Tentang KIP Kuliah
Oleh: Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi
KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah sebenarnya hawa segar bagi sebagian calon mahasiswa baru. Ini merupakan bentuk perhatian pemerintah bagi warga negara Indonesia yang hidupnya kurang beruntung dari sisi ekonomi. Sebagai wujud nyata realisasi amanah pasal 31 ayat 1, tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Seleksi KIP-K diadakan oleh perguruan tinggi (PT) dengan tingkatan seleksi. Di unit kerja penulis, seleksi tahap awal adalah administratif, dilanjutkan dengan verifikasi data melalui tele-wicara, ditindaklanjuti dengan survei lapangan, dan terakhir diputuskan dalam sidang pleno siapa yang paling berhak menerima dana pendidikan dari negara tersebut.
Penulis ingin membagi cerita saat proses berlangsung. Setelah penentuan kuota KIP-K di tiap program studi, penulis, sebagai bagian dari panitia, memegang kurang lebih 20-30 file porto folio. Tidak jarang slot KIP-K yang cuma hitungan jari satu telapak tangan diperebutkan oleh puluhan calon mahasiswa untuk satu program studi.
Di tahap seleksi administratif, membaca profil dan keadaan keluarga yang tertera pada form pendaftaran tergambar kondisi memprihatinkan yang mereka alami. Mirisnya lagi banyak yang berstatus anak broken home dengan segala keruwetannya. Banyak juga data yang menunjukkan si calon penerima hidup bersama orang tua yang menderita penyakit. Namun, hal pertama yang mesti dicatat adalah apakah calon penerima terdaftar sebagai pemegang Kartu Indonesia Pintar. Kedua, prestasi apa saja yang pernah diraihnya. Ketiga, kondisi orang tua dan berapa tanggungan orang tua serta kepemilikan rumah.
Membandingkan data dalam pembacaan awal ini tidak gampang. Tim seleksi menentukan siapa calon penerima beasiswa yang lebih tidak menguntungkan hidupnya dibandingkan kondisi calon penerima lainnya. Ini memang pekerjaan yang menguras energi. Perasaan tega harus dimainkan untuk meloloskan calon peneima di tahap awal ini. Penyeleksi dituntut pandai membaca keadaan apakah dana negara tidak termanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga orang tuanya. Hal ini berarti seleksi alam bagi yang tidak mampu mesti minggir memberi jalan kepada yang kurang mampu. Pengertian dua kata “tidak” dan “kurang” mesti serius diperhatikan. Ini perang batin.
Tahap verifikasi melalui tele-wicara dilakukan berdasarkan hasil seleksi tahap pertama. Jujur di tahap ini, penulis lebih mempelajari karakter calon penerima dengan cara memperhatikan tekanan dan volume suara dari seberang gawai. Tidak jarang, kepanikan dan grogi terdengar sangat jelas, terbata-bata. Ini wajar, sih, tapi respek penulis meluntur sedikit demi sedikit ketika calon penerima didampingi bahkan didikte oleh orang lain. Ini sudah mengurangi kadar kualitas calon penerima beasiswa. Sebaliknya, beberapa calon penerima beasiswa ini mempunyai karakter kuat, suara tegas dan komunikasi bagus.
Tahap survei lapangan selalu memicu perasaan nano-nano. Suatu kali, penulis menghadapi orang tua yang terlalu dominan kepada si anak. Hal ini membuat calon penerima tidak dapat mengeluarkan pendapatnya, cenderung menyimpan, dan bersikap diam seolah takut salah. Suatu kali berikutnya, orang tua si calon penerima beasiswa terlihat menahan rasa ketidaknyamanan ketika tim seleksi datang. Di ujung tanya jawab, si bapak tidak mau tahu urusan anaknya sejak dulu, sementara mata berkaca-kaca dan senyum dipaksakan si anak tertangkap oleh mata penulis. Terbaca sangat jelas beban psikologisnya. Di lain tempat, seorang ibu tampak mendominasi pembicaraan daripada si bapak. Si ibu antusias merespon penjelasan tim seleksi tentang resiko dan konsekuensi penerima beasiswa negara. Si calon penerima beasiswa menjawab pertanyaan dengan percaya diri dan progresif. Intinya, mereka percaya pendidikan dapat mengubah nasib dan hidup mereka kelak. Tidak jarang, penulis menelusuri pandangan calon penerima beasiswa setelah menerima dana bantuan pendidikan ini bagi diri sendiri dan apa yang akan dikembalikan untuk negara, sedikit menyelidik ke world view seorang calon mahasiswa. Hihihi …
Begitu penulis berada dalam perjalanan dari satu rumah ke rumah lainnya, kecamuk pikiran membuat penulis tercekat. Insights dan values bermunculan bergantian mengerucut pada satu titik, bersyukur atas kehidupan pribadi penulis. Mereka telah memberi pelajaran berharga yaitu berbuat sesuatu dengan apa yang sudah penulis miliki.
Berkunjung ke rumah calon penerima untuk validasi data hanya terbatas untuk lokasi yang dapat dijangkau oleh panitia seleksi. Ini kegiatan yang dapat mengubah persepsi di tahap pembacaan data di awal tahap seleksi. Pertemuan secara langsung ini jauh lebih afdol sebab tim seleksi dapat melihat attitude dan seberapa kuat komitmen calon penerima serta bagaimana pandangannya mengenai pendidikan. Selain itu, tim seleksi dapat mengalami langsung respon orang tua dan dukungannya terhadap pendidikan anaknya.
Tips bagi calon penerima: jangan terlalu memelas pada poin gambaran bapak dan gambaran ibu; tunjukkan bahwa pendidikan dapat mengubah kehidupan. Nasehat untuk orang tua/wali calon penerima: jangan egois.
Fenomena berbeda untuk diceritakan adalah calon mahasiswa baru penerima beasiswa KIP-K titipan. Bahkan, sebelum proses dimulai. Hal ini sungguh memuakkan (maaf atas pilihan kata ini). Beban perang batin di tiap tahap seleksi mesti ditambah lagi dengan unsur external pihak penitip. Merepotkan!! Merepotkan karena harus menyiapkan kata-kata standard “tidak bisa titip”, belum lagi telepon mendesak supaya diloloskan. Huh!
Fenomena lain, tersebutlah di suatu waktu, di ruang kemahasiswaan, penerima KIP-K menghadap pengelola setelah beberapa kali dipanggil. Hari itu dijelaskan mengapa banyak mangkir saat jam kuliah. Si A menjawab karena harus kerja, si B punya kasus dengan teman sekelas, si C mesti mengupayakan biaya untuk kakek-nenek dan bapak-ibunya yang menderita sakit, si D bertugas menjaga kantin di pondoknya, dan lain-lain. Kasus-kasus yang beraneka macam harus menjadi agenda kemahasiswaan secara rutin di setiap semester. Bagaimana membuat mereka berterus terang mengapa sering absen atau IPK jeblok, bagaimana menanamkan kembali trust pada diri mereka untuk menyelesaikan masa studi, bagaimana mencarikan solusi supaya mereka tidak putus kuliah, dan masih banyak lagi bagaimana-bagaimana selanjutnya. Satu lagi, menyusun usulan dan laporan. Hehehe …
Serba-serbi KIP-K selalu berwarna, banyak drama, dan seru. Penulis menitipkan pesan kepada anak bangsa siapapun itu, berprestasilah dengan potensi yang dimiliki dan raih beasiswa. Beasiswa atas dasar prestasi, bukan atas dasar kurang mampu.(****)
Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi adalah dosen program studi Pendidikan bahasa Inggris Universitas PGRI Madiun
Naskah ini disunting oleh Risa Triassanti, dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Ronggolawe Tuban