PPHN, Fokus pada Kemajuan dan Kesejahteraan Rakyat

Untuk memahami kecenderungan seperti itu, rasanya cukup dengan melihat potret Jakarta sebagai contoh kasus. Pembangunan Jakarta yang demikian pesat dalam dekade-dekade terakhir terbukti belum dapat mengatasi kemiskinan sebagian warganya.

Jan 26, 2023 - 18:01
PPHN, Fokus pada Kemajuan dan Kesejahteraan Rakyat
PPHN, Fokus pada Kemajuan dan Kesejahteraan Rakyat

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Setelah 77 tahun meraih kemerdekaan, sudahkah negara-bangsa mampu menyejahterahkan seluruh rakyat? Dan ketika usia reformasi saat ini menuju durasi waktu seperempat abad, sudahkah semua warga negara mendapatkan akses seluas-luasnya untuk menggapai kemajuan seturut perubahan dan kemajuan zaman?
Inilah esensi renungan tentang urgensi Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Tanpa PPHN yang wajib dipatuhi penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah, pembangunan berskala nasional maupun skala daerah selalu berpotensi kehilangan arah, atau tidak berfokus pada kewajiban utamanya menyejahterakan rakyat.

Potensi kehilangan fokus lazimnya disebabkan orientasi administrasi pemerintahan yang lebih mengutamakan realisasi atas program-program yang tidak relevan dengan prioritas kebutuhan masyarakatnya. Misalnya, menghambur-hamburkan anggaran sekadar untuk membiayai realisasi program demi legacy, kendati program atau proyek itu bukan menjadi kebutuhan utama masyarakat setempat.

BACA JUGA : Ingar Bingar Reshuffle Kembali Terdengar, PDIP Sebut Sudah...

Untuk memahami kecenderungan seperti itu, rasanya cukup dengan melihat potret Jakarta sebagai contoh kasus. Pembangunan Jakarta yang demikian pesat dalam dekade-dekade terakhir terbukti belum dapat mengatasi kemiskinan sebagian warganya.

Selain itu, Jakarta masih mempunyai masalah yang berkait dengan bayi kurang gizi (stunting) hingga masalah anak putus sekolah. Kalau di Jakarta yang berstatus ibu kota negara saja masih menyimpan persoalan-persoalan mendasar seperti itu, ada banyak daerah lain yang juga memiliki persoalan serupa.

Memang, mengacu pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS), beberapa persoalan mendasar itu adalah fakta yang bisa dijumpai di berbagai daerah. Jumlah penduduk miskin per Maret 2022 tercatat 26,16 juta orang. Belasan juta penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan gizi, termasuk bayi.

BPS juga mencatat angka putus sekolah meningkat pada 2022 di seluruh jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar hingga sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Menengah Atas (SMA). Fakta dan data-data itu menjelaskan bahwa belum semua warga negara terjangkau dan terlayani oleh pembangunan.

Puluhan tahun merdeka dan hampir seperempat abad melakoni reformasi, negara belum mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya. Pun, kemiskinan dan keterbatasan menjadi penghambat bagi mereka untuk merespons perubahan dan kemajuan zaman.

BACA JUGA : Belasan Rumah di Cipete Utara Dilalap Si Jago Mareh

Di era modern sekarang, fakta seperti ini mestinya tidak ada lagi jika saja pelaksana pembangunan selalu berfokus pada kewajiban utama negara menyejahterakan rakyat. Ada beragam teori atau pendekatan pembangunan yang memungkinkan negara mampu menyejahterakan seluruh rakyat.

Namun, kunci utamanya tetap saja konsistensi dan fokus pada kewajiban utama negara. Agar konsistensi dan fokus itu tetap terjaga, negara-bangsa harus memiliki PPHN yang dipatuhi setiap pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Banyak contoh tentang negara-bangsa yang konsisten dan fokus membangun demi mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Untuk era terkini, lagi-lagi Tiongkok patut untuk dijadikan contoh atau pembelajaran, karena fakta bahwa negara ini telah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia.

Padahal, generasi orang tua masa kini masih ingat betul bahwa hingga di penghujung era 80-an, kesan tentang Tiongkok yang berselimut kemiskinan masih sangat kuat. Memang, pada era itu Tiongkok mulai dan sedang membangun di segala sektor.

Semuanya dimulai oleh pemimpin Tiongkok masa itu, Deng Xiaoping, dengan gagasan tentang reformasi dan keterbukaan, yang populer dengan ungkapan Gaige Kaifang. Di Forum Rapat Partai Komunis China (PKC) tahun 1978, Deng mengumumkan dan memerintahkan kepada semua instrumen negara agar segera mengimplementasi Gaige Kaifang.

Tiongkok kemudian fokus pada modernisasi empat pilar, dikenal dengan ungkapan Sì gè Xiàn Dàihuà, yang mencakup sektor pertanian, industri, teknologi dan pertahanan. Tiongkok juga mengakhiri ketertutupannya dengan bersedia menerima modal dan investor asing.

Gaige Kaifang adalah PPHN Tiongkok yang masih dipatuhi para pemimpin Tiongkok hingga era terkini. Berkat konsistensi dan fokus yang terjaga, Tiongkok kini menjadi raksasa ekonomi dunia.

Maka, kalau pembangunan Nasional selalu konsisten dan fokus pada kewajiban negara menyejahterakan rakyat, Indonesia akan mampu mewujudkannya. Terlebih Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam (SDA) hayati dan SDA barang tambang.

Jangan juga lupa bahwa sumber-sumber energi terbarukan atau energi hijau cukup melimpah di seluruh wilayah Nusantara. Kalau konsisten dan fokus, hilirisasi SDA seperti nikel, tembaga dan bauksit akan menghasilkan nilai tambah berlipat-lipat untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat.

Para pendiri bangsa sejak awal kemerdekaan telah menyiapkan haluan negara sebagai road map pembangunan masa depan bangsa. Pada era Presiden Soekarno, misalnya, ada beberapa Ketetapan MPRS sebagai landasan perencanaan pembangunan. Misalnya Tap MPRS Nomor 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN, Tap MPRS Nomor II/ MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Tap MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan GBHN dan Haluan Pembangunan.

Pada era Presiden Soeharto, GBHN diproyeksikan sebagai perencanaan pembangunan 25 tahunan. Untuk merealisasikan GBHN, ditetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang terwujud dalam APBN. GBHN dan turunannya dijadikan sebagai pengejawantahan dari UUD 1945.

Pada era reformasi, berdasarkan amandemen ketiga dan keempat konstitusi, MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN. Perencanaan pembangunan digantikan dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang ditetapkan Undang-undang, dan diturunkan ke dalam rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan pendek.

Akibatnya presiden terpilih pada era Reformasi ini memiliki paradigma pembangunannya masing-masing. Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri menghasilkan peraturan perundangan yang menjadi konsep clean and good government. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghasilkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dan, Presiden Joko Widodo dengan Nawacita.

Masing-masing paradigma tidak memiliki keterkaitan, sehingga tidak salah jika terkesan pembangunan yang dilakukan antarperiode pemerintahan tidak selaras dan tidak berkesinambungan. Gagasan menghadirkan kembali haluan negara yang kini diberi nomenklatur PPHN dapat menjamin keselarasan dan kesinambungan pembangunan antara pusat dengan daerah, dan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.

PPHN juga memastikan terwujudnya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke periode penggantinya, baik di tingkat pusat hingga daerah. Selain itu, PPHN pun memastikan pembangunan tidak hanya direalisasikan dengan sepenuhnya memanfaatkan APBN. Pelaksanaan pembangunan terlebih dahulu harus didasarkan pada perencanaan yang matang, seperti rencana pembangunan Ibu Kota Baru Indonesia (IKN) di Kalimantan Timur. Dengan pola seperti itu, ada kepastian proyek tidak akan mangkrak di tengah jalan.

PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya. Dokumen itu menjadi rujukan bagi presiden dan penyelenggara negara lainnya dalam menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangannya masing-masing.

PPHN akan membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi. PPHN juga mengingatkan pada gagasan pentingnya perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh pendiri bangsa pada tahun 1947 (75 tahun yang lalu) yang terlihat dalam tujuh bahan pokok indoktrinasi, yang tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, dan makmur.

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.(ris)