Tragedi Kanjuruhan dan Nasib Sepak Bola Indonesia Kedepan

Beragam tragedi atau boleh saja disebut ‘kebrutalan’, terus saja menghantui. Beberapa waktu lalu bus pemain Arema FC dilempar oknum suporter. Dan tak lama berselang, sejumlah suporter PSS Sleman luka-luka karena kena lemparan batu dari dalam bus pemain Singo Edan. Kasus teranyar, tragedi atau kebrutalan menimpa bus Persis Solo, dilempar suporter Persita Tangerang hingga kaca pecah dan satu ofisial terluka.

Jan 30, 2023 - 03:30
Tragedi Kanjuruhan dan Nasib Sepak Bola Indonesia Kedepan

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Cerita duka dan nestapa tentang sepak bola Indonesia terus muncul dari waktu ke waktu. Hampir empat bulan sejak Tragedi Kanjuruhan, tepatnya hari Sabtu Malam, 1 Oktober 2022, sepak bola Indonesia tak ke mana-mana alias jalan di tempat.

Beragam tragedi atau boleh saja disebut ‘kebrutalan’, beberapa waktu lalu bus pemain Arema FC dilempar oknum suporter. Dan tak lama berselang, sejumlah suporter PSS Sleman luka-luka karena kena lemparan batu dari dalam bus pemain Singo Edan.

Kasus teranyar, tragde atau kebrutalan menimpa bus Persis Solo, dilempar suporter Persita Tangerang hingga kaca pecah dan satu ofisial terluka.

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming dalam cuitan di Twitter mengaitkan serangan itu sebagai imbas dari kasus Tragedi Kanjuruhan yang tidak ditangani dengan maksimal.

Sejak Liga 1 2022/2023 bergulir kembali pada 5 Desember 2022, kepemimpinan wasit tak membaik.

Wasit tak henti-hentinya membuat keputusan kontroversial. Kinerja wasit masih seperti sebelum Tragedi Kanjuruhan.

Jalannya kompetisi pun makin tak teratur. Jadwal pertandingan yang dirancang PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator makin kacau. Makin sering pertandingan tak bisa digelar.

Terbaru, pertandingan Arema versus Bali United terpaksa ditunda. Sebabnya, manajemen Arema tak bisa memastikan di mana pertandingan akan digelar. Arema ditolak main di sejumlah daerah.

Dalam satu pekan terakhir, psikologis pemain Arema benar-benar dihantam kenyataan pahit. Mereka juga korban dari Tragedi Kanjuruhan dan kini seolah jadi tersangka yang perlu diadili secara sosial.

Kebencian sepak bola telah nyata. Sepak bola sebagai alat perjuangan kiranya sudah hilang di Arema. Sepak bola adalah derita bagi Arema. Dan benih persatuan dari Tragedi Kanjuruhan mulai pecah.

Seperti ada yang dengan sengaja menyulut bara dendam lama. Kisah-kisah perseteruan masa lalu diungkit kembali sebagai padanan pelemparan bus Arema. Sikap benci diciptakan lagi.

Dan nahasnya, Liga 1 musim ini tak menerapkan promosi degradasi. Ini ditetapkan Komite Eksekutif (Exco) PSSI setelah menghentikan Liga 2 2022/2023 dengan alasan yang dibuat-buat seolah masuk akal.

Kacau balaunya liga: jadwal berantakan, wasit tak jeli memutus kejadian, suporter mulai brutal lagi, dan pemain jadi korban sistem, membuat petinggi PSSI dengan 'flamboyan' lepas tangan.

Tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 korban meninggal dunia dan puluhan luka-luka serta selebihnya sakit hati dan psikologi sejauh ini sama sekali tidak mengubah sepak bola Indonesia. Sama-sama mati rasa.

Kisah yang dialami Arema FC pada musim ini, setelah Tragedi Kanjuruhan, sejatinya bisa segera diatasi. Kisah masa lalu bisa menjadi cerminan.

Pada 2005, tepatnya sehari menjelang pertandingan babak delapan besar melawan Persija, Persebaya walk out. Saat itu isu keselamatan suporter menjadi alasan Bajol Ijo menolak bertanding.

Dampaknya Persebaya dinyatakan kalah dan akhirnya dihukum degradasi. Kendati jadi kisah pahit, manajemen Persebaya menganggap ini sebagai jalan terbaik untuk keselamatan suporternya.

Setahun berselang, giliran PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta menyatakan mundur dari kompetisi. Sikap ini diambil PSS dan PSIM setelah terjadi gempa di Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006.

Alasan PSS dan PSIM saat itu ada simpati pada korban gempa dan infrastruktur yang rusak. Beruntungnya, tak lama setelah dua klub ini mundur, PSSI menyatakan tak ada promosi dan degradasi.

Dua kisah di atas sejatinya bisa menjadi cerminan. Setelah Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober, Arema diharapkan publik mengambil sikap untuk tidak ikut melanjutkan kompetisi.

Namun tidak demikian. Manajemen Arema tetap bersikukuh ingin melanjutkan kompetisi. Ini dianggap publik, utamanya fan sepak bola nasional, sebagai tindakan nirempati akan terjadi.

Karenanya muncul aksi penolakan atas Arema bermain di kota mereka. Kelompok suporter, satu per satu, membuat pernyataan tak sudi Arema menjadikan kotanya sebagai home base atau markas.

Selama sisa musim 2022/2023 Arema harus terusir dari Malang. Selain tak ada stadion yang dianggap layak, PSSI menjatuhkan sanksi larangan bertanding di Malang selama sisa kompetisi.

Pahit tragedi Kanjuruhan menjadi bertambah getir berkali lipat karena banyak pihak yang tak mengambil pelajaran dari insiden suram tersebut. (CNN Indonesia/Abdul Susila)
Batasan kota yang boleh dijadikan markas Arema adalah sejauh 250 kilometer dari Malang. Dengan kata lain tim yang sahamnya dimiliki Iwan Budianto ini bisa bertanding di Jawa Tengah, Jawa Barat, atau DKI.

Dengan penolakan publik atas Arema FC ini, kerendahan hati pemilik Arema FC dinanti. Kericuhan dan kondisi keterpecahan ini selayaknya disudahi. Jika tidak, makin banyak dampak negatif tercipta.(cnn/han)