Tulisan Dosen, Konsumsi Sesama atau Mahasiswa?
Oleh: Antono Wahyudi
JIKA dosen dituntut untuk dapat menyesuaikan metode pengajarannya dengan apa yang diminati dan disukai oleh mahasiswanya, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan digital-visual, maka untuk apa dosen menulis? Barangkali pertanyaan ini bisa dijawab secara normatif dengan mengatakan bahwa dosen menulis untuk memenuhi salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian.
Lantas, untuk apa dosen meneliti yang hasilnya adalah berupa tulisan jika tidak ditujukan untuk mahasiswa? Apakah semata untuk jenjang karir jabatan akademik dosen? Jika memang demikian yang terjadi, di mana letak esensi pendidikan yang tidak hanya merubah, tetapi juga menumbuhkan dan mengembangkan itu? Ataukah jangan-jangan esensi pendidikan adalah bisnis transaksional semata?
Logika semacam ini bukanlah merupakan kesesatan melalui circular thinking, tetapi lebih merupakan fenomena vicious circle (lingkaran setan) jika berbicara soal standar mutu pendidikan kita akhir-akhir ini. Sebab, pertama, proses pendidikan tidak berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya yang pada gilirannya mengakibatkan kemunduran karakter dan intelektual. Kedua, alih-alih standar mutu pendidikan yang harusnya meningkat dan berkembang, dengan adanya tuntutan metode pembelajaran yang menekankan pada digital-visual mengakibatkan turunnya standar kualitas peserta didik kita.
Tunggu dulu, tulisan ini tidak bermaksud hendak menyatakan suatu generalisasi yang berlebihan terhadap suatu fenomena. Tentu masih ada lembaga pendidikan yang memiliki paradigma konvensional. Penulis menyebutnya “konvensional” karena memang tulisan dosen dalam bentuk buku, diktat, jurnal, dan artikel harus dibaca oleh mahasiswanya, bahkan diteliti dan dikritisi! Dari sini muncullah dialektika akademis yang sehat. Proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan menjadi mungkin.
Jauh sebelum revolusi industri 4.0, peradaban manusia masih termediasi oleh budaya lisan. Namun setelah itu, khususnya di belahan Barat, peradaban manusia memasuki budaya tulis-menulis dan membaca. Oleh karena budaya tulis-menulis dan membaca inilah peradaban Barat mampu membuktikan dirinya terhadap dunia tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan jenjang yang bertahap semacam ini, peradaban Barat dapat dikatakan siap dan mampu menghadapi teknologi digital-visual. Martin Jay menyebut fenomena semacam ini dengan istilah visual turn (belokan ke arah realitas visual). Dan, tentu akhir-akhir ini mereka juga menunjukkan antusiasnya yang tinggi terhadap kehadiran artificial intelligence.
Pada sisi yang lain, di belahan Timur khususnya Indonesia, baru saja kita beralih dari budaya lisan dan sedang dalam tahap berkenalan dengan budaya tulis-menulis dan membaca, lantas sudah dipaksa untuk dijejali dengan budaya digital-visual. Akibatnya, kita terlena dengan suguhan adiktif digital-visual serta artificial intelligence. Kenikmatan ini tanpa disadari berdampak khususnya pada olah raga (motorik), olah pikir (literasi), olah rasa (etika dan etiket), dan olah karsa (estetika) generasi muda Indonesia yang lemah di dalam menghadapi realitas kehidupan yang tidak mudah, beragam, kompleks, dan paradoks.
Ironisnya, pendidikan justru didorong untuk dapat menyesuaikan metode pendidikannya dengan ciri karakter generasi muda yang lebih menikmati pembelajaran dengan sarana digital-visual ketimbang membaca dan tulis-menulis. Terlebih lagi ketika artificial intelligence mulai menyapa ramah generasi muda Indonesia, kita mulai kebakaran jenggot, gugup dan gagap menyikapi dengan bijaksana. Alih-alih perhatian kita semestinya tertuju pada metode pembelajaran yang menekankan pada tulis-menulis dan membaca, digital-visual justru semakin digencarkan dengan harapan generasi muda Indonesia menjadi semakin tertarik untuk belajar.
Apakah benar semakin tertarik untuk belajar? Jawabannya, tentu benar! Hal ini tidak bisa dipungkiri. Namun demikian, kita kerap tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang dikorbankan, yaitu aktivitas membaca dan menulis, sesuatu yang terbilang krusial di dalam menumbuhkan dan meluaskan pikiran, rasa, dan karsa.
Membaca dan menulis adalah aktivitas yang tidak diminati oleh mahasiswa. Oleh sebab itu, kita perlu menyesuaikan dengan apa yang diminati oleh mahasiswa. Namun ada logika yang tak masuk akal. Analoginya, bukannya memberi obat pahit kepada orang yang sakit agar sembuh, tetapi memberi permen manis yang justru bisa membawa penyakit baru. Anak kecil tentu tidak berminat dengan obat pahit.
Anak kecil itu akan tantrum, menangis dan memaksa untuk mendapatkan permen manis. Anak kecil itu bahkan tidak segan-segan untuk mengadu pada kakek dan neneknya agar bisa mendapatkan permen manis itu. Tetapi orang tua yang visioner adalah orang tua yang mampu mendidik anaknya untuk mau berusaha menghadapi pahitnya kehidupan. Kakek dan nenek yang bijak, akan merayu anaknya dengan penuh kasih sayang agar anaknya belajar dan sadar bahwa didikan orang tuanya adalah sesuatu yang sudah tepat.
Tulisan dosen hendaknya ditujukan untuk mahasiswa, bukan hanya dipergunakan sebagai referensi tugas akhir, tetapi perlu juga digunakan sebagai tugas-tugas dan bahan diskusi perkuliahan. Mahasiswa perlu “dipaksa” untuk membaca, menganalisis, dan bahkan mengkritisinya. Tidak mudah. Mahasiswa akan mengalami kesulitan di dalam menyesuaikan diri untuk membaca dan menulis. Tidak ada salahnya untuk menggunakan metode digital-visual. Namun, porsinya tidak sebesar membaca dan menulis.
Menurut Bambang Sugiharto, seorang Guru Besar Filsafat, bahwa manfaat membaca dapat meningkatkan fungsi-fungsi otak yang dapat meningkatkan kecerdasan. Hal ini dapat dijelaskan dengan analogi fungsi otak dengan fungsi pisau. Pisau yang sering digunakan (tidak diasah) akan semakin tumpul. Otak yang sering digunakan akan semakin tajam. Membaca adalah salah satu aktivitas di dalam mempertajam fungsi otak. Tidak hanya itu, membaca juga dapat memperdalam dan memperluas cara pandang kita di dalam melihat realitas kehidupan.
Manfaat membaca juga mampu memperkuat daya imajinasi. Pernahkah anda mendengar kekecewaan teman anda karena film yang dia lihat tidak sebaik novel yang dia baca? Fenomena ini merupakan salah satu bukti empiris (yang barangkali belum diilmiahkan) mengapa membaca teks lebih mengaktifkan daya imajinatif seseorang jika dibandingkan dengan menonton. Dengan membaca, mahasiswa dapat melatih daya konsentrasi, fokus, dan daya ingatnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan dunia digital-visual yang lebih mengedepankan pada kecepatan informasi yang diterima oleh si penonton, sehingga daya konsentrasi, fokus dan ingatan menjadi tidak aktif.
Terlebih dari hal itu, membaca dapat membantu mahasiswa di dalam membentuk pikiran dan sikap atau prinsip pribadi. Aktivitas membaca menuntut pembaca untuk berpikir, menganalisi, dan memahami secara mandiri. Tidak dilakukan secara kolektif sebagaimana aktivitas menonton. Pekanannya berada pada berpikir secara mandiri, menganalisis secara mandiri, dan memahami secara mandiri. Hasil dari aktivitas ini dapat membentuk karakter mahasiswa yang mandiri, tidak selalu bergantung pada orang lain, dan seterusnya.
Membaca juga dapat memperbaiki dan meningkatkan keterampilan di dalam berbahasa dan berkomunikasi. Pengenalan kosa kata baru serta keterampilan di dalam penyusunan kata dan kalimat secara runut, sistematis, dan bahkan kreatif akan terlatih seiring dengan kita terbiasa untuk membaca. Kemampuan berbahasa dan berkomunikasi ini tidak hanya bermanfaat secara verbal, tetapi juga di dalam keterampilan menulis. Manfaat menulis juga tentu banyak. Sebab, menulis merupakan manifestasi dari manfaat membaca.
Manfaat membaca dan menulis dengan demikian sangat relevan dengan persoalan mahasiswa saat ini. Di lain sisi, agar tulisan dosen tidak hanya difungsikan sebagai kewajiban yang berhubungan dengan jabatan akademik semata, maka penting untuk dikonsumsi oleh sesama dosen. Agar pikiran serta penelitian yang dihasilkan oleh dosen melalui tulisan dapat memberikan dampak baik sacara akademis maupun non akademis kepada mahasiswa, maka penting untuk dikonsumsi oleh mahasiswa.
Tidak dapat dipungkiri, penerapan kewajiban kepada mahasiswa atas aktivitas membaca dan menulis dengan intensitas yang sering dan tinggi akan menjadi suatu tantangan tersendiri. Bagaimanapun juga, proses pelaksanaan pendidikan yang difondasikan pada esensinya tetap penting untuk dijalankan. Oleh sebab itu, tulisan Dosen tidak hanya penting untuk dibaca dan diteliti oleh sesamanya, tetapi juga penting dan bermanfaat untuk dibaca dan dikritisi oleh mahasiswa tidak hanya melalui tugas akhir, tetapi juga tugas-tugas perkuliahan pada semester berjalan. (****)
Antono Wahyudi adalah dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung.
Editor: Wadji