Ternyata Mulut Dan Telinga Memang Perlu Berkawan

Banyak orang berpikir bahwa menjadi guru cukup dengan terampil berbicara. Banyak mahasiswa FKIP juga berpikir begitu. Mereka sangat kaget ketika saya berkata bahwa keterampilan berbicara saja tidak cukup. Guru harus mempunyai satu keterampilan lainnya, yaitu mendengarkan.

Jan 10, 2023 - 19:37
Ternyata Mulut Dan Telinga Memang Perlu Berkawan
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd.

Dosen Tetap PGSD

Universitas Kristen Petra

 

Banyak orang berpikir bahwa menjadi guru cukup dengan terampil berbicara. Banyak mahasiswa FKIP  juga berpikir begitu. Mereka sangat kaget ketika saya berkata bahwa keterampilan berbicara saja tidak cukup. Guru harus mempunyai satu keterampilan lainnya, yaitu mendengarkan.

Implementasinya, kedua keterampilan tersebut dituntut dalam perekrutan calon mahasiswa FKIP Universitas Kristen Petra. Calon tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan ide dengan baik tetapi mereka harus mampu mendengarkan pewawancara dengan baik juga. Mendengarkan ini termasuk memahami maksud tersirat dan tersurat. Tuntutan ini mengacu kepada keterampilan guru untuk dapat menciptakan  komunikasi dua arah dengan murid-muridnya.

Tuhan memberi kita telinga dan mulut. Inipun ada maknanya dalam dunia pendidikan. Sebagai guru kita tentunya tidak hanya menggunakan mulut untuk menyampaikan pengetahuan. Kita juga perlu  menggunakan telinga kita untuk mendengarkan kebutuhan, saran dan masalah anak didik di kelas kita.

Jumlah telinga kita lebih banyak dari mulut kita. Ini berarti sebelum berbicara kita harus mendengarkan dulu. Setelah berbicara kita perlu mendengarkan lagi. Dengan kata lain, kita harus banyak mendengarkan. Ini berarti bahwa pendidik tidak bisa hanya menyampaikan materi saja. Materi tersebut harus diolah sesuai dengan selera murid. Pendidik yang jenius bukan hanya mempunyai pengetahuan yang hebat saja. Pendidik yang jenius harus dapat memasak pegetahuannya menjadi makanan yang lezat bagi anak didiknya. Percuma bahan makanannya mahal jika diolah menjadi makanan yang tidak disukai. Makanan tersebut tidak akan dimakan atau tidak dapat diterima oleh perut.

Suatu kali saya diundang di pesta pernikahan yang makanannya mahal-mahal. Sepulang dari pesta, teman saya yang jago makan minta turun dari mobil. Saya kaget ternyata dia muntah-muntah. Semua makanan yang mahal tadi keluar di jalan.

Lobster, sup bibir ikan dan abalone tidak jadi berkeliling di perutnya. Makanan mahal itu ternyata tidak selalu dapat diterima perut teman saya. Sebaliknya makanan murah di pinggir jalan betah di perutnya. Teman saya bisa menghindari ketiga makanan ini supaya tidak muntah lagi. Dia bisa memilih makanan yang akan dimakannya. Bagaimana dengan anak didik kita yang tidak bisa memilih materi pelajaran? Mereka tidak bisa menolak. Mereka terpaksa harus mempelajarinya.

Saya jadi ingat pelajaran di SMA. Pelajaran Matematika adalah momok bagi saya.  Meskipun saya belajar setengah mati, nilai saya selalu rendah. Guru Matematika saya tidak pernah mengajak saya berdialog. Beliau hanya memberi materi saja.  

Di bangku perkuliahan ada mata kuliah pilihan tetapi ada juga yang wajib. Mata kuliah wajib harus diterima. Jadi apa yang harus dilakukan dosen?Di sinilah telinga berperan. Dosen wajib mengetahui kesan mahasiswa terhadap mata kuliah sebelum materi diberikan. Dosen dapat mengizinkan mahasiswa untuk bercerita. Setelah itu, dosen dapat mencari strategi terbaik agar mahasiswa dapat berdamai dengan materi.

Setelah materi diberikan, dosen dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bercerita lagi. Pertanyaan berikut dapat diajukan. Apakah kalian kesulitan memahami materi? Apakah saran yang ingin kalian sampaikan? Bagaimana saya dapat membantu kalian?

Bagaimana makna telinga dan mulut bagi dosen pembimbing skripsi? Ada seorang mahasiswa pria, sebut saja Dino. Dia telah melakukan pelanggaran berat. Si dosen pembimbing memanggilnya dan memberikan nasehat panjang lebar. Dino mendengarkan dengan seksama. Setelah selesai, Dino pergi dan tidak mau kembali menemui si dosen lagi.

Bulan berikutnya, Dino menemui saya. Saya kaget sekali. Dia mengatakan, “Saya mau Ibu yang menjadi dosen pembimbing saya. Karena di saat saya mendapat masalah dulu, hanya Ibu yang mau mendengarkan saya.” Saya bahagia mendengarnya.

Saya tahu dia belum bisa terbuka dengan saya sebulan yang lalu. Saya tidak memaksanya untuk mengatakan yang sebenarnya. Sebenarnya saya bisa menebak kejadian yang sebenarnya tetapi saya tidak memberitahunya, apalagi menceramahinya. Saya hanya mendengarnya. Tujuan saya membuatnya merasa dipahami.

Saya paham kebutuhan Dino saat itu bukan untuk dimarahi atau dihakimi. Saya hanya bertanya mengapa dia sampai melakukan pelanggaran berat tersebut. Saya menerima batas keterbukaannya dan tidak memaksanya untuk mengatakan semuanya. Keterbukaan pasti membutuhkan waktu. Saya percaya selama proses bimbingan skripsi nanti, dia akan semakin terbuka dengan saya. Itulah saat yang tepat untuk memberinya nasehat.   

Bagi saya, kegiatan mendengarkan Dino sampai nanti memberinya nasehat merupakan proses melayaninya. Saya tidak memaksakan kehendak saya. Saya memberinya kesempatan seluas-luasnya untuk membuka hatinya perlahan demi perlahan.

Setinggi apapun gelar kita, kita mempunyai kewajiban melayani anak didik kita. Pendidik sepatutnya menjadi pemimpin yang berhati hamba. Pendidik yang peduli kepada kebutuhan anak didiknya. Tuhan telah menitipkan anak didik kepada kita untuk kita kasihi dan tuntun. Suatu hari mereka akan menjadi alat Tuhan untuk memimpin manusia lainnya. 

Sekian

 

 

Penyunting : Risa Triassanti