Potret Keluarga Marto Kemis, Sang Pahlawan Pendidikan Magetan yang Buta Huruf

Tak banyak siswa, tak ada fasilitas mewah. Anak-anak belajar dengan penuh semangat meski hanya duduk beralaskan tikar di lantai semen rumahnya.

Nov 19, 2022 - 01:05
Potret Keluarga Marto Kemis, Sang Pahlawan Pendidikan Magetan yang Buta Huruf
Belajar mengajar di Rumah Marto Kemis, Desa Krajan, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, Jumat (18/11/2022).

NUSADAILY.COM - MAGETAN – Angin sepoi sore hari berhembus melewati halaman rumah limasan di Desa Krajan, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan. Di terasnya, tertata rapi sandal-sandal mungil. Dari dalam rumah itu, sayup-sayup terdengar suara aktivitas belajar mengajar.

Begitu menginjakkan kaki ke dalamnya, sosok pria ramah menyambut. Ia adalah Marto Kemis (63), sang penggagas rumah belajar di desa setempat.

Tak banyak siswa, tak ada fasilitas mewah. Anak-anak belajar dengan penuh semangat meski hanya duduk beralaskan tikar di lantai semen.

Bersama sang istri, Sipon (57), Marto Kemis mempersilahkan duduk sembari bercerita tentang rumah belajarnya yang sederhana ini.

BACA JUGA: Magetan Terdepan, Delapan Kali Berturut Turut Raih Penghargaan...

"Saya buta huruf, istri saya juga," kata Marto Kemis saat dikunjungi nusadaily.com, Jumat (18/11/2022).

Marto Kemis mengatakan, sejak kecil, dirinya hidup dalam keterbatasan. Dahulu, mengenyam pendidikan pun tak lagi menjadi kebutuhan utama. Ia harus membantu orang tua mencari nafkah di sawah.

Setelah berkeluarga, Marto Kemis bertekad tak akan membiarkan anak-anaknya bernasib sama.

Benar adanya rezeki anak sudah diatur. Usai dikaruniai anak pertama, kondisi ekonomi Marto Kemis mulai membaik. Ia pun mampu menyekolahkan anaknya, Boniran hingga jenjang SLTA.

"Anak saya Bun hanya tamat SMP lalu kerja di Surabaya. Saya terus berfikir jangan sampai anak kedua bernasib sama dengan anak pertama hanya lulus SMP," katanya.

Marto dan Istri dikaruniai 4 orang anak, yaitu Boniran, Ratnasari, Lestari dan Rita Ayuningtyas.

Anak keduanya, Ratnasari, terlahir dengan kecerdasan lebih sejak kecil. Alhasil, satu per satu anak-anak di desa setempat datang ke rumah Marto untuk belajar kepada Ratnasari.

"Melihat itu, saya berpesan kepada Ratnasari untuk tidak pelit dan meluangkan waktu mengajari mereka. Lambat laun makin banyak anak-anak yang ingin belajar. Saya bersemangat utuk bekerja agar punya uang untuk anak saya melanjutkan sekolah lebih tinggi. Dan benar setelah tamat SMP anak saya bisa mendaftar di SMKN 1 Magetan," cerita Marto.  

Setiap sore, sepulang Ratnasari dari sekolah, rumah Marto pun disulap menjadi rumah belajar.

Marto memang harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menyekolahkan sang anak. Namun, hal itu tak jadi masalah selama ia dan keluarga bisa membantu anak-anak dengan kondisi ekonomi yang juga kurang beruntung. 

"Berat ternyata, setahun sampai habiskan biaya sampai 25 juta untuk sekolah dan ojek. Tapi tidak apa apa prinsip saya, anak-anak jangan seperti orang tuanya yang buta huruf ini," paparnya.

Menggarap sawah, jual Mangga hasil panen di halaman rumahnya, sampai memelihara kambing, telah dilakoni Marto untuk menutup kekurangan biaya sekolah anaknya.

Adik-adik Ratnasari kemudian juga ikut melanjutkan tugas mulia sang kakak. Keluarga Marto mengajar dengan sukarela. Rumah belajarnya mulai ramai, dan satu per satu muridnya kini telah berhasil mengenyam pendidikan yang lebih layak.

BACA JUGA: Dukung UMKM Naik Kelas, Pemerintah Kota Pasuruan Gelar Workshop Digitalisasi

"Belajar pada anak saya gratis tidak memungut biaya. Setelah lulus kemudian dilanjutkan adiknya, Lestari, meski kurang pintar tetapi terbiasa belajar dengan mbaknya dan anak-anak setingkat SD akhirnya terbiasa. Ratnasari lulus merantau ke Surabaya, dan dilanjutkan adiknya siswa yang belajar sampai 15an anak. Dari lingkungan sendiri hingga desa tetangga. Ada yang setelah lulus SMA jadi Tentara dan jadi Polisi," kenangnya bangga.

Marto memang belum sanggup mengantarkan seluruh anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Namun, nasib baik datang pada anak terakhirnya Rita Ayunitiyas (21), yang mendapatkan beasiswa di IAIN Ponorogo Jurusan PGMI.

Rita pun tak berhenti menjalankan rumah belajar yang telah dirintis keluarganya hingga kini.

"Biarlah, anak-anak yang rata-rata tidak kuat membayar les di bimbingan belajar besar, bisa tetap belajar pada anak saya," tutup Marto.

Warga Desa Krajan, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, beruntung akan kehadiran keluarga Marto Kemis yang punya dedikasi terhadap pendidikan meski penuh keterbatasan.

Marto Kemis, Sipon serta anak-anaknya semestinya layak disebut pahlawan pendidikan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya. (nto/lna)