Resesi Seks Bisa Terjadi di Indonesia, Tanda-Tandanya Sudah Ada

Resesi seks, hal itu mungkin bisa terjadi di Indonesia. Sebagaimana sejumlah negara Asia seperti Korea Selatan hingga Singapura Serikat dilaporkan mengalami 'resesi seks'.

Dec 7, 2022 - 14:15
Resesi Seks Bisa Terjadi di Indonesia, Tanda-Tandanya Sudah Ada

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Resesi seks, hal itu mungkin bisa terjadi di Indonesia. Sebagaimana sejumlah negara Asia seperti Korea Selatan hingga Singapura Serikat dilaporkan mengalami 'resesi seks'. Korea Selatan mencetak rekor angka kelahiran terendah yakni 0,8. Alasannya adalah gaya hidup pasangan suami istri yang berubah. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Dilansir dari detikcom, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo, SpOG menyebut adanya kemungkinan 'resesi seks' di Indonesia. Namun menurutnya, proses ini akan berjalan cukup panjang.

 

Hal ini terjadi karena sebagian besar penduduk Indonesia masih fokus pada tujuan menikah untuk pro kreasi atau memiliki anak. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan hal tersebut menghantui Indonesia.

 

Resesi seks ini dikaitkan dengan menurunnya gairah seseorang untuk melakukan hubungan seks, menikah, atau mempunyai anak. Dari ketiga aspek tersebut, persoalan di Indonesia yang mulai terlihat adalah mundurnya usia pernikahan.

 

"Potensi itu ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. Pernikahan loh bukan seks," beber dr Hasto saat ditemui di Hotel Shangri La, Selasa (6/12/2022).

 

 

Lebih lanjut ia menyebut adanya usia pernikahan yang mengalami kemunduran sehingga menandakan prioritasnya sudah bergeser. Meski begitu, usia rata-rata berhubungan seksual pertama disebut maju yakni di usia 15 tahun.

 

"Usia pernikahan itu mundur, karena semakin menempuh studi, karier dan sebagainya," ucapnya.

 

Menurut dr Hasto, saat ini sebagian orang memang terlihat telah menunda atau tidak memiliki anak. Ia memberi contoh beberapa wanita lebih mementingkan kesejahteraan dan keamanan kualitas hidup bersama suami.

 

Sedangkan dari pihak pria yang tidak memilih untuk pro kreasi, lebih mementingkan kebutuhan menyalurkan gairah seksual mereka. Hal inilah yang disebut dapat berujung pada zero growth atau minus growth yang mengganggu angka ideal kelahiran.

 

dr Hasto menyebut sejumlah kabupaten atau kota sudah mencatat zero growth atau nihil kelahiran baru. Gaya hidup disebut menjadi penyebab terjadinya peristiwa ini.

 

"Kalau wanita misalnya, nggak apa-apa aku nikah tua, nggak apa-apa misal aku nggak punya anak karena yang penting terayomi dengan suami," jelasnya.

 

"Sekarang ini kan juga di daerah-daerah yang sudah minus growth atau zero growth itu kan seperti kabupaten di Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, itu kan beberapa kab/kota sudah zero growth, bahkan minus growth, karena jumlah anaknya sedikit," lanjut dr Hasto.

 

Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan memiliki angka kelahiran rata-rata 2,2 bahkan di beberapa kabupaten/kota 1,9. Ini artinya kebanyakan perempuan melahirkan kurang dari dua anak.

 

"Kalau kurang dari dua belum tentu melahirkan perempuan, karena potensinya 50:50, melahirkan laki-laki perbandingannya setengah, jadi kalau semua orang didorong anaknya segitu belum tentu punya perempuan," kata dr Hasto.

 

Idealnya, untuk mencapai pertumbuhan penduduk yang sesuai diperlukan minimal satu perempuan melahirkan satu anak perempuan. Sebab, jika kemudian semakin sedikit perempuan yang melahirkan, minus growth secara nasional tidak mungkin terjadi.(mar)