Sistem Pemilu 2024, di Tengah Kegalauan Menunggu Putusan MK

Oleh: Saiful Bakhri

Sistem Pemilu 2024, di Tengah Kegalauan Menunggu Putusan MK

ESKALASI politik nasional dalam sepekan terakhir ini terus bergulir dengan segala dinamikanya. Tiga tokoh nasional yang digadang gadang sebagai calon presiden (Capres) pada Pemilu 2024, yakni Prabowo Subiyanto, Anies Bawesdan dan Ganjar Pranowo, terus bermanuver. Dengan berbagai strategi politiknya dengan dukungan masing-masing kekuatan koalisi partai pengusungnya, mereka saling bersaing meningkatkan popularitas dan elektabilitas sebagai modal untuk bersaing pada pesta demokrasi Pemilihan Presiden 2024.

Juga para pengurus partai politik sebagai konstestan Pemilu 2024, sudah mendaftarkan kader kader terbaiknya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik tingkat pusat (DPR RI) maupun di  tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pihak KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi pun sudah melakukan tugas dan fungsinya sesuai tahpan tahapan  pelaksanaan Pemilu.

 

Begitu pula Badan Pengawas Pemilihan Umum (Banwaslu), sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah, --seperti diatur dalam bab IV Undang-undang nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum.

 

Ironisnya, di tengah perkecamuknya perpolitikan nasional maupun tingkat daerah yang begitu dinamis, masih belum ada kepastian sistem pemilu yang digunakan pada pesta demokrasi 2024. Bahkan hingga pekan ini, pihak Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai lembaga yang memutuskan sistem pemilu ini,--menyusul gugatan uji materil dari pihak PDIP atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, belum juga mengeluarkan putusan apa pun.

 

Sejauh ini pihak MK memang sudah menggelar sidang. Kali terakhir digelar pada 16 Maret 2023, dengan Nomor Perkara 114/PUU-XX/2022, yang  diihadiri sembilan hakim konstitusi diketuai Anwar Usman dan Wakil Ketua Saldi Isra. Lagi-lagi hingga saat ini, belum ada keputusan yang dikeluarkan sebagai penetapan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Sehingga masih menjadi sebuah teka-teki di tengah semakin memanaskan konstelasi perpolitikan nasional tersebut.

 

Jika menelisik dua sistem pemilu ini memang ada kelebihan dan kelemahan di masing-masing. Hanya saja dalam sidang lanjutan digelar MK, terungkap bahwa  sistem proporsional terbuka tetap akan menjadi sistem pemilu yang terbaik. Pasalnya, sistem pemilu terbuka itu dapat memaksimalkan hak rakyat untuk memilih.

 

”Penggantian sistem pemilu menjadi proporsional tertutup akan berdampak langsung pada pemilih sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana diatur Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 sehingga ini perlu dikaji lebih dalam,” kata Fadli Ramadhanil, Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang hadir dalam persidangan uji materil digelar MK tersebut.

 

Penolakan terhadap sistem pemilu proporsional tertutup pun semakin kencang. Bahkan, untuk kepentingan itu, partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin rela ”melebur” dengan partai yang selama ini berada di luar pemerintahan. Itu terungkap saat para para elite tujuh partai  yang memiliki kusri di DPR/MPR RI, yakni  Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), berwacana sama; menyiratkan penolakan perubahan sistem  proporsional terbuka ke tertutup. Mengapa mereka menolak?

 

Beragam dalil diutarakan oleh para elite parpol untuk menjustifikasi penolakan perubahan sistem. Dalil demokrasi menjadi yang paling dominan. Alasannya, dengan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, pemilih tak bisa lagi memilih langsung calon wakil mereka di DPR/DPRD. Penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih akan ditentukan sepenuhnya oleh parpol.

 

Meski demikian, muncul pula pandangan bahwa perubahan sistem bisa berimbas ke elektabilitas parpol sehingga mendasari munculnya penolakan kuat dari sebagian besar parpol. Bahkan, bagi parpol kecil, bisa saja perubahan sistem mengancam eksistensi mereka. Pasalnya, jika sistem proporsional tertutup diterapkan, tertutup peluang parpol mendulang suara dari caleg yang diajukan parpol sebagaimana bisa diraih saat sistem proporsional terbuka berlaku.

Sistem pemilu proporsional tertutup sejatinya bukan barang baru dalam kepemiluan di Tanah Air. Pasca-reformasi, sistem itu pernah diterapkan pada Pemilu 1999. Kala itu, pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai dalam surat suara. Adapun penentuan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan nomor urut dalam daftar caleg yang sebelumnya telah disodorkan partai politik.

 

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, menilai, cara penentuan wakil rakyat dengan sistem tersebut otomatis akan membuat pemilih tidak lagi memiliki hak untuk menentukan wakilnya di parlemen.

 

Tak hanya itu, proses perekrutan caleg di parpol dilihatnya masih tertutup dan tidak bisa dijangkau oleh pemilih. Faktor-faktor politis, seperti kedekatan dengan elite parpol dan lobi-lobi politik, bisa lebih menentukan dibandingkan dengan kapasitas. Akibatnya, dengan sistem proporsional tertutup, sangat mungkin calon yang hanya karena dekat dengan elite parpol tertentu, tetapi diragukan kapasitasnya, terpilih menjadi wakil rakyat.

 

Bisa juga terjadi parpol menempatkan anggota legislatif di mana pun dengan semata pertimbangan elektoral dan mengabaikan kedekatannya dengan masyarakat di daerah pemilihan tertentu. Padahal, anggota legislatif semestinya memahami kebutuhan dan menjembatani antara masyarakat dan pemerintah.

 

Lebih dari itu, dengan penentuan calon terpilih di tangan parpol, anggota legislatif nantinya justru menjadi perpanjangan tangan parpol. Mereka lebih mengutamakan kepentingan parpol, bukan konstituennya. Praktis peran masyarakat jadi hampir nol karena tinggal menerima saja pilihan parpol. Padahal, yang menduduki kursi parlemen adalah wakil rakyat, bukan wakil partai.

 

Itu yang perlu dipahami. Bahwa titik hubung dari tujuan kedaulatan rakyat dengan kualitas penyelenggaraan pemilu adalah agar rakyat sebagai subyek utama dalam kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek dalam mencapai kemenangan semata.  Maka dengan  sistem proporsional terbuka karena ada keinginan rakyat memilih wakilnya yang diajukan oleh parpol dalam pemilu. Harapannya, wakil rakyat tidak hanya mementingkan kepentingan parpol, tetapi juga mampu membawa aspirasi pemilih.

Meski saat ini sistem proporsional tertutup ditentang banyak kalangan, bukan berarti pula sistem itu tak ada kelebihannya. Salah satu keunggulan sistem itu bisa membuat peran parpol menjadi lebih kuat karena parpol dipaksa melakukan kaderisasi dan mendorong institusionalisasi parpol. Bahkan, di sejumlah negara yang menerapkan sistem ini, keterwakilan perempuan dalam parlemen bisa lebih dijamin.

 

Dengan segala kelebihan dan kelemahan dua sistem pemilu itu, tentunya kita masih berharap segera ada keputusan dari uji materi oleh MK. Dan  apa pun putusan dari MK,-- apakah proporsional terbuka dipertahankan atau diubah menjadi tertutup, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi karena kelemahan ada dalam setiap sistem.

 

Memang ada kegalauan banyak pihak di tengah menunggu putusan MK atas sistem Pemilu 2024. Dan terlepas apa pun sistem yang diputusankan, tentunya menjadi kewajiban kita semua untuk terus memperbaiki kelemahan, sekaligus mempertahankan kelebihan atas apa pun sistem pesta demokrasi yang akan diputuskan MK. Ini akan menjadi sebuah tantangan dalam membangun demokrasi bangsa ini agar lebih bermartabat. (***)