Riuh Masyarakat Mempersoalkan Hasil Lembaga Survei, Cak Imin: Hasil Survei Bisa Dipesan

"Kenapa hasil survei selalu berbeda-beda? Jawabannya tergantung dari sisi mana pertanyaan yang disampaikan ke responden. Apa bisa pesan hasilnya? Ya pasti bisa, tergantung perspektif pertanyaannya," kata Cak Imin melalui akun Twitter @cakiminow, Kamis (8/6).

Jun 9, 2023 - 19:21
Riuh Masyarakat Mempersoalkan Hasil Lembaga Survei, Cak Imin: Hasil Survei Bisa Dipesan

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Muhaimin Iskandar kerap dipanggil Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengakui bahwa hasil survei memang bisa dipesan.

Cak Imin juga mengungkap alasan hasil berbagai survei berbeda-beda. Menurutnya, sudut pandang pertanyaan petugas survei menjadi faktor penentu.

"Kenapa hasil survei selalu berbeda-beda? Jawabannya tergantung dari sisi mana pertanyaan yang disampaikan ke responden. Apa bisa pesan hasilnya? Ya pasti bisa, tergantung perspektif pertanyaannya," kata Cak Imin melalui akun Twitter @cakiminow, Kamis (8/6).

Di akhir cuitan, ia menyinggung soal integritas masing-masing lembaga survei. Dia menyebut hal itu berpengaruh pada hasil survei.

"Itu pun juga masih tergantung 1 hal lagi; moralitas dan integritas lembaga surveinya. Gitu aja kok ribut!" ucapnya.

Sebelumnya, kiprah lembaga survei menjadi sorotan karena pernyataan sejumlah tokoh oposisi. Misalnya, Rocky Gerung yang menyebut survei tipu-tipu.

Politikus Partai Demokrat Benny K Harman juga menyangsikan integritas lembaga survei. Ia menuding lembaga-lembaga survei dipesan untuk menjegal Anies.

"Survei pun dibayar untuk membenarkan skenario penguasa, skenario untuk mengalahkan Anies dengan berbagai cara. Pengamat dan intelektual juga diberi upah agar memberi komentar yang sejalan dengan kehendak penguasa," ucap Benny di akun Twitter @BennyHarmanID, Senin (5/6).

Tudingan-tudingan tersebut telah dijawab oleh beberapa petinggi lembaga survei. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi membantah klaim Rocky soal lembaga survei tipu-tipu.

"Kalau lembaga-lembaga survei itu tipu-tipu seperti kata Rocky, tidak mungkin partai-partai, lembaga-lembaga internasional, dan lain-lain meminta survei ke kami," kata Burhan di akun Twitter @BurhanMuhtadi, Rabu (7/6).

Alarm Integritas Lembaga Survei di Tahun Politik

Independensi dan integritas lembaga survei politik menjadi pertanyaan laten yang kembali mencuat jelang Pemilu 2024.

Salah satunya imbas pernyataan pengamat Rocky Gerung yang kemudian disambut sejumlah penggawa lembaga survey politik di Indonesia via akun media sosial masing-masing.

Tudingan Rocky Gerung diawali dengan paparan sejarah lembaga survei. Dia menyebut Lembaga Survei Indonesia (LSI) merupakan cikal bakal adanya institusi serupa di Indonesia. 

Menurutnya LSI malah dibiayai oleh bank dunia untuk menopang demokrasi di Indonesia.

LSI kemudian melahirkan tokoh-tokoh yang kini membuat lembaga survei-survei politik lain di Indonesia. Namun, ia menilai lembaga survei di Indonesia saat ini merupakan upaya tipu-menipu.

"Nipu, udah digaji, eh dia bikin di dalam lembaga yang udah digaji itu survei dia sendiri. Semua lembaga survei yang ada sekarang itu adalah urusannya tipu-menipu saling titip kuesioner," ujar Rocky dalam rekaman video yang kemudian viral.

Dugaan itu muncul lantaran hasil berbagai survei politik yang ada di Indonesia cenderung mirip.

Menurutnya, sebuah lembaga survei tak bisa diyakini kebenarannya jika tidak memiliki bukti dibiayai publik.

Pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menegaskan bahwa LSI tak dibiayai oleh bank dunia melainkan Japan International Cooperation Agency (JICA). Namun, sumber tersebut tak mendikte proses dan hasil survei.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan lembaga survei tak melakukan penipuan. Hal itu lantaran lembaga survei telah dipercaya banyak pihak, salah satunya partai politik.

Lantas bagaimanakah?

Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi mengatakan tak akan ada yang mempersoalkan lembaga survei selama ada pertanggungjawaban secara ilmiah dan transparansi terkait pembiayaan.

Menurutnya, jika lembaga tersebut dapat menjelaskan dengan baik perihal metode yang digunakan dalam survei, maka dipastikan memang bisa memprediksi angka. Sebab, salah satu fungsi ilmiah adalah memprediksi.

"Masalah kedua adalah pembiayaan. Siapa yang membiayai. Dari situ bisa kita lihat apakah lembaga survei ini memang punya kepentingan untuk kemajuan demokrasi atau untuk kepentingan tertentu dalam politik jangka pendek," kata Asrinaldi, dikutip Nusadaily.com dari CNNIndonesia.com, Rabu (7/6).

Asrinaldi tak menampik ada beberapa hasil survei yang bisa menggiring opini publik jelang tahun pemilu.

Survei, katanya, bisa saja membentuk opini jika didukung perangkat lain seperti pemberitaan media, pemengaruh (influencer), serta pendengung (buzzer) yang menggemakan isu tersebut via berbagai platform media sosial.

Asrinaldi pun lalu berbicara soal pencitraan dan realita. Menurutnya, informasi pencitraan sosok tertentu sebenarnya bisa berbeda dengan realita. Ia menilai jika diberitakan secara terus menerus akan membuat masyarakat percaya bahwa apa yang ditampilkan merupakan suatu kebenaran.

Ia menilai konsep tersebut juga berlaku untuk hasil survei yang dipublikasikan kepada masyarakat. Misalnya, hasil survei menyatakan salah satu calon presiden atau partai politik memperoleh banyak suara, maka seiring berjalannya waktu di dalam pikiran masyarakat akan terpatri bahwa sosok tersebut akan menang.

"Kecenderungan manusia itu memang memihak kepada yang menang. Dengan kecenderungan itu tentu lembaga survei sudah mengalami makna yang negatif karena memang tujuannya untuk menggiring opini publik untuk kepentingan politik yang mereka dukung. Itu yang kita sayangkan," ujar Asrinaldi.

Sementara itu, Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati menyatakan pentingnya lembaga survei untuk demokrasi yakni guna menstimulus partisipasi pemilih. Sebab, melalui lembaga survei mereka bisa mendapatkan informasi terkait masing-masing kandidat.

Berbeda dengan Asrinaldi, Wasis menilai lembaga survei tak bisa menggiring opini publik. Ia menyebut hal itu tergantung pada pandangan masing-masing individu.

"Karena pada dasarnya temuan yang dipresentasikan oleh lembaga survei itu hanya temuan sampel. Oleh karena itulah, tergantung lagi pada intepretasi publik dalam membaca temuan itu," ucapnya.

Lembaga survei yang berpihak pada kandidat

Asrinaldi mengatakan sepatutnya lembaga survei yang berpihak dan direkrut kandidat atau institusi tertentu tidak memublikasikan hasil surveinya ke publik. Menurutnya, hasil tersebut cukup untuk kepentingan internal yang kemudian digunakan untuk merancang strategi kemenangan.

"Jadi berapa angkanya, datanya berapa itu mereka untuk menyusun strategi bahwa kita dalam bulan ini harus menaikkan elektabilitas kita, menaikkan popularitas kita, harus turun ini, mainkan isu ini. Itu internal itu strategi," katanya.

"Tapi kalau kita tahu lembaga survei ini direkrut calon tertentu kemudian mempublikasikan, sudah pasti itu akan memenangkan yang di-hire itu. Jangan dipercaya," sambung penulis buku Kekuatan-kekuatan Politik di Indonesia (2014) itu.

Asrinaldi menilai sudah menjadi rahasia umum ada beberapa lembaga survei besar terafiliasi oleh partai politik. Oleh karena itu, tak lagi mengherankan jika hanya tokoh tertentu saja yang unggul di lembaga survei tertentu.

"Tidak heran kalau melihat hasilnya si ini menang, si ini terus, ya sudah kita paham sama paham. Cuma yang kita sayangkan adalah publik yang tidak paham dengan ini akan tergiring kepada apa yang dimaui oleh lembaga survei ini," ucap Asrinaldi.

Atas dasar itu, kata dia, mempertanyakan perihal pembiayaan terhadap lembaga survei perlu untuk dilakukan.

Ia menyebut biaya survei nasional berada di kisaran angka Rp500 Juta hingga hampir Rp1 miliar, sehingga tidaklah mungkin jika lembaga survei merogoh kantong pribadi untuk pembiayaan.

"Tanyakan siapa yang membiayai. 'Oh kami biaya sendiri'. Tidak mungkin, biaya survei itu mahal lho. Sekali oke kita percaya tapi kalau berkali kali enggak yakin saya. Untuk apa kepentingan dia kalau sekedar publikasi saja. Mahal biaya survei lho, pemilu bagi dia kan keuntungan juga," ujarnya.

Perihal integritas lembaga survei sebetulnya bukan diungkap Rocky saja. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD dalam kegiatan KAHMI di Palu pada tahun lalu pun pernah menyinggung soal lembaga survei 'bisa dibeli'.

Mahfud mengatakan saat ini semua orang dapat mengeluarkan hasil survei bahkan membelinya. Seseorang juga bisa membayar lembaga survei untuk memunculkan namanya dalam hasil survei tertentu.

"Sekarang saudara boleh survei. Wah, ini surveinya sekarang ya nomor 1, 2. Ini ada yangngeluh 'loh kok saya belum masuk, masukkan saya dong', boleh," kata Mahfud dalam pidatonya di acara Gala Dinner Keluarga Besar KAHMI di Palu, Sulteng yang disiarkan di kanal YouTube Munas Kahmi, pada 24 November 2022 lalu.

Asrinaldi mengaku mulanya begitu kagum dengan lembaga survei pada era Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga itu lahir pada dekade 1970an silam dan masih eksis hingga saat ini.

Lembaga yang dulu dilahirkan Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) itu bergerak di bidang penelitian, pemberdayaan, pendidikan politik, ekonomi, sosial, serta penerbitan.

"Awalnya saya sangat respek, pertamanya LP3ES. Itu sangat luar biasa sekali," kata dia.

Setelah LP3ES, Asrinaldi mengatakan seiring berjalannya waktu, muncul beberapa lembaga survei yang mulanya mencari mitra untuk bekerja sama, namun berakhir dengan memublikasikan hasil survei untuk menunjukkan eksistensi.

Menurutnya banyak lembaga survei yang ingin mencari keuntungan dan kecenderungan masyarakat kepada lembaga tersebut, sehingga dipermainkan. Oleh karena itu, ia menyebut lembaga survei kini justru menunjukkan tren independensi yang semakin buruk.

"Kalau dilihat trennya sekarang dengan banyak lembaga survei membuat orang semakin bingung sehingga orang tidak percaya ya itu menggambarkan hasil survei semakin lama semakin buruk," kata Asrinaldi.

Asrinaldi menyatakan integritas sebuah lembaga survei tecermin pada kemandiriannya dalam membiayai survei tersebut.

Menurutnya, jika pembiayaan dilakukan secara pribadi, maka bisa dipastikan lembaga itu berintegritas.

Namun sebaliknya, jika pembiayaan tidak transparan, maka perlu dipertanyakan integritas lembaga survei itu.

"Kalau dia bisa menunjukkan bahwa dia membiayai itu tidak bergantung pada orang lain berarti dia independen. Kalau dia independen berarti integritasnya bisa dijaga," ujarnya.

"Tapi kalau independensinya itu tidak bisa ditunjukkan kepada publik bagaimana kita mempercayai integritasnya," sambung Asrinaldi.

Afiliasi dan kredibilitas lembaga survei

Sementara itu Wasisto mengatakan kredibilitas lembaga survei bisa dilihat dari terafiliasinya lembaga tersebut dengan asosiasi.

Salah satu asosiasi yang menampung lembaga survei adalah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).

Menurutnya, lembaga yang tergabung dalam Persepsi tak akan melakukan tindakan menyimpang lantaran adanya kode etik yang mengikat.

Lebih lanjut, Wasisto menuturkan hasil survei bisa dipercaya validitasnya jika sampel yang digunakan dalam mengambil data tersebar merata di seluruh Indonesia. Selain itu, sampel juga representatif dengan populasi penduduk.

Dia menyebut salah satunya Litbang Kompas yang memiliki sampel yang begitu besar, sehingga membuat banyak masyarakat mempercayai hasil survei tersebut ketimbang survei lainnya.

Wasisto mengatakan integritas sebuah lembaga survei bergantung pada interpretasi publik dalam melihat hasil survei tiap lembaga.

Hal itu juga dapat dilihat berdasarkan metode yang digunakan dalam pengambilan sampel saat melakukan survei.

"Tapi paling tidak publik bisa lebih cerdas dalam membaca hasil survei. Misalnya berapa responden dan durasi survei di lapangan. Kedua hal itu krusial dalam menghasilkan temuan survei," ujarnya.

Namun Ketua Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Philips Vermonthe dan dua anggota lain yakni Djayadi Hanan serta Hamdi Muluk, belum memberikan keterangan resminya terkait tudingan tersebut.(han)