancuran dilakukan oleh rezim pemerintahan," ujar dia.

Pakar hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto berpendapat apa yang terjadi pada dua pimpinan lembaga itu, salah satunya disebabkan karena privilese yang diterima selama ini.

Ia menyinggung soal revisi UU MK beberapa tahun lalu yang menurutnya memanjakan hakim.

Di KPK, ia menyoroti betapa pimpinan punya kekuasaan yang besar, namun pengawasan dari Dewas KPK seperti tidak bertaji.

"Inilah puncaknya, sejatinya seperti ini, karena privilese yang panjang, terbuai merasa sudah menjadi dari bagian yang tidak bisa terkalahkan, akibatnya menyalahgunakan wewenang," kata dia.

Meski demikian, ia mengatakan penindakan dari dugaan penyalahgunaan wewenang itu belum seperti yang diharapkan.

Dalam kasus Firli, penanganan berlarut-larut. Sementara dalam kasus Anwar, menurutnya, sanksi yang dikenai seharusnya adalah diberhentikan dari hakim konstitusi.

"Yang Ketua MK juga sama. Hanya turun dari ketua, bukan hakim. Kalau kita baca UUD Pasal 24C ayat 1, syarat hakim MK itu adalah tidak tercela. Di UU MK disebut hakim yang melakukan perbuatan tercela, tidak memenuhi syarat itu harus diberhentukan dengan tidak hormat. Tercela itu apa ukurannya? Diputus oleh MKMK, disebut pelanggaran berat, kalau pelanggaran berat, pasti lah itu tercela," kata Aan.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat rusaknya reputasi MK dan KPK tidak lepas dari proses politik di DPR.

Menurutnya, ada kemungkinan terjadi kesepakatan tertentu saat pengusulan Hakim MK dan pemilihan Komisioner KPK yang dilakukan di Komisi III DPR.

"Ada kesepakatan-kesepakatan tertentu agar para anggota DPR dan parpol aman. Baik dalam konteks tidak terjerat KPK maupun konteks misalkan bisa ada akses khusus kepada hakim-hakim MK," kata Ujang.

Ia mengatakan dengan adanya kemungkinan kesepakatan tertentu, maka anggota DPR tidak mempertimbangkan sosok yang bisa menguatkan lembaga saat memilih Hakim MK maupun Komisioner KPK.

"Ini lah, ketika partai politik belum bersih,maka lembaga lain yang diproses oleh partai politik menjadi masalah," kata Ujang.

Perkuat lembaga pengawas

Aan Widiarto mengatakan salah satu cara untuk mengembalikan muruah dua lembaga itu adalah dengan kembali kepada tugas dan fungsi masing-masing.

KPK harus menangani kasus korupsi tanpa tebang pilih atau pilih tebang. Menurutnya, muruah KPK akan kembali jika konsisten melakukan itu.

"Jangan kelompok sana korupsi diproses, yang sini korupsi enggak diproses. Ini yang menyebabkan muruah hilang. Muruah itu akan kembali kalau dia konsisten, kembali kepada khittahnya," kata Aan.

Pun begitu dengan MK, menurutnya, lembaga itu harus kembali pada tugas dan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi.

"Maka dia tidak akan melihat, ini urusannya siapa, ini kepentingan siapa. Entah itu kepentingan pemerintah, kalau bertentangan dengan konstitusi, ya dilibas, dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.

Selain itu, Aan berpendapat perlunya penguatan alat kontrol dua lembaga tersebut.

KPK dengan Dewas, dan MK dengan MKMK. Khusus MK, ia mendorong agar dibentuk MKMK permanen, bukan adhoc.

"Kalau mau kuat, namanya etik, itu sangat mungkin terjadi day to day. Kalau adhoc, nunggu pengaduan, bagaimana dia bisa mengedukasi hakim, bisa membuat hakim ingat. Kalau enggak ada MKMK karena nunggu pengaduan, hakim kan bisa sembrono, wah ini tidak ada yang mengawasi," kata Aan.

Pernyataan Anwar Usman dan Firli

Di tengah polemik di tubuh MK dan KPK, pimpinan kedua lembaga itu telah menyampaikan perlawanan balik.

Anwar Usman melancarkan serangan balik usai dirinya dinyatakan terbukti melanggar etik berat dan dicopot dari jabatan ketua MK.

Dia menilai ada upaya politisasi dan pembunuhan karakter terhadapnya terkait putusan MKMK.

"Sesungguhnya saya mengetahui dan telah mendapat kabar upaya melakukan politisasi dan menjadikan saya objek dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan MK terakhir maupun pembentukan MKMK, saya telah mendengar jauh sebelum MKMK terbentuk," kata Anwar dalam konferensi pers di Gedung MK, Rabu (8/11).

Dia merasa difitnah dalam menangani perkara nomor 90 terkait batas usia cawapres. "Fitnah yang sangat keji dan tidak berdasar atas hukum dan fakta," katanya.

Sementara Firli Bahuri sempat menyinggung serangan balik dari koruptor. Dia menyebut serangan itu muncul ketika KPK tengah melakukan upaya pemberantasan korupsi.

"Kita juga pernah mengenal seketika kita tegas dalam rangka penegakan hukum pemberantasan korupsi, tentu akan datang yang kita sebut dengan when the corruptor strike back, ketika para koruptor melakukan serangan balik kepada KPK," katanya.

"Dan itu tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun sampai KPK betul-betul bisa membersihkan negeri ini dari praktik-praktik korupsi," sambung Firli.(cnn/han)