Walhi DKI Soroti Beda Tarif KRL, Bandingkan dengan Subsidi Mobil Listrik Pribadi

"Imbasnya, potensi kemacetan dan beban polusi udara di Jakarta akan meningkat. Padahal, menurut Walhi Jakarta, sampai saat ini saja polusi udara dan kemacetan di ibu kota belum bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah," ujar Pengkampanye Walhi Jakarta Muhammad Aminullah dalam keterangan yang diterima Senin (2/1).

Jan 3, 2023 - 16:24
Walhi DKI Soroti Beda Tarif KRL, Bandingkan dengan Subsidi Mobil Listrik Pribadi

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, menilai wacana kenaikan tarif transportasi Commuter Line (KRL) dapat mendorong kenaikan beban polusi udara dan kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Walhi DKI menilai pembedaan tarif KRL berdasarkan pendapatan masing-masing warga itu berseberangan dengan komitmen pengendalian polusi udara di Jakarta.

Alih-alih mendistribusikan subsidi tepat sasaran, wacana tersebut, justru akan melunturkan budaya naik kendaraan umum, khususnya KRL.

"Imbasnya, potensi kemacetan dan beban polusi udara di Jakarta akan meningkat. Padahal, menurut Walhi Jakarta, sampai saat ini saja polusi udara dan kemacetan di ibu kota belum bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah," ujar Pengkampanye Walhi Jakarta Muhammad Aminullah dalam keterangan yang diterima Senin (2/1).

"Masyarakat dibuat berpikir ulang untuk menggunakan kendaraan umum karena tarifnya yang naik. Padahal, kendaraan pribadi menjadi salah satu sumber polusi terbesar di Jakarta," imbuhnya.

Walhi DKI memandang subsidi tiket KRL bukanlah sekedar hanya soal bantuan bagi masyarakat mampu atau tidak, tapi lebih kepada dukungan bagi pengguna transportasi publik.

Aminullah menegaskan para pengguna transportasi publik telah berperan dalam menekan angka kecelakaan, kemacetan, polusi udara, serta emisi gas rumah kaca.

Oleh karena itu, sambungnya, peran para pengguna transportasi umum itu seharusnya didukung pemerintah melalui subsidi tarif.

"Jakarta tengah bertarung dengan kemacetan dan polusi udara, dan para pengguna transportasi umum telah mengambil peran menjadi salah satu bagian dari pemulihan Jakarta. Sudah sepatutnya pemerintah, khususnya kementerian perhubungan mendukungnya, bukan justru mencabut subsidinya," kata Aminullah.

Subsidi Kendaraan Listrik Pribadi
Aminullah mengatakan ketimbang mencabut subsidi KRL bagi kalangan tertentu, pihaknya menekankan agar subsidi kendaraan listrik pribadi saja yang dicabut.

Anggaran subsidi kendaran listrik pribadi yang dicabut itu, kata dia, nantinya bisa dialihkan untuk peningkatan kualitas dan kapasitas transportasi listrik yang bersifat massal.

Menurut pihaknya subsidi pada kendaraan listrik pribadi bukanlah sebuah jawaban atas persoalan menurunkan polusi udara, malah tetap memberi masalah pada kemacetan. Selain tidak menjawab persoalan ketergantungan pada kendaran pribadi, subsidi kendaraan listrik pribadi hanya akan menambah jumlah kendaraan di jalanan.

"Pemerintah harusnya fokus pada upaya melepas ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Subsidi tiket KRL sudah tepat justru harus ditingkatkan, harusnya subsidi kendaraan listrik pribadi yang harus dipikirkan ulang," kata dia.

Sebelumnya, Komunitas Pengguna KRL Jabodetabek (KRL Mania) menyerukan agar Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegur Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akibat usulan pembedaan tarif KRL untuk orang kaya dan miskin. 

KRL Mania berpendapat pengguna KRL dan angkutan umum massal lainnya sebenarnya adalah pahlawan transportasi, anggaran, dan iklim. Karena itu, tak seharusnya tarif bagi pengguna KRL digolongkan menjadi orang kaya dan miskin.

"Pengguna KRL adalah mereka yang rela menggunakan angkutan umum untuk memperlancar jalan di Jabodetabek. Sebagian pengguna memilih meninggalkan kenyamanan kendaraan pribadi dan berdesakan di KRL," Humas KRL Mania Gusti dalam keterangan resmi, Jumat (30/12).

Sebelumnya, Menhub Jokowi mengklaim rencana pembedaan tarif KRL bagi si kaya dan si miskin itu sudah dibicarakan pula bersama Jokowi.

Menurutnya, sistem subsidi ini diberlakukan untuk memastikan bahwa yang menikmati tarif KRL murah saat ini adalah orang yang tepat. Masyarakat dengan ekonomi mampu akan membayar tarif KRL tanpa subsidi.

"Itu tidak naik (tarif saat ini), tapi kita pakai data yang ada dari Pemda. Kalimatnya bukan naik, tapi subsidi tepat sasaran," ujarnya dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2022 dan Outlook Kegiatan 2023 di Kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa (27/12) lalu.

Untuk itu pemerintah akan menerbitkan kartu baru guna membedakan profil penumpang agar rencana pemberlakuan sistem subsidi ini berjalan dengan lancar.

"Memang diskusi kemarin dengan Bapak Presiden, kami akan pilah-pilah. Mereka yang berhak lah yang akan mendapatkan subsidi. Jadi mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu," jelasnya.

Kebijakan Mundur dan Bisa Bikin Macet
Pengamat menilai kebijakan pemerintah untuk menetapkan tarif KRL lebih mahal untuk orang kaya tidak tepat. Ini sama saja dengan kebijakan mundur.

Peneliti Indef Nailul Huda mengatakan pemerintah selama ini gencar memperbaiki transportasi umum agar masyarakat bisa beralih dan tidak menggunakan kendaraan pribadi.

Tujuannya, menekan penggunaan mobil pribadi masyarakat untuk mengatasi kemacetan di Jabodetabek.

Namun, Nailul menilai rencana kebijakan dengan menaikkan tarif KRL bagi orang kaya sangat bertentangan dengan tujuan awal. Menurutnya, jika kebijakan itu diimplementasikan, dipastikan kemacetan akan kembali terjadi karena masyarakat yang semula sudah beralih ke transportasi umum kembali ke mobil pribadi.

"Lantas ini ada kebijakan untuk pemisahan antara yang kaya dan miskin. Ini akan membuat sistem dan dampak kebijakan akan mundur lagi. Masyarakat pun akan kembali menggunakan kendaraan pribadi, macet lagi nanti," ujarnya, Rabu (28/12).

Senada, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan harusnya pemerintah menambah anggaran untuk mensubsidi transportasi umum bukan malah mengurangi.

"Kalau bisa ada diskon bagi seluruh golongan masyarakat mau dia orang kaya, kelas menengah atau orang miskin untuk beralih pada transportasi publik termasuk untuk KRL," kata Bhima.

Menurutnya, subsidi dan diskon besar-besaran untuk transportasi umum banyak dilakukan oleh berbagai negara, seperti Spanyol dan Jerman. Tujuannya, agar masyarakat beralih pada transportasi umum.

"Ini yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan ini tidak sinkron dengan upaya untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Jadi orang kaya didorong untuk punya kendaraan pribadi sebanyak-banyaknya dan itu jadi penyebab utama kemacetan.," jelasnya.

Lanjut Bhima, bahkan subsidi untuk tiket Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dinilai tak perlu diberikan. Sebaiknya dialihkan saja untuk transportasi umum lainnya yang memang digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat dalam kegiatan sehari-hari.

"Jadi pertanyaan kenapa justru KCJB yang notabene nya untuk golongan kelas menengah atas diberikan subsidi oleh negara melalui APBN. Sementara orang kaya di urban itu dikurangi subsidinya untuk naik KRL. Jadi arah transportasi publik ini tidak jelas pengembangannya mau kemana," pungkasnya.(Sirhan Sahri)