Sistem Proporsional Tertutup=Kembali ke Zaman Baheula
Pemilu dengan proporsional terbuka digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Judicial Review. Itu menyusul wacana di DPR RI, 8 partai menolak sistem tertutup melawan PDI Perjuangan.
NUSADAILY.COM - SURABAYA - Pemilu dengan proporsional terbuka digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Judicial Review. Itu menyusul wacana di DPR RI, 8 partai menolak sistem tertutup melawan PDI Perjuangan.
Sistem pemilu yang akan dikembalikan kepada sistem lama proporsional tertutup hanya akan membawa bangsa ini kembali ke zaman Baheula (zaman batu,red).
Demikian terungkap dalam fokus group discussion (FGD) yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (7/2/2023) pagi.
Salah satu peserta FGD, M Eksan, mantan anggota Dewan Provinsi 2014-2019 dari NasDem ini menolak sistem proporsional tertutup.
Dorongan adanya perubahan dari sistem proporsional terbuka ke tertutup melalui Judicial Review dicurigai sebagai bagian dari skenario kekuatan besar untuk menarik ke sistem lama.
Tidak keuntungannya bagi bangsa ini selain kemunduran politik ke zaman jahiliyah politik dalam proposional tertutup.
Yang jelas, sejak Pemilu I, 1955 Indonesia sudah 8 kali memakai proporsional tertutup.
Partai yang akan berkuasa. Sebaliknya kedaulatan ada di tangan rakyat hanya omong kosong.
Rakyat tidak terwakili secara faktual dalam perkembangannya. Partai politik yang ada justru mengkhianati kehendak rakyat.
Jika diaplikasikan dalam pemilihan umum, maka calon legislatif atau wakil rakyat ditentukan oleh sejauh mana kedekatan dengan elit partai, dan isi tas. Bukan popularitas. Juga ditentukan nomor urut kopyah atau sepatu.
Legislatif yang terbentuk jelas mewakili partai bukan mewakili rakyat. Selanjutnya sejarah mencatat sudah 4 kali pemilu memakai sistem proporsional terbuka.
Diakui Eksan, di awal 2004 memakai sistem bilangan pembagi pemilu (BPP) kemudian disempurnakan MK di Pemilu 2008 murni memakai suara terbanyak. Memilih gambar partai dan nama-nama calon legislatif.
"Di sini jelas kesempatan sangat luas, rakyat bebas memilih, dan sesuai aspirasi yang berkembang," ujarnya.
Kala memakai sistem BPP suara terbanyak pada 2008, di situ kata Eksan ada pengkhianatan terhadap suara rakyat.
Menurut hematnya, ada beberapa orang mengatasnamakan partai. Ini bukan pekerjaan pribadi. Tapi ada skenario besar kekuatan politik untuk menarik mundur ke masa lampau.
"Menurut saya, tidak ada alasan secara historis menarik proporsional tertutup. Meski diakui proporsional terbuka ada kelemahan munculnya money politik," ujarnya.
"Namun tidak ada alasan kembali ke sistem politik zaman Baheula. Kejahiliyaan politik. Yang musti kita pegang adalah bagaimana kedaulatan di tangan rakyat dan dijalankan Undang-undang, bukan dijalankan oleh partai," pungkasnya.
Bahayanya jika diteruskan dan seandainya 9 hakim MK memutus ke sistem proporsional tertutup maka akan muncul kader jenggot yakni kuat di struktur, namun tidak ada kekuatan rakyat sama sekali.
"Dengan sistem proporsional terbuka. Itu Fair. Kesempatan sama. Orang kaya dan orang tidak ada uang punya kesempatan sama. Yang patut dipahami adalah partai hanyalah instrumen kendaraan. Jika benar, ini bukan kabar buruk tapi juga kematian demokrasi," sergahnya.
Bahaya selanjutnya, Eksan mencontohkan negara Malaysia yang sampai detik ini belum bisa keluar dari persoalan politiknya.
Mereka sekarang tertatih tatih menyelesaikan krisis politiknya. Jangan sampai Indonesia dibawa ke zaman Baheula dan demokrasi zaman batu lagi.
Sementara itu, Zaini, tokoh praktisi hukum dan pemerhati pemilu asal Pamekasan Madura, mengatakan justru persoalan yang harus diperhatikan adalah menyelesaikan sikap apolitis generasi muda.
Dia melihat sistem proporsional tertutup hanya akan melahirkan kebuntuan demokrasi di tingkat bawah.
Partai akan mendominasi dan merasa mewakili suara rakyat. Namun sejatinya, kedaulatan rakyat harus diterjemahkan dalam sistem proporsional terbuka yang sudah ada.
"Kalau kami tetap menyepakati sistem yang sudah ada proporsional terbuka. Meski di sana-sini dibutuhkan penyempurnaan, baik penyelenggaraan dan pendidikan politik masyarakat, " ujarnya.(*)