“Tidak Sesederhana itu … “
Oleh: Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi, M.A.
Ternyata saya tidak mengalami sendiri menerima komentar tidak sesederhana itu. Saya mengakrabi ungkapan itu di belantara catatan, saat saya kuliah Sastra dan Kebudayaan yang diampu Prof. Heddy. Pada pokok bahasan teori Strukturalisme Levi Strauss, ada magnet yang menggerakkan saya untuk ‘mengganggu’ Beliau demi menemukan pemahaman ‘nalar manusia’, ujung teori itu. Sssuussaahhh sekali bagi saya!! “Prof, mohon maaf, ada kesempatan bagi saya belajar di luar jadwal?! Bisa, Prof.?” Ddaannn …. Dimulailah ‘petualangan Strukturalisme Levi Strauss’ yang seru itu. Di sana, tidak sesederhana itu diterjemahkan.
Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra (Ahimsa-Putra, 2009) menyebutkan bahwa fenomena budaya (pengertiannya sama dengan pilihan kata ‘kebudayaan’ dan ‘sosial budaya’ pada buku tersebut) dianggap teks, meliputi literary arts (seni sastra), non-literary (musik, arsitektur, lukisan) dan customary arts (pakaian, masakan, dsb).
Ini karena pengaruh linguistik dalam proses analisis budaya. Dijelaskan lagi dalam buku tersebut, Levi Strauss menempatkan kebudayaan dan bahasa sebagai dua entitas yang sejajar, artinya keduanya bukan menjadi satu bagian dari yang lain. Dengan begitu, model analisis linguistik dapat diadopsi menjadi model analisis kebudayaan.
Levi Strauss banyak terinspirasi Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai Troubetzkoy. Dengan de Saussure, hakikat atau ciri-ciri atau ‘tata bahasa’ atau ‘struktur’ fenomena budaya dapat ditemukan, sedang dengan Jakobson dan Troubetzkoy, bagaimana memahami tatanan ‘tata bahasa’ atau ‘struktur’ yang ada dibalik fenomena budaya dapat ditelusuri.
Istilah ‘dibalik fenomena budaya’ mengarah pada gejala nirsadar. Artinya, ada unsur ketidaksadaran pada fenomena budaya yang dikuak. Ketidaksadaran yang teridentifikasi disebut nalar manusia. (Jujur, menyelesaikan paragraf ini berat banget, perlu berkali-kali edit dan bolak balik membalik lembar-lembar buku itu sekedar memantabkan diri bahwa ide dan konsep besar Strukturalisme Levi Strauss dari buku Ahimsa-Putra (2009) dapat tersentuh).
Pada satu materi mini conference valedictorian speech (upacara perpisahan) Prof. Ahimsa-Putra, seorang doktor arkeologi. Dr. Blasius Suprapta memaparkan Strukturalisme Levi Straus berfungsi dengan baik untuk mencari jawaban mengapa artefak pra-sejarah yang diteliti memiliki wujud percampuran 4 zaman. Penelitian benda purba melalui Strukturalisme Levi Staruss ini mempelajari kognisi manusia prasejarah. Beliau sempat berdebat dengan promotornya untuk menggunakan teori ini.
Beberapa doktor lain di acara tersebut sepertinya sepakat jika temuan penelitiannya mind blowing dengan Strukturalisme Levi Straus. Kekhasannya adalah mampu membuka tabir yang belum tentu dapat ditampakkan dengan teori lain. Strukturalisme Levi Strauss memang dahsyat, memungkinkan peneliti berpetualang menembus periodisasi waktu. Inilah arti tidak sesederhana itu.
Tidak sesederhana itu dalam teori Crtical Discourse Analysis dialami oleh seorang doktor linguistik (presentasi di acara yang sama dengan Dr. Blasius). Gara-gara Prof. Heddy (ungkapan ini mengarah pada rasa syukur), doktor ini mengaku kelabakan dengan jalan analisisnya yang harus sampai pada world view masyarakat pengguna bahasa. Penelitiannya menggunakan data natural orang Jawa Timur yang tinggal di perbatasan Jawa Tengah saat memberi pujian.
Temuan analisisnya yang “banyak itu tidak dapat berkata banyak” saat Prof. Heddy bertanya mengapa di sidang promosi doktornya waktu itu. Pukulan telak pada pertanyaan pertama. Akhirnya, harus revisi. “Mas harus memasukkan unsur budaya Jawa”, saran Beliau, yang membuat datanya dapat ‘menjawab dan berkata banyak’. Deep structure mesti diungkap. Deep structure adalah manifestasi tidak sesederhana itu bagi doktor linguistik itu.
Tidak sesederhana itu, nalar manusia, deep structure … Mmmm, sepertinya ini sefrekuensi dengan apa yang Prof. Bakdi Soemanto (almarhum) bilang dengan thick description dari Geertz. Pikiran saya mencoba menghubungkan kesamaan-kesamaan yang terjadi. “Thick description itu data yang komprehensif, yang akan menjernihkan jawaban masalah”, nasehat mendiang saat ngobrol tesis di ruang guru besar.
Kembali lagi ke acara Valediktori, setiap ada penyaji menyinggung tentang pengalamannya dengan tidak sesederhana itu, serempak audiens tertawa. Saya yakin arti tertawa mereka penuh makna, yaitu pergulatan menguras pikiran menaklukkan sulitnya analisis tugas akhir masing-masing. Ya, petualangan mengerjakan tugas akhir yang melelahkan dan seru; tumbang-bangkit lagi, tumbang-bangkit lagi. Dan … di sepanjang masa itu, Prof. Heddy menjadi tempat ‘pulang’ mengadu segala kebuntuan. Karenanya, tidak sesederhana itu menjadi memori yang beragam warna menurut kenangannya bergaul dengan Prof. Heddy.
Tidak sesederhana itu menjelma menjadi tradisi. Ini menjadi salah satu perjuangan Prof. Heddy di Departemen Antropologi untuk menginisiasi Antropologi Bulaksumur. Dalam pandangan saya, tradisi ini menyeruak di seluruh jurusan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada di bawah payung budaya. Semua masalah penelitian dikoneksikan dengan budaya.
Saya paham sekarang, bahwa mahasiswa dibawa ke arah pemahaman mendalam tentang masalah. Sebuah entitas (baca: data, masalah, fenomena, dst) tidak hadir begitu saja melainkan ada raison d’etre yang menjadi alasan hadir keberadaannya. Critical thinking yang diasah setiap hari, itu yang saya pahami, ditradisikan dalam paper-paper tugas perkuliahan.
Saya semakin mengerti apa arti tidak sesederhana itu sekarang. Pantas saya selalu dikejar dengan pertanyaan ‘mengapa’ setelah satu jawaban saya sodorkan. Terus terang, saya jengkel pada diri sendiri sebab sering gagal menemukan jawaban inti. Bagaimana pola berpikir dosen-dosen saya ini merupakan tanda adaptasi saya terhadap tradisi tidak sesederhana itu.
Bukankah tidak sesederhana itu adalah apa yang harus dikonkritkan pada tugas akhir selevel doktoral? Di sinilah substansi dari gelar doktor, menjelaskan sampai pada tataran filosofis. Tapi, tunggu dulu. Sepertinya nafas tidak sesederhana itu juga sudah dibiasakan di program master, level saya. “Pakai satu teori saja, itu aja kamu belum tentu mampu”, ledek kaprodi saya saat musim proposal tesis. Ah, ternyata benar, satu teori (The Challenge of Comparative Literature Caludio Guillen), satu pemahaman mendalam, satu kantong data thick description, satu kesadaran baru tidak sesederhana itu. Itulah arti tidak sesederhana itu khusus saya. Saya yakin dengan teori dan pendekatan lain masih banyak wujud tidak sesederhana itu bisa terjadi. Bagaimana dengan teori pada tugas akhir sidang pembaca, apakah Anda menemukan tidak sesederhana itu? Hhehehe
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengucapkan sesuatu untuk Prof. Heddy, “selamat sudah mengukir sukses sepanjang masa kerja dan selamat memasuki masa bebas tugas administratif. Ingat, ya, Prof., purna tugas ini tidak sesederhana itu. Wkwkwk …. Sejujurnya saya speechless. The unspoken is the sweetest and strongest, Prof.! Salam hormat saya selalu.” (*****)
Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi, M.A. adalah dosen Universitas PGRI Madiun. Naskah ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd., Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).