PMI SOLUSI RESESI

Oleh: Aznil Tan

Dec 7, 2022 - 22:50
PMI SOLUSI RESESI
Aznil Tan

Gelombang tsunami (baca : resesi) itu semakin dekat menghampiri wilayah negara Indonesia. Gelombang itu telah menyapu negara-negara lainnya dan tak berapa lagi akan pecah menghempaskan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Di Istana Negara, para pejabat negara dari detik ke detik terus memantau pergerakan kedatangan gelombang besar tsunami tersebut. Terlihat raut kecemasan di wajah mereka. 

Bendahara Negara Sri Mulyani semakin gusar  tampil di publik menjelaskan ke masyarakat  untuk bersiap-siap menghadapi hari-hari gelap melanda Indonesia. Presiden Jokowi pun tak kalah ketar-ketir atas kengeriaan bencana akan memporak-porandakan ekonomi Indonesia.

Bagaimana tidak, penduduk Indonesia 275 juta lebih ada di dalam tanggungjawabnya hanya menunggu waktu akan diterpa krisis ekonomi dahsyat.

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akan terjadi besar-besaran. Pengangguran akan semakin meningkat tajam. Harga-harga barang akan melambung naik tinggi. Keuangan negara pun akan sulit dipikul oleh pemerintah.

Wabah pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan ditambah perang Rusia-Ukraina  telah menyebabkan goncangan ekonomi dunia. Diperkirakan Inflasi global tahun 2022 mencapai 9,2 persen.

Pangan, energi dan keuangan global ambruk sehingga menimbulkan krisis global menghantam dunia. Berdasarkan laporan lembaga internasional, setidaknya ada 66 negara akan ambruk dan 345 juta orang di 82 negara kelaparan.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melaporkan sebanyak 310 juta orang di seluruh benua mengalami kelaparan pada akhir dekade ini.

Somalia, yang sudah lama dilanda perang, adalah negara paling parah terkena dampaknya, bersama dengan negara tetangga Ethiopia dan Kenya. Hampir 19 juta penduduk Afghanistan menghadapi tingkat kerawanan pangan yang akut. Data dari Presiden Jokowi menyebut sebanyak 19.700 orang meninggal setiap hari karena kelaparan.

Resesi global ini tidak pandang bulu. Tidak saja menerpa negara miskin dan berkembang, bahkan negara berekonomi kuat pun tak luput dihantam tsunami resesi. Tercatat pada kuartal II - 2022, ekonomi AS terkontraksi 0,6 persen dan pada kuartal I - 2022 mengalami minus 1,6 persen.

Beberapa negara-negara di Eropa terkonfirmasi  mengalami defisit perdagangan pada Mei 2022. Di Jerman secara musiman mengalami defisit  1 miliar euro, berlawanan dengan ekspektasi surplus. Inggris  tercatat inflasi pada bulan Juli 2022 di angka 10,1% 

Perekonomian China hanya tumbuh 2,8 persen pada 2022 ini dari perkiraan sebelumnya di angka 5,0 persen. Korea Selatan pada kuartal III/2022  mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi karena pelemahan ekspor dan mata uang won.  Begitu juga, perekonomian Jepang nyungsep minus 1,2% pada kuartal III 2022. 

Negara-negara ASEAN pertumbuhan ekonomi diproyeksikan pada tahun 2022  dapat tumbuh mencapai 4,3 persen. Namun, perkembangan kondisi global saat ini membuat proyeksi itu turun menjadi 3,7 persen.

Atas kondisi ketidakpastian ekonomi global tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan Indonesia untuk berhati-hati. Setiap pembuat policy harus selalu berdampingan sehingga semua policy yang ada itu betul-betul bermanfaat bagi rakyat dan negara. Terutana sinergi fiskal dan moneter terus diperkuat.

Menurut Presiden Jokowi untuk menghadapi resesi memperkuat ekspor, investasi dan mengeliatkan ekonomi konsumsi rumah tangga. Namun hal itu diakui Presiden Jokowi sesuatu yang tidak mudah. 

Ekspor akan mengalami penurunan di 2023 karena disebabkan dari dampak situasi ekonomi menurun di sejumlah mitra dagang Indonesia, seperti Tiongkok dan Uni Eropa.

Investasi di tahun 2023 sebesar Rp1.400 triliun sesuatu menjadi hal sulit dicapai karena menjadi rebutan semua negara. Sedangkan, barang konsumsi rumah tangga mengalami kenaikan harga dan melemahnya daya beli masyarakat. 

Kekuatan Bonus Demografi

Begitu ngerinya ancaman resesi ekonomi akan melanda dunia, apakah Indonesi masih bisa diselamatkan dari krisis tersebut?

Solusi itu ada dan sangat terbuka buat Indonesia. Yaitu, bonus demografi dimiliki Indonesia yang berlaku sampai 2045 adalah salah-satu solusi yang bisa dihandalkan Indonesia.

Berbagai teori menyatakan bahwa suatu negara memiliki jumlah populasi penduduk yang banyak adalah sumber kekayaan suatu negara. 

Teori ini sudah terbukti di beberapa negara yang memiliki jumlah penduduk yang melimpah cenderung ekonomi negaranya tetap bergerak dan bahkan masih bisa tumbuh meski ditengah resesi global. Tiongkok, India, dan Amerika Serikat adalah negara yang berpopulasi banyak menjadi negara berekonomi tangguh dan terus menggeliat.

Negara-negara kaya berpenduduk sedikit sangat mudah goncang, karena produktifitas masyarakatnya tidak beragam dan hanya mengandalkan satu sektor. Seperti Jepang, Australia, Inggris, Korea Selatan dan berbagai negara lainnya sangat berpotensi mengalami resesi global akibat krisis populasi.

Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor 4 di dunia. Berdasarkan rilis Kementerian Dalam Negeri bahwa data terbaru jumlah penduduk Indonesia tercatat tahun 2022 adalah sebanyak 275.361.267 jiwa. 

Piramida penduduk Indonesia saat ini  didominasi oleh penduduk kategori produktif (usia 15-64 tahun) sebanyak 190.827.224 jiwa atau 69,30 persen. Untuk penduduk kategori usia muda (0-14 tahun) mengisi sebanyak 67.155.629 jiwa atau 24,39 persen. Sisanya kategori penduduk usia tua (65 tahun ke atas) sebanyak 17.374.414 jiwa atau 6,31 persen. 

Artinya, Indonesia selain memiliki populasi banyak di dunia juga memiliki bonus demografi. Yaitu, jumlah penduduk produktif lebih banyak dibandingkan penduduk non produktif (usia muda dan usia tua).

Hal tersebut merupakan berkah. Indonesia  bisa selamat dari resesi global jika dikelola dengan benar. Kuncinya adalah membentuk sumber daya manusia melimpah tersebut menjadi produktif. Yaitu bagaimana pemerintah membangun sebuah sistem pengelolaan sumber daya manusia memiliki penghasilan dan perputaran uang terus bergulir di tengah masyarakatnya serta mendatangkan devisa buat negara.

Namun akan terjadi sebaliknya bila salah kelola. Akan terjadi kelompok pengangguran yang membahayakan sosial dan negara. Resesi global akan memporak-porandakan Indonesia. 

'Kiamat' Tenaga Kerja Dunia dan Peluang Ketenagakerjaaan Migran.

Salah satu bentuk resesi adalah terjadinya PHK secara besar-besaran dan cadangan devisa menurun drastis. Ini merupakan momok menakutkan bagi pemerintah. Angka pengangguran akan naik tajam menjadi beban sosial dan negara. Devisa yang kurang akan berdampak krisis moneter.

Disinilah diberdayakan kekuatan penduduk Indonesia yang melimpah dan produktif untuk merebut bursa kerja migran dunia yang sekarang mengalami krisis ketenagakerjaaan. Peluang ini membuka harapan besar buat Indonesia sebagai salah-satu solusi selamat dari resesi.

Perlu diketahui, beberapa negara mengalami 'kiamat' tenaga kerja. Mulai dari tetangga Malaysia, Singapura, Australia, Taiwan, Timur Tengah, Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang hingga Inggris mengalami kekurangan ketenagakerjaan. Berdasarkan riset dari perusahaan konsultan global, Korn Ferry, hingga 2030 diperkirakan ada 85 juta tenaga kerja dibutuhkan dunia.

Hasil riset Randstad pada Mei 2022 merilis bahwa,  Amerika Serikat tersedia 11 juta lowongan pekerjaan di sektor manufaktur, logistik dan kesehatan. Sedangkan di Eropa 1,2 juta dan Australia tersedia 400.000 lowongan lapangan pekerjaan yang membutuhkan sumber daya manusia.

Malaysia merilis membutuhkan tenaga kerja 1,2 juta orang pekerja. Di sektor konstruksi sebanyak 500 ribu tenaga kerja, perkebunan sawit butuh 120.000 pekerja, sementara sektor elektronik membutuhkan 30.000 pekerja dan tenaga medis sebanyak 120.000 pekerja. Belum lagi sektor domestik butuh ratusan ribu orang.

'Kiamat' tenaga kerja di Jepang sangat rentan terjadi. Nomura Research Institute memperkirakan kekurangan tenaga kerja sebanyak 10,47 juta pekerja.  Sektor yang paling kekurangan adalah hotel, restoran dan manufaktur. 'Kimat' ini akan terus tumbuh lebih serius hingga tahun-tahun ke depan

Di Taiwan mengalami kekurangan tenaga kerja sebanyak 118.000 pekerja untuk sektor konstruksi dan setidak-tidaknya sekitar 700 ribu pekerja dibutuhkan untuk mengisi sektor informal (domestik). Hal ini juga mirip dialami Hongkong dan Singapura.

Melihat besarnya permintaan tenaga kerja di dunia, hal ini sebuah keironisan. Apalagi masyarakat Indonesia masih banyak tidak dapat pekerjaan. 

Angka pengangguran sebesar 8,42 juta orang yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) periode Agustus 2022 dan sebanyak 2,71 juta orang terjadi kenaikan jumlah penduduk usia kerja. Existing kependudukan ini, pemerintah seharusnya lincah membuka lapangan kerja buat rakyat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. 

Apalagi tuntutan grade kelincah pemerintah ini menjadi hal yang urgency disaat resesi dunia akan melanda Indonesia. Mencari saluran terjadinya PHK dan mendapatkan cadangan devisa.  Pemerintah tidak bisa bekerja secara normatif lagi mendongkrak dunia pekerja migran ini menjadi kekuatan Indonesia menghadapi resesi.

Dunia tenaga kerja migran bukan dunia yang baru bagi masyarakat. Indonesia dikenal di dunia sebagai sumber tenaga kerja migran. Ekosistem ini sudah terbentuk sejak zaman Belanda.

Ada sebanyak 9 juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) menyebar di seluruh dunia mengisi berbagai posisi jabatan pekerjaan, baik di perusahaan maupun pengguna perseorangan.

Beruntungya, tenaga kerja migran dari Indonesia sangat diminati oleh dunia. Selain memiliki keterampilan yang handal, juga memiliki kerajinan yang tinggi serta perilaku yang tidak banyak menuntut. Pekerja Migran Indonesia juga dikenal bisa mengisi posisi pekerjaan domestik, operator lapangan dan berbagai kerja kasar lainnya yang tidak dimiliki oleh negara lain. 

Kekuatan Pekerja Migran Indonesia ini mesti disadari oleh pemerintah dan tidak tampil malu-malu kucing. Bahwa dunia ketenagakerjaan migran merupakan sebuah hukum pasar yang saling menguntungkan.

PMI menjadi kekuatan ekonomi Indonesia, terbukti pada krisis moneter 1998.  Pekerja migran Indonesia ikut menghidupkan ekonomi masyarakat yang terpuruk dan menjadi pahlawan devisa.

Diperkirakan Rp 400 triliun devisa masuk ke Indonesia setiap tahunnya, meski data dari World Bank tercatat hanya Rp 159,6 triliun karena banyaknya PMI ilegal.

Melawan Mindset Sesat dan Kinerja Pemerintah Safety Player

Dunia penempatan PMI sejak awal 2020 mengalami kemerosotan. Berdasarkan rilis BP2MI pada tahun 2019 jumlah PMI yang bekerja di luar negeri mencapai 277.489 PMI. Saat terjadi pandemi Covid 19 di tahun 2020 jumlah penempatan PMI turun menjadi 113.419 PMI. Begitu juga di tahun 2021 ini hanya 59.050 PMI yang bekerja di negara tujuan.

Perlu diketahui rata-rata penempatan PMI berkisar 350 ribu orang per tahun. Senentara potensi pasar kerja dunia bisa ditargetkan  1 juta PMI per tahun, bahkan bisa lebih.

Penurunan angka penempatan ini sangat disayangkan. Ini menunjukkan kualitas pejabat pemerintah menangani urusan ketenagakerjaan migran tidak piawai menghadapi kondisi dunia diterpa badai pandemi Covid-19 dan langkah-langkah pemulihan ekonomi nasional.

Tragisnya, kondisi dunia penempatan Pekerja Migran Indonesia yang terjadi sekarang seperti orang kekurangan darah. Kebijakan pemerintah yang tidak akomodatif terhadap pasar kerja dunia serta mindset penempatan yang terlalu berorientasi kasustik daripada tujuan sesungguhnya, sehingga menciptakan dunia penempatan tidak bergairah.

Pejabat pemerintah berkesan sibuk bekerja menyelesaikan masalah-masalah kasus menimpa PMI, namun tidak diiringi juga sibuk mengurus penempatan agar bergerak lebih menyerap lapangan pekerjaan buat rakyat.

Mengunakan narasi 'pelindungan PMI', salah-satu menyebabkan mindset keliru terjadinya kelesuan dunia penempatan. Tahapan-tahapan proses penempatan menjadi panjang dan tidak praktis serta terjadi pembengkakan biaya.

Banyak job-job kerja dunia yang sangat potensial bisa direbut oleh PMI, namun hilang direbut oleh negara lain seperti Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Bangladesh. Negara tidak hadir memfasilitasinya.

Konyolnya lagi, moratorium (penutupan) dijadikan solusi dalam pelindungan PMI. Seperti moratorium sektor domestik ke 19 Negara Timur-Tengah sejak 2011 mengakibatkan terbunuhnya peluang rakyat kecil mendapatkan pekerjaan. Moratorium tersebut bukan menyelesaikan masalah malah memperburuk permasalahan.

Orientasi pelindungan menjadikan pelaku pejabat pemerintah berprilaku safety player. Perebutan peluang kerja dunia tidak menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam membuka kesempatan masyarakat mendapatkan pekerjaan. 

Sesungguhnya substansi pelindungan diamanatkan UU No. 18 Tahun 2017 itu adalah melaksanakan proses penempatan berjalan dengan baik, lancar, aman dan terdata. Bahwa adanya penempatan PMI maka negara hadir untuk melindunginya. Bukan karena pelindungan lalu mengkebiri penempatan.

Mindset sesat dan cara kerja yang normatif tersebut itulah menjadi kendala besar yang harus diluruskan. Presiden Jokowi harus turun tangan meluruskan kembali mindset dan melecut kinerja  pembantunya tidak salah kaprah dan berorientasi produktifitas tinggi merebut bursa kerja dunia. 

Presiden Jokowi menetapkan PMI sebagai salah-satu solusi mengatasi resesi. Mempermudah dan memperingkas proses penempatan dan meningkatkan kompetensi PMI serta memfasilitasi kendala kendala dihadapi agar berjalan kencang dan produktif.