Tahun 2025 Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, Yuk Lihat Dampaknya
"Nanti akhir Juni atau awal Juli akan ditentukan, kira-kira berapa iuran, target manfaat, dan juga tarif (akan disesuaikan)," ujar Ghufron di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Senin (11/11).
NUSADAILY.COM – JAKARTA - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan paling lambat pertengahan 2025 mendatang.
Usulan kenaikan disampaikan agar defisit keuangan yang mengancam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu bisa tertutup.
Memang, Iuran BPJS Kesehatan sudah berulang kali disinyalir bakal naik pada 2025.
Ghufron memproyeksi pada tahun ini BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp20 triliun. Dirinya khawatir jika ancaman itu tidak teratasi, keberlangsungan JKN akan terganggu dan akan berpotensi mengalami gagal bayar pada 2026 jika iuran tak naik.
Menurutnya, usulan kenaikan disampaikan karena sudah dua periode ini iuran BPJS Kesehatan tak diubah pemerintah. Padahal, kenaikan iuran idealnya dilakukan setiap dua tahun sekali.
"Nanti akhir Juni atau awal Juli akan ditentukan, kira-kira berapa iuran, target manfaat, dan juga tarif (akan disesuaikan)," ujar Ghufron di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Senin (11/11), seperti dikutip detikcom.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perencanaan dan Pengambangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengatakan sejak 2023, terjadi gap antara biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan dan penerimaannya.
Dia mengatakan rencana kenaikan iuran menjadi salah satu cara agar program JKN tetap berjalan di samping melakukan siasat lain mulai dari cost sharing sampai subsidi APBN.
"Sejak 2023, ada gap cross, artinya antara biaya dengan premi sudah lebih tinggi biayanya. Lost ratio yang terjadi di BPJS Kesehatan antara pendapatan premi dengan klaim yang dibayarkan bisa mencapai 100 persen. Ini yang membuat kondisi BPJS Kesehatan semakin tertekan dan mengancam kegagalan pembayaran klaim," tutur Mahlil.
Iuran BPJS Kesehatan memang tidak naik selama beberapa tahun belakangan ini. Jika dirinci, peserta BPJS Kesehatan Kelas 1 membayar iuran Rp150 ribu per orang per bulan, Kelas 2 membayar iuran Rp100 ribu per orang per bukan, dan Kelas 3 membayar Rp35 ribu per orang per bulan. Iuran Kelas 3 sebenarnya sebesar Rp42 ribu per bulan, tetapi disubsidi pemerintah sebesar Rp7.000.
Lantas apa dampak jika Prabowo benar menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tahun depan?
Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P Sasmita melihat kenaikan iuran memang bisa menjadi salah satu solusi dari defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Namun, logika tersebut tak bisa serta merta diterima begitu saja.
Hal tersebut dikarenakan BPJS Kesehatan adalah bagian dari bentuk intervensi negara dalam bidang kesehatan. Artinya, jika kondisi pendapatan masyarakat, terutama pekerja belum layak menerima kenaikan, maka mau tak mau negara harus menanggung.
"Memang begitulah salah satu logika BPJS, tidak melulu urusan untung rugi dan defisit," tutur Ronny dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (12/11).
Ronny mengatakan usulan kenaikan iuran perlu didukung oleh data yang kompatibel dari pemerintah.
Selain itu, hal-hal yang perlu dipertanyakan termasuk apakah kondisi pendapatan pekerja sudah siap menerima kenaikan, juga apakah kenaikan UMP tahun ini dan tahun depan bisa menetralisasi kenaikan iuran tersebut. Hal-hal itu harus dijawab terlebih dahulu dengan logis dan faktual.
Ia berpendapat angka kenaikan tak mesti harus menutup seluruh defisit BJPS Kesehatan sekaligus. Ronny juga mengingatkan jangan sampai kenaikan iuran dibebankan kepada seluruh peserta.
"Yang jelas, kenaikan iuran BPJS jangan sampai menekan daya beli pekerja, karena dalam dua tahun terakhir pendapatan pekerja dan kelas menengah sedang mengalami tekanan yang luar biasa. Jadi kenaikannya jangan terlalu tinggi. Harus benar-benar dihitung," ujarnya.
Ia menyebut jika kenaikannya terlalu besar, contohnya hingga Rp50 ribu, tentu hal itu akan mengurangi kuota beras pekerja sampai 4 liter. Artinya, kenaikan iuran hingga Rp50 ribu akan berkontribusi pada tekanan daya beli pekerja.
Ia berasumsi jika iuran hanya naik sekitar Rp10 ribu, imbasnya tidak akan terlalu besar pada pendapatan peserta BPJS Kesehatan.
Ronny pun tak menampik jika kenaikan iuran tak dilakukan BPJS Kesehatan memang bisa defisit seperti dahulu. Hal itu berkaca kepada jumlah tagihan yang cukup besar dari tahun ke tahun. Namun, menurut Ronny, BPJS Kesehatan perlu buka-bukaan soal balance sheet-nya kepada publik.
"Solusi jangka pendeknya tentu bisa dengan menaikan iuran. Tapi solusi jangka panjangnya tentu dengan mengurangi tagihan. Artinya, menurunkan angka sakit peserta BPJS dan masyarakat secara umum," ucap Ronny.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan untuk mengatasi permasalahan finansialnya, BPJS Kesehatan harus mencari sumber lain yang bisa menambah pendapatannya, seperti memutar investasi dari corporate social responsibility (CSR) atau hal lain. Hal tersebut guna mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari iuran.
Faisal mengatakan sebetulnya jumlah tagihan yang ditutup oleh BPJS Kesehatan cukup besar dari peserta yang mampu dan yang tak mampu dengan jumlah penerima bantuan iuran (PBI) yang relatif meningkat.
"Jadi yang membayar iuran ini sebetulnya relatif lebih terbatas, apalagi kalau di tengah kondisi seperti sekarang pasca pandemi yang kelas menengahnya yaitu pembayar iuran," jelasnya.
"Kelas menengah ini yang justru mengalami penurunan dari sisi kemampuan income-nya. Ketika kemudian ditambah lagi bebannya dengan menambah iuran untuk BPJS Kesehatan, ini semakin memberikan discouragement bagi mereka yang selama ini membayar BPJS Kesehatan," imbuh Faisal.
Maka itu, Faisal mengatakan di situlah pemerintah semestinya berperan untuk mengatasi hal tersebut, terutama bagi yang kalangan bawah atau tidak mampu, dan bukan semakin membebankan kelas menengah.
"Jadi bukan makin dibebankan kepada yang kelas menengah yang sekarang ini justru malah tergerus daya belinya. Kalau bergantung pada iuran kelas menengah yang membayar premi untuk meng-cover besarnya beban dari kalangan bawah," kata dia.
Apalagi, katanya, ditambah dengan standar pelayanan kesehatan yang dinaikkan yang bisa berujung pada pengurangan pelayanan kesehatan secara kuantitas.
Memang beberapa bulan silam dikabarkan pemerintah memerintahkan seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memberlakukan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) paling lambat 30 Juni 2025.
Skema tersebut kala itu menimbulkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa kelas 1, 2 ,3 akan dihapus dan diganti dengan penerapan KRIS di seluruh rumah sakit.
"Jadi itu juga di sisi yang lain jangan justru menetapkan standar dari kesehatan di pusat yang justru susah untuk diikuti di daerah," ujar Faisal.(han)