Teori Belajar Berdasarkan Brain Based Learning

Oleh: Prof. Dr. Daniel Ginting

Sep 28, 2024 - 15:13
Teori Belajar Berdasarkan Brain Based Learning

Siapa tidak kenal dengan orang-orang berikut ini? Michael Jordan merupakan salah satu pemain bola basket terbesar sepanjang masa dengan enam kejuaraan NBA bersama Chicago Bulls. Serena Williams, pemain tenis profesional, juga terkenal karena banyaknya gelar Grand Slam yang diraihnya. Cristiano Ronaldo adalah pemain sepak bola asal Portugal yang sering disebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia, meraih banyak penghargaan Ballon d'Or. Usain Bolt, pelari sprint asal Jamaika adalah pemegang rekor dunia dalam lomba 100 meter dan 200 meter, dan Tiger Woods sebagai salah satu pemain golf terbesar sepanjang masa. Dalam bidang ilmu pengetahuan, beberapa tokoh yang sangat berpengaruh meliputi Albert Einstein, fisikawan teori yang dikenal dengan teori relativitasnya, termasuk persamaan E=mc², yang revolusioner dalam fisika modern. Marie Curie sebagai  ilmuwan yang meraih dua Hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang radioaktivitas. Stephen Hawking dikenal karena karyanya tentang lubang hitam dan asal-usul alam semesta. Richard Feynman dikenal karena kontribusinya dalam mekanika kuantum dan teori elektrodinamika kuantum. Terakhir, Jane Goodall adalah seorang primatologis yang merevolusi penelitian tentang perilaku simpanse dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan.

 

Saya kemudian bertanya dalam hati kira-kira apa yang membuat mereka itu begitu hebat? Adakah teori yang cukup komprehensif yang bisa menjelaskannya? Dalam banyak hal saya sepakat dengan Karl Popper yang mengatakan bahwa semua teori ada "kebocoran." Tidak ada kebenaran yang mutlak dari sebuah teori. Namun demikian, tidak ada salahnya juga saya mencoba mencari jawaban itu dari perspektif neurosains dengan segala keterbatasannya. Toh, kita masih bisa banyak belajar dari pandangan ini untuk mendapatkan pencerahan bagaimana sistem kerja syaraf otak-otak manusia pada saat belajar termasuk orang-orang hebat di atas. Jerzy Konorski, seorang ahli saraf dari Polandia, adalah orang pertama yang mendefinisikan istilah 'neuroplasticity' pada tahun 1948. Menurut Konorski, plastisitas merujuk pada kemampuan adaptif otak dan sistem saraf untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat proses belajar atau bahkan mengalami cedera. Dengan kata lain, otak tidak bersifat statis, tetapi mampu beradaptasi sepanjang hidup seseorang. Perubahan struktural atau biasa disebut structural neuroplasticity artinya perubahan fisik/bentuk dari struktur otak itu sendiri., terutama di tingkat sinaps (tempat pertemuan antara dua neuron) dan sirkuit saraf. Perubahan fungsional berarti otak dapat menyesuaikan cara kerjanya untuk meningkatkan efisiensi dan respons terhadap situasi atau informasi baru, tanpa harus mengubah struktur fisiknya secara signifikan. Misalnya, penyesuaian kekuatan sinyal antarneuron sehingga otak lebih efisien dalam memproses informasi.

 

Bagaimanakah neuroplastisitas terjadi saat orang belajar? Dalam perspektif neuoroplastisitas, saat seseorang kali pertama mempelajari sesuatu, otak membentuk koneksi antara neuron melalui sinapsis. Pada tahap awal ini, informasi yang dipelajari disimpan dalam memori jangka pendek dan koneksi sinaptik yang terbentuk masih lemah dan mudah hilang jika tidak diperkuat. Ketika informasi diulang melalui latihan atau pengalaman berulang, koneksi sinaptik antara neuron tersebut diperkuat. Proses ini dikenal sebagai long-term potentiation (LTP), sinapsis menjadi lebih kuat dan lebih efisien dalam menghantarkan sinyal. Semakin sering jalur neuron digunakan, semakin kuat koneksi tersebut. Seiring waktu, informasi yang berulang-ulang diproses akan dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang melalui proses yang disebut konsolidasi. Konsolidasi ini melibatkan penataan ulang dan penguatan koneksi sinaptik, sering terjadi selama tidur atau saat istirahat. Pada tahap ini, informasi menjadi lebih permanen dan lebih mudah diakses kembali. Setelah melalui proses pengulangan dan konsolidasi, otak menciptakan pola neuron yang solid, yaitu jalur sinaptik yang kuat dan teratur yang memudahkan akses ke informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Pola ini memungkinkan otak untuk mengakses informasi dengan cepat dan tanpa banyak usaha kognitif, yang menjadi ciri khas keahlian karena jalur tersebut sering digunakan, otak menjadi sangat efisien dalam merespons rangsangan yang terkait dengan informasi atau keterampilan tersebut. Setelah pola neuron yang solid terbentuk, otak dapat mengakses memori jangka panjang secara otomatis. Inilah yang terjadi ketika seseorang bisa melakukan tugas atau keterampilan dengan sedikit pemikiran sadar. Jalur yang kuat ini memungkinkan akses cepat ke informasi yang dibutuhkan, yang merupakan tanda keahlian. Pada saat yang sama, otak tetap fleksibel untuk membentuk koneksi baru atau memodifikasi pola yang sudah ada jika situasi baru memerlukan adaptasi.

 

Apa beda orang yang ahli dan orang yang tidak ahli? Perbedaan utama antara orang ahli dan orang yang tidak ahli terletak pada kekuatan, efisiensi, dan struktur pola neuron yang terbentuk melalui pengalaman dan latihan. Pada orang yang ahli, mereka memiliki koneksi sinaptik yang lebih kuat dan efisien di area otak yang relevan dengan keterampilannya. Pengulangan dan latihan memperkuat jalur neuron, membuat transmisi sinyal antarneuron lebih cepat dan lebih efisien. Sementara itu, orang yang tidak ahli masih memiliki koneksi yang lebih lemah atau kurang berkembang di area otak yang sama. Mereka memerlukan lebih banyak usaha dan waktu untuk memproses informasi atau melakukan tugas yang terkait. Selanjutnya, orang yang ahli mampu melakukan banyak tugas atau proses kognitif secara otomatis karena pola neuron mereka sudah solid dan sering digunakan, mereka tidak perlu berpikir secara mendalam tentang setiap langkah dan bahkan menggunakan lebih sedikit energi otak untuk melakukan tugas yang mereka kuasai, karena jalur neuron yang terlatih bekerja secara efisien. Otak mereka bekerja dengan cepat untuk mengenali pola dan merespons secara efisien. Akibatnya para ahli ini mampu membuat Keputusan yang cepat. Di lain pihak, orang yang tidak ahli harus berpikir lebih keras dan menghabiskan lebih banyak sumber daya kognitif untuk memproses informasi baru atau menyelesaikan tugas karena pola neuron mereka belum terlatih untuk merespons secara otomatis. Akibatnya, mereka butuh waktu yang lebih lama untuk membuat keputusan karena mereka harus belajar untuk menganalisis informasi. Mereka memerlukan lebih banyak usaha mental karena otak mereka belum membentuk jalur yang efisien untuk memproses informasi yang relevan. Pada akhirnya, orang yang ahli cenderung memiliki lebih banyak koneksi neuron yang kuat di area otak yang relevan dengan keahlian mereka sehingga memungkinkan mereka untuk mengakses dan menggabungkan berbagai jenis informasi dengan lebih mudah. Tidak demikian halnya bagi pemula, mereka yang memiliki lebih sedikit pola neuron yang terbentuk atau pola yang kurang terintegrasi.

 

Dalam dunia pendidikan teori neuroplastisitas ini kemudian bermanifestasi menjadi brain based-learning sebagaimana kali pertama diperkenalkan oleh Leslie Hart pada tahun 1975. Hart menekankan beberapa 12 prinsip utama yang harus diperhatikan pendidik saat mengajar dengan memperhatikan ritme struktur dan fungsi kerja otak.

 

Prinsip pertama adalah bahwa otak adalah prosesor paralel. Ini berarti otak mampu melakukan banyak tugas secara bersamaan, seperti berpikir dan merasakan emosi pada waktu yang sama. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk memproses informasi secara kompleks dan simultan.  Dalam hal ini, guru harus merancang aktivitas yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis sambil merasakan dan memproses emosi mereka. Misalnya, guru dapat menggunakan metode pembelajaran yang menggabungkan diskusi kelompok dengan kegiatan reflektif sehingga siswa dapat menangani berbagai aspek informasi secara bersamaan. Penggunaan teknik yang melibatkan perasaan, seperti cerita atau permainan, juga dapat meningkatkan keterlibatan dan pemahaman.

 

Prinsip kedua menyatakan bahwa pembelajaran melibatkan seluruh fisiologi. Artinya, otak dan tubuh bekerja sama dalam proses pembelajaran. Faktor-faktor seperti hidrasi yang cukup, nutrisi, mineral, aktivitas fisik, pencahayaan yang memadai, dan kesejahteraan fisik sangat penting untuk mendukung efektivitas proses belajar. Di kelas, guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kesejahteraan fisik siswa. Hal ini termasuk memastikan ruang kelas memiliki pencahayaan yang memadai, menyediakan kesempatan untuk bergerak, dan mempromosikan pola makan yang sehat. Aktivitas fisik ringan seperti peregangan atau permainan singkat selama pelajaran dapat membantu meningkatkan fokus dan energi siswa.

 

Prinsip ketiga adalah pencarian makna adalah bawaan. Otak secara alami mencari makna dalam setiap informasi yang diterima. Proses ini bersifat sangat personal dan unik bagi setiap individu, mencerminkan cara tiap orang memahami dunia di sekitar mereka. Implikasinya adalah bahwa guru perlu membuat materi ajar yang relevan dan bermakna bagi siswa. Ini dapat dicapai dengan mengaitkan topik pelajaran dengan pengalaman pribadi atau minat siswa agar mereka bisa menemukan makna dalam konteks dan mendorong mereka semakin mengerti tentang materi yang diajarkan.

 

Prinsip keempat menjelaskan bahwa pencarian makna terjadi melalui pola. Otak dirancang untuk memahami dan menghasilkan pola dari informasi yang diterima. Informasi yang tidak memiliki pola atau yang tidak bermakna sering ditolak oleh otak.  Saat mengajar, guru perlu menyajikan informasi dengan cara yang terstruktur dan berpolanya seperti menggunakan diagram, grafik, dan peta konsep. Pengorganisasian materi secara logis dan menyediakan kesempatan untuk berlatih mengenali pola akan membantu siswa dalam memahami dan mengingat informasi lebih baik.

 

Prinsip kelima adalah bahwa emosi sangat penting dalam memahami pola. Emosi memainkan peran krusial dalam pengambilan keputusan dan pembelajaran. Elemen seperti humor, cerita, permainan, dan apresiasi dapat meningkatkan keterlibatan emosional dan memfasilitasi proses pembelajaran.  Menambahkan elemen emosional dalam pembelajaran, seperti cerita inspiratif atau humor yang sesuai, dapat membantu meningkatkan keterlibatan, dan memudahkan siswa dalam memproses informasi.

 

Prinsip keenam menyebutkan bahwa otak memproses bagian dan keseluruhan secara bersamaan. Meskipun belahan kiri dan kanan otak memiliki fungsi yang berbeda, keduanya bekerja sama untuk memahami informasi secara keseluruhan, mengintegrasikan detail-detail kecil dengan gambaran besar.  Guru dapat memulai dengan memberikan gambaran umum sebelum membahas materinya secara mendalam.

 

Prinsip ketujuh adalah bahwa pembelajaran melibatkan perhatian fokus dan persepsi periferal. Otak merespons seluruh konteks sensorik selama proses pembelajaran, baik yang disadari maupun yang tidak disadari, yang memungkinkan kita untuk menangkap informasi dari berbagai sumber secara bersamaan. Guru bisa menyampaikan materi ajarnya dengan penggunaan multimedia, visual, audio, dan aktivitas interaktif untuk menstimulasi seluruh sensorik siswa agar mereka semakin memberikan perhatian fokus dan persepsi periferal siswa.

 

Prinsip kedelapan menyatakan bahwa pembelajaran selalu melibatkan proses sadar dan tidak sadar. Ada interaksi yang kompleks antara kesadaran dan proses tidak sadar dalam otak yang memengaruhi cara kita belajar, menciptakan pengalaman belajar yang beragam dan dinamis.  Guru harus menyadari bahwa proses belajar tidak hanya melibatkan interaksi yang disengaja tetapi juga proses bawah sadar. Oleh karena itu, pengulangan, latihan, dan eksposur berkala terhadap materi akan membantu memperkuat pembelajaran. Penggunaan teknik pengajaran yang melibatkan pembelajaran eksplisit dan implisit akan meningkatkan efektivitas proses belajar. Pembelajaran eksplisit adalah proses belajar informasi atau keterampilan yang diajarkan secara langsung, terstruktur, dan sadar. Pembelajaran ini melibatkan pengajaran yang jelas, terperinci, dan sering berbasis pada instruksi yang sistematis. Sementara itu, pembelajaran implisit adalah proses belajar yang terjadi tanpa adanya pengajaran langsung atau sadar, sering melalui pengalaman atau praktik yang tidak langsung. Pengajaran ini melibatkan penyerapan informasi secara tidak sadar dan pembentukan keterampilan atau pengetahuan melalui interaksi dan penggunaan sehari-hari.

 

Prinsip kesembilan adalah bahwa ada dua jenis memori. Memori spasial (autobiografi) menghubungkan fakta dengan pengalaman pribadi, sementara memori takson (rote learning) terdiri atas fakta dan keterampilan yang disimpan melalui latihan dan pengulangan.  Guru harus menggunakan berbagai strategi untuk memperkuat kedua jenis memori: memori spasial dan memori takson. Untuk memori spasial, mengaitkan informasi dengan pengalaman atau cerita pribadi dapat meningkatkan ingatan. Untuk memori takson, latihan dan pengulangan yang konsisten, seperti kuis atau latihan repetitif dapat membantu mengingat fakta dan keterampilan.

 

Prinsip kesepuluh mengungkapkan bahwa pembelajaran bersifat perkembangan. Bagi siswa yang sudah menguasai materi, guru bisa menawarkan tantangan lebih lanjut seperti proyek khusus atau kegiatan ekstra yang memperdalam pemahaman mereka, serta memberikan pilihan materi yang sesuai minat mereka. Mereka juga dapat dilibatkan dalam bimbingan teman sekelas. Di sisi lain, bagi siswa yang kurang memahami materi, guru harus memberikan dukungan tambahan melalui pelajaran remedial dan penjelasan sederhana dengan bantuan visual serta latihan terstruktur. Lingkungan belajar yang mendukung, seperti kelompok belajar kecil dan penggunaan teknologi yang menyesuaikan tingkat kesulitan, dapat mempercepat pemahaman siswa yang membutuhkan bantuan lebih.

 

Prinsip kesebelas adalah bahwa pembelajaran ditingkatkan dengan tantangan dan terhambat oleh ancaman. Dalam konteks teks ini, ancaman merujuk pada situasi atau faktor-faktor yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau ketidaknyamanan bagi siswa selama proses belajar. Misalnya, tekanan yang tinggi, kekhawatiran tentang penilaian, atau lingkungan belajar yang tidak mendukung dapat menyebabkan stres dan menghambat proses belajar, sebaliknya tantangan yang sesuai dan bermanfaat, seperti tugas yang menstimulasi pemikiran dan peluang untuk berkembang, dapat memotivasi dan meningkatkan efektivitas pembelajaran. Pemberian tugas yang menantang tanpa membuat siswa merasa tertekan atau terancam akan meningkatkan motivasi dan hasil belajar. Penggunaan umpan balik yang konstruktif dan menciptakan suasana kelas yang positif dapat membantu menjaga rasa aman siswa.

 

Prinsip kedua belas menjelaskan bahwa setiap otak adalah unik. Setiap individu memiliki cara belajar yang berbeda sehingga metode pengajaran perlu mempertimbangkan keunikan cara belajar setiap siswa untuk mencapai hasil yang optimal dalam proses pembelajaran.  Implikasinya adalah guru harus mengakui dan menghormati keunikan cara belajar setiap siswa. Hal ini melibatkan penggunaan pendekatan pengajaran yang bervariasi, termasuk metode visual, auditori, dan kinestetik untuk memenuhi berbagai gaya belajar. Penyesuaian individu dalam pengajaran dan memberikan opsi berbeda bagi siswa untuk menunjukkan pemahaman mereka akan mendukung kebutuhan belajar yang berbeda.

 

Akhir kata, teori neuroplastisitas dan prinsip-prinsip brain based-learning memang memberikan wawasan berharga tentang cara otak memproses informasi dan belajar, tetapi penerapannya dalam konteks pendidikan tidak selalu mudah. Bahkan saya sendiri masih sering kewalahan. Faktor-faktor eksternal seperti lingkungan sosial, budaya, atau teknologi perlu dipertimbangkan karena faktor-faktor ini tentu dapat memengaruhi proses belajar. Oleh karena itu, prinsip-prinsip brain based-learning ini memang penting untuk memberikan kerangka kerja yang berguna, tetapi kita juga masih perlu menyesuaikannya dengan konteks spesifik dan kebutuhan individu siswa untuk mencapai hasil belajar yang optimal. (****)

 

 

Prof. Dr. Daniel Ginting adalah Guru Besar Universitas Ma Chung dan Pengurus Pusat Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Editor: Dr. Indayani, M.Pd., Dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.