Tragedi Kanjuruhan dan Sejarah Kelam Sepak Bola Nasional
Itu membuat bola salju membesar di pekan keempat. Terlebih lagi saat publik menemukan lingkaran oligarki antara pengurus PSSI, Exco, dan petinggi klub. Ini membuat publik menganggap sepak bola hanya dipandang sebagai ladang bisnis semata dan Tragedi Kanjuruhan adalah serpihan kecil di dalamnya.
NUSADAILY.COM – MALANG – Melewati hari ke-30, atau tepatnya hari Sabtu malam, tanggal 1 Oktober lalu, ‘Tragedi Kanjuruhan’ masih menyimpan tanda tanya. Tepat satu bulan lalu insiden paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia terjadi.
'Tragedi' adalah diksi yang dinilai kurang tepat oleh Pengamat Politik Nasional Rocky Gerung untuk menggambarkan insiden di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober lalu.
Kata Rocky, Tragedi adalah kejadian yang bersumber dari alam, sementara peristiwa Stadion Kanjuruhan bersumber dari salah penanganan oleh aparat kemanan. “Jadi yang pas menurut saya untuk menggambarkan kejadian Kanjuruhan adalah kriminal,” kata Rocky dalam sebuah acara di Kota Malang beberapa waktu lalu.
Ada 135 nyawa manusia melayang, ratusan lainnya menderita luka-luka, dan itu bukan sekadar angka.
Jumlah korban yang begitu banyak menimbulkan rentetan pertanyaan di benak publik. Apa yang terjadi? Mengapa bisa ada ratusan korban meninggal? Siapa perlu bertanggungjawab?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan persis seperti mengisi teka-teki silang: satu jawaban akan membuka jawaban lain.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mengambil peran penting dalam kasus ini, begitu juga dengan Tim Transformasi Sepak Bola Indonesia.
Di pekan pertama pascatragedi hitungan resmi jumlah korban diumumkan, presiden melakukan kunjungan ke Stadion Kanjuruhan, hingga ada enam tersangka yang diumumkan.
Pada pekan kedua kabut tragedi berusaha disingkap. TGIPF Tragedi Kanjuruhan menyatakan gas air mata adalah biang kerok. Arah telunjuk publik semakin dekat ke dada aparat.
Lalu di pekan ketiga, polisi menggelar rekonstruksi dan TGIPF merilis hasil temuan di lapangan dalam satu dokumen setebal 136 halaman. TGIPF merekomendasikan Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (Iwan Bule) mundur. Tapi Iwan memilih bertahan.
Itu membuat bola salju membesar di pekan keempat. Terlebih lagi saat publik menemukan lingkaran oligarki antara pengurus PSSI, Exco, dan petinggi klub. Ini membuat publik menganggap sepak bola hanya dipandang sebagai ladang bisnis semata dan Tragedi Kanjuruhan adalah serpihan kecil di dalamnya.
Riak tuntutan Kongres Luar Biasa (KLB) pun menyeruak. Kompetisi yang terhenti membuat pihak-pihak yang menggantungkan hidup pada sepak bola berteriak.
PSSI sebagai badan tertinggi sepak bola Indonesia akhirnya mengiyakan keinginan KLB yang diawali suara dua voters: Persis Solo dan Persebaya Surabaya. PSSI menyebut restu KLB adalah demi mencegah perpecahan.
KLB bukan hal tabu dalam dinamika PSSI karena sudah dilakukan sembilan kali sejak 2011. Itu dilakukan untuk menjawab persoalan meski kerap menimbulkan permasalahan baru.
Targetnya KLB digelar Januari 2023. Pembentukan Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KBP) akan menjadi tahapan awal sebelum memilih Ketua Umum PSSI dan jajaran Exco yang baru. Namun pertanyannya, di mana posisi Tragedi Kanjuruhan dalam KLB terdekat?
Sudah seharusnya Tragedi Kanjuruhan mendapat perhatian utama dalam KLB PSSI. Sebab itu adalah alasan utama KLB diselenggarakan.
Di tengah perjalanan menuju KLB, proses hukum terhadap para tersangka harus tetap berjalan. Pengusutan tuntas Tragedi Kanjuruhan adalah hal wajib untuk memberikan keadilan kepada korban sekaligus mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan.
Penegakan keadilan juga perlu dibarengi dengan reformasi menyeluruh dalam penyelenggaraan kompetisi. Tidak bisa dimungkiri Tragedi Kanjuruhan terjadi karena ada 'missing link' antara peraturan dengan perbuatan dari pemangku kebijakan.
Harus ada perbaikan menyeluruh dalam sistem kompetisi. Pengawasan regulasi juga perlu menjadi catatan penting dalam mencegah kelalaian.
Kemudian PSSI sebaiknya mengesampingkan egoisme dan mendengar rekomendasi TGIPF serta pemerintah. Meski berada di bawah lindungan statuta FIFA, PSSI tidak bisa ngoyo bernafas tanpa uluran tangan pemerintah.
PSSI sedang dalam titik nadir. Tidak boleh ada pernyataan nyeleneh berbalut azas hukum tanpa mengedepankan empati.
Hasil survey Football Institute menyebut PSSI lamban dalam menangani Tragedi Kanjuruhan. Ini merupakan buah dari sifat kepala batu terhadap masukan dari publik saat awal-awal tragedi.
"Sebanyak 47 persen responden menilai PSSI lamban dalam menangani Tragedi Kanjuruhan," kata Founder Football Institute, Budi Setiawan, Senin (31/10).
Sementara Pengamat Sepak Bola Nasional, Kusnaeni berpendapat persepsi publik merupakan hal penting bagi PSSI meski bukan sebagai penentu absolut jalan hidup para pengurusnya.
"Dukungan publik itu penting untuk PSSI karena ada agenda skala besar seperti Piala Dunia U-20. Belum lagi ada Piala AFF, AFC, dan macam-macam. Itu butuh dukungan publik," kata Kusnaeni kepada CNNIndonesia.com.
Sudah seharusnya PSSI mendengar rekomendasi TGIPF dan hasil survey pihak ketiga sebagai representasi publik. PSSI wajib menempatkan Tragedi Kanjuruhan sebagai kasus luar biasa dalam Kongres Luar Biasa. Sekali lagi, jumlah korban 135 jiwa tidak boleh sekadar menjadi penghias statistik.(wok/han)