Yang Tercecer dari ICCCF ke 8 di Kampung Celaket Kota Malang, Ajang Interaksi Budaya Lokal-Internasional

Maka tak heran, Kampung Celaket, kini berkembang pesat menjadi pusat pertukaran budaya lokal dan internasional. “Semisal ada ICCCF, suatu even tahunan cross cultural antara warga lokal dengan Mahasiswa asing, ya memang tak usah heran. Karena mungkin memang sudah digariskan,” imbuh Dwi.

Nov 4, 2024 - 17:13
Yang Tercecer dari ICCCF ke 8 di Kampung Celaket Kota Malang, Ajang Interaksi Budaya Lokal-Internasional
Mahasiswa Asing Berbaur dengan warga lokal saat karnaval budaya di gelaran ICCCF ke 8 tahun 2024

NUSADAILY.COM – MALANG – Sungguh ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan, jika International Celaket Ceross Cultural Festival (ICCCF), ajeg digelar di Kampung Celaket, Kecamatan Klojen Kota Malang.

Nampaknya, semua itu memang sudah digariskan, mengingat, Kampung Celaket sudah menjadi Kota Dunia sejak mPu Si Ndog memindahkan Kerajaan Mataram kuno dari lereng Merapi ke Jawa Timur, pada tahun 929 lampau, akibat terjadinya maha pralaya meletusnya Gunung Merapi.

Kampung Celaket yang membentang dari Toko Avia, dan berujung di Jalan Kaliurang, meliputi 3 kelurahan, yakni Oro Oro Dowo, Samaan dan Rampal Celaket.

Kampung Celaket yang dibelah Kali Brantas, era lampau menjadi sebuah tempat yang sangat strategis untuk dijadikan lalu lintas Sungai sebagai sarana perniagaan dan pengerahan kekuatan tentara kerajaan, kata Dwi Cahyono Sejarawan Universitas Negeri Malang, kepada Nusadaily.com.

Sehingga, Celaket sudah digariskan menjadi kota dunia sejak era Hindu-Budha, era Kolonial, dan kemerdekaan. Dwi menyebut, Celaket merupakan sebuah wilayah penting disetiap lini masa.

Maka tak heran, Kampung Celaket, kini berkembang pesat menjadi pusat pertukaran budaya lokal dan internasional. “Semisal ada ICCCF, suatu even tahunan cross cultural antara warga lokal dengan Mahasiswa asing, ya memang tak usah heran. Karena mungkin memang sudah digariskan,” imbuh Dwi.

Festival Kampung dengan Kemasan Tak Kampungan

ICCCF memang festival di kampung. Diadakan di Kampung Celaket. Tapi, coba baca komentar dari seorang mahasiswa tentang festival ini. “Ini acara penting yang berfungsi sebagai platform unik untuk pertukaran keragaman budaya, sekaligus menumbuhkan pemahaman global,” kata mahasiswa bernama Mohammed Alhadi Ibrahim Bosha Ahmed itu 

Mahasiswa dengan panggilan akrab Bosha itu berasal dari Sudan. Dia kini sedang studi di program doktoral bidang mikrobiologi lingkungan di Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya. 

Bosha yang juga Presiden Internatonal Student Organization (ISO), bukan hanya sekadar menyaksikan festival di Celaket itu. Bersama anggota ISO lain dari 45 negara, dia juga terlibat di rangkaian agenda festival yang dikenal dengan nama lengkap International Celaket Cross Culture Festival (ICCCF) itu. Khususnya, ICCCF ke 8 yang digelar 26-27 Oktober 2024 lalu, di Celaket. 

Ada beberapa agenda dalam ICCCF 2024. Mulai dari sarasehan budaya dengan tema Mencari Model Lanskap Pemajuan Kebudayaan, prosesi budaya selamatan kali bertajuk Naditirapradisan di pinggir Sungai Brantas, pertunjukan seni dan musik lintas bangsa, hingga karnaval. 

Sarasehan budaya digelar pada hari pertama ICCCF, Sabtu, 26 Oktober 2024,. Sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Wahyudi, M.Si, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Dwi Cahyono, sejarahwan Malang.

Dalam sarasehan ini, dibahas lanskap budaya Malang, khususnya kampung Celaket. Diskusi yang terjadi antara lain menyoroti pentingnya keberlanjutan budaya di tengah arus globalisasi. 

Bosha dan mahasiswa asing dari berbagai negara ikut dalam seminar tersebut sebagai peserta, bersama akademisi dan pemerhati budaya Malang, serta tokoh masyarakat setempat. Mereka juga terlibat dalam workshop budaya yang memberi kesempatan kepada warga asing itu, untuk belajar sekaligus mempraktikkan seni budaya Malangan. 

Sabtu malamnya, digelar pertunjukan tradisional di Kampung Celaket. Antara lain pencak silat dan tari-tarian.  Puncaknya, pada Minggu, 27 Oktober, 2024 digelar karnaval budaya dan pertunjukan seni lintas bangsa.

Karnaval dengan rute sekitar Celaket-Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kota Malang itu menarik perhatian, karena di antara peserta, ada tidak kurang dari 100 penampil asing. Mereka ada yang tampil dengan kostum khas negaranya, atau memakai kostum budaya Indonesia. 

Meski tidak semeriah karnaval besar di Kota Malang, seperti Malang Flower Carnival misanya, karnaval ICCCF ini tidak kalah menarik. Terutama, karena banyaknya penampil asing di antara para peserta karnaval asli warga Celaket.

ICCCF memang kini merupakan festival internasional. Namun, awal mulanya, event ini adalah kegiatan semacam bersih desa di Celaket yang dimulai pada tahun 2006.

Kegiatan bersih desa ini rupanya menarik banyak penonton wisatawan mancanegara (wisman) yang sedang di Malang, Bahkan, makin tahun makin banyak wiswan yang menyaksikan. Hingga akhirnya, Hanan Djalil, seniman sekaligus tokoh masyarakat Celaket, pada tahun 2011 menggagas untuk menjadikan kegiatan bersih desa itu menjadi festival internasional. 

Lahirlah ICCCF, yang untuk kali pertama akhirnya bisa digelar pada tahun 2012. Dalam ICCCF yang pelaksanannya didukung Pemerintah Kota Malang, warga mancanegara tidak lagi sekadar jadi penonton. Tapi juga dilibatkan sebagai penampil. 

Pada ICCCF 2012 itu, ada penampil dari 18 negara. Sedangkan dari dalam negeri, selain para seniman dan penampil Malang, juga terlibat seniman dan penampil dari penjuru tanah air. Berbagai pentas seni dan budaya digelar, mulai dari tari topeng Malangan, jaranan, reog Ponorogo, wayang kulit hingga pentas musik indie dan festival jazz di tepi sungai Brantas, Celaket. Juga ada diskusi dan karnaval budaya. 

ICCCF berikutnya, 2013 lebih meriah lagi. Disebut-sebut, ada penampil, seniman dan budayawan dari 35 negara yang terlibat.   Tema ICCCF 2013 yang disebut sebagai ICCCF II ini adalah Unity in Diversity yang ditandai dengan karnaval kostum dunia.

Masing-masing penampil dari ke-35 negara itu tampil dengan dandanan eksentrik dan kreatif, namun tetap mengacu budaya daerahnya.  Selain itu, dimeriahkan juga kostum dari 34 provinsi di Nusantara. 

Begitulah, selanjutnya ICCCF terus berlangsung. Meski, sempat beberapa tahun tidak terselenggaranya. Antara lain waktu terjadi pandemi COVID-19. 

Selain peserta internasional yang terus bertambah dengan karnaval dan pertunjukan seni lintas budaya yang mempesona, ICCCF makin menjadi event budaya yang diapresiasi banyak pihak. Antara lain ditunjukkan dengan banyaknya budayawan top Indonesia ikut hadir seperti Sujiwo Tejo, Didik Nini Towok dan beberapa nama besar lainnya, Tokoh nasional pun juga sempat hadir dalam beberapa gelaran event ICCCF, mulai dari menteri hingga Panglima TNI. 

Pilar Budaya dan Sosial 

Pada penyelenggaraan ICCCF 2024 atau ICCCF ke-8, mulai terlibat Sustainable Development Goals Center atau SDGs Center UB. Menurut Dr. Ahmad Imron Rozuli, M.Si dari SDGs Center UB, keterlibatan pihaknya merupakan upaya untuk melangsungkan dan keberlanjutan atas pilar budaya dan sosial. ICCCF dianggap merupakan perwujudan dari pilar budaya dan sosial, khususnya di Malang. 

Dia menambahkan, melalui ICCCF ini ada beberapa tujuan dari SDGs yang bisa didorong untuk dicapai. “Jadi, disamping untuk kepentingan pelestarian budaya, lewat ICCCF ini, kami berharap bisa terlibat dalam pengembangan lanskap budaya untuk mendorong aspek sosial, ekonomi serta pemberdayaan masyarakat,” kata Imron yang juga Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UB ini.  

Imron mengatakan, ke depan pihaknya akan lebih memperhatikan untuk terlibat dalam penataan lanskap arsitektural dan sosial pelaksanaan ICCCF. Tujuannya,menurut agar event ini memiliki kontribusi lebih lagi bagi pengembangan ekonomi masyarakat.

Terpisah, Presiden ISO Bosha menambahkan, bahwa ICCCF membantu menjembatani kesenjangan budaya, yang memungkinkan antara warga Malang dan warga asing saling menghargai nuansa perbedaan sekaligus menumbuhkan rasa saling menghormati. Dia juga meyebut ICCCF jadi ajang yang tepat untuk belajar berbagai kegiatan budaya Malang. Mulai musik, seni tari-tarian, kuliner hingga adat istiadat Jawa. 

“Sebagai WNA atau Wong Ngalam Asli cabang Sudan Afrika dan pendukung Arema FC yang bangga, festival ini menunjukkan makna sebenarnya dari slogan Salam Satu Jiwa. Mahasiswa internasional dan masyarakat lokal adalah satu jiwa,” ujar Bosha, yang suka berseloroh ini.

Dia pun menyebut ICCCF sebagai perwujudan potensi dialog, pemahaman, dan pertumbuhan kooperatif yang berkelanjutan antara penduduk lokal Malang dan komunitas mahasiswa internasionalnya.

Bosha juga memberi saran, ke depan acara seperti ICCCF ini terus dikembangkan. Dia menyarankan kepada para pemimpin Malang untuk lebih memperkuat interaksi budaya, lewat berbagai program yang memungkinkan interaksi antara masyarakat lokal dan warga pendatang. Usulannya itu mencakup program pertukaran budaya, lokakarya pengembangan keterampilan, festival keberagaman tahunan, proyek relawan komunitas, diskusi panel, penjangkauan media sosial, program bimbingan, dan program relawan kolaboratif.(Gagah Soeryo Pamoekti)