Politik di Mata Politisi dan Ilmuwan Politik
Akhir-akhir ini kita dikejutkan beberapa kejadian berkaitan dengan politik. Kejutan yang pertama pergantian beberapa menteri di kabinet Jokowi-Mar’uf Amin. Hal ini mengejutkan karena umur kabinet tinggal 2 bulan ke depan, tetapi hak prerogratif presiden mensahkan pergantian ini.
Oleh: Dr. Mangihut Siregar, M.Si.
Akhir-akhir ini kita dikejutkan beberapa kejadian berkaitan dengan politik. Kejutan yang pertama pergantian beberapa menteri di kabinet Jokowi-Mar’uf Amin. Hal ini mengejutkan karena umur kabinet tinggal 2 bulan ke depan, tetapi hak prerogratif presiden mensahkan pergantian ini.
Kejutan berikutnya, pergantian ketua umum Partai Golkar dari Airlangga Hartarto kepada Bahlil Lahadalia. Airlangga Hartarto sebagai ketua umum Golkar relatif berhasil memimpin partainya dengan bertambahnya kursi legislatif di partai yang berlambang pohon beringin tersebut. Selain itu Air Langga Hartarto mempunyai andil besar mengusung kemenangan presiden/wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Kejadian yang terakhir mengejutkan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait Pemilihan Kepala Daerah dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tidak sampai 24 jam, Badan Legislatif (Baleg) DPR ingin mengubah sesuai keinginan kelompoknya. Cara yang dilakukan Baleg DPR dengan mencoba merevisi UU Pilkada yang baru dikeluarkan MK.
Fenomena di atas menjadikan masyarakat awam melihat politik itu kotor. Mereka alergi bahkan jijik melihat politisi yang mempertontonkan perilaku yang tidak terpuji. Politisi datang menemui masyarakat saat membutuhkan suara (kampanye) dibumbui dengan janji palsu. Setelah berhasil, rakyat ditinggal, mereka menikmati kekuasaan bersama kelompoknya. Daulat rakyat dirampok oleh mereka yang selalu haus akan kekuasaan.
Beda Politisi dengan Ilmuan Politik
Politik berasal dari kata polis yang dalam bahasa Yunani artinya negara kota. Politik berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam suatu masyarakat. Seperti yang diakatakan Aristoteles, bahwa politik adalah usaha yang dilakukan warga negara untuk mendapatkan kebaikan bersama. Dalam hal ini politik itu sangat bersih, tidak kotor dan sangat mulia. Tanpa adanya politik maka kekacauanlah yang timbul dalam suatu masyarakat. Politik menjadi alat untuk menjamin keteraturan dan kenyamanan bersama.
Karena bersangkut paut dengan kehidupan bersama, maka politik itu harus sesuai dengan kepentingan bersama bukan kepentingan sekelompok orang tertentu. Membuat keputusan yang bersifat jangka panjang bukan sementara waktu. Politik disesuaikan dengan kondisi suatu masyarakat dengan demikian setiap masyarakat atau negara mempunyai sistem politik masing-masing. Semua penjelasan di atas sesuai dengan pandangan ilmuan politik akan politik itu sendiri.
Salah satu kajian dari politik adalah kekuasaan. Seperti yang dikatakan Harold Laswel, politik berkaitan dengan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Kata “apa” dalam hal ini maksudnya adalah kekuasaan. Ilmuan politik sangat skeptis terhadap kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan bagi ilmuan politik harus dikritisi dan harus dibatasi.
Berbeda dengan ilmuan politik, politisi sangat menyukai kekuasaan bahkan selalu haus akan kekuasaan. Kekuasaan merupakan tujuan. Segala daya dan upaya akan dilakukan untuk meraih kekuasaan itu. Hal ini dapat dilihat dari usaha Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mendapat kekuasaan. Politik digunakan melegalisir hasil penjarahan kekuasaan.
Dimulai dari Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka ikut menjadi Cawapres waktu itu. Melalui lembaga MK yang diketuai Anwar Usman, Gibran melenggang dengan menambahkan frasa: “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepada daerah”. Pada saat itu keputusan tidak bulat, namun melalui kuasa ketua sekaligus paman Gibran, sehingga putusan dapat diatur sesuai dengan pesanan penguasa.
Setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbit, KPU langsung menyesuaikan peraturan KPU tanpa melakukan konsultasi dengan DPR sesuai dengan undang-undang. Hal ini dilakukan KPU karena sesuai dengan kepentingan penguasa. Perlakuan berbeda terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Demikian juga Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedua putusan MK ini tidak langsung dijalankan KPU seperti putusan MK sebelumnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 70/PUU-XXII/2024 tidak langsung diakomodasi oleh KPU karena tidak sesuai dengan mayoritas keinginan politisi (penguasa). Hal ini terlihat dari sikap Koalisi Indonesia Maju (KIM) didukung parpol di luarnya menjadi KIM plus mau mengangkangi kedua putusan MK tersebut. Dalam sekejap kilat politisi mau melakukan revisi UU KPU sesuai keinginannya.
KIM plus tidak mau melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor. 70/PUU-XXII/2024 dengan dalih mau melakukan Putusan MA nomor 23P/HUM/2024. Politisi menggunakan putusan MA agar anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep bisa dicalonkan sebagai cawagub di Jawa Tengah. Rencana ini untuk mengikuti jejak kakaknya Gibran Rakabuming Raka yang berhasil mengubah aturan untuk memenuhi hasrat kekuasaan.
Demikian juga Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 mau dianulir dengan dalih putusan itu hanya berlaku kepada partai non parlemen. Tujuan politisi tidak memberlakukan putusan MK tersebut agar kekuasaan hanya dimiliki mereka yang tergabung dengan KIM plus.
Politisi hanya memikirkan jangka pendek yaitu bagaimana mendapatkan kekuasaan saat ini. Politisi hanya mengutamakan partainya dan koalisinya. Mereka tidak memerdulikan implikasi dari kebijakan yang mereka lakukan.
Kita bersyukur masih ada para ilmuan politik, mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya yang mau menentang niat jahat para politisi. Melalui demonstrasi yang dilakukan secara serentak di berbagai daerah di Indonesia sehingga revisi Undang-Undang Pilkada batal dilakukan.
Semoga dari fenomena ini para politisi kita mengalami pertobatan. Politisi harus juga menjadi ilmuan politik sehingga kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk kebaikan bersama. Politik bukan untuk melayani hasrat koalisi tertentu, partai tertentu bahkan keluarga tertentu tetapi melayani semua masyarakat.
Dr. Mangihut Siregar, M.Si. adalah dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Editor: Wadji