Peran Kejaksaan Agung dalam Single Prosecution System, Menjamin Keterpaduan dan Koordinasi dalam Penyidikan dan Penuntutan
Oleh: Fachrizal Afandi, PhD
Kejaksaan Republik Indonesia berperan sebagai pilar utama dalam sistem penegakan hukum, terutama dalam konteks penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Salah satu kritik yang sering kali dilontarkan adalah adanya dugaan bahwa jaksa-jaksa di berbagai daerah atau unit bekerja secara terpisah dan tidak terkoordinasi, yang dapat mengarah pada ketidakefektifan penanganan kasus. Untuk menjawab kritik ini, Kejaksaan menerapkan kebijakan Single Prosecution System yang memastikan seluruh jaksa bekerja di bawah satu kendali, yaitu Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi.
Kebijakan ini bertujuan untuk menghindari fragmentasi dalam penegakan hukum, di mana masing-masing jaksa mungkin bekerja sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas. Single Prosecution System menegaskan bahwa seluruh tindakan jaksa, mulai dari penyidikan hingga penuntutan, harus sejalan dengan arahan Jaksa Agung, yang bertindak sebagai pusat kendali seluruh proses hukum. Artikel ini akan menguraikan peran Jaksa Agung dalam sistem ini dan bagaimana kebijakan ini berfungsi untuk menjaga integrasi, keterpaduan, dan koordinasi dalam pelaksanaan tugas jaksa.
Kebijakan Single Prosecution System dan Dasar Hukum
Dasar hukum bagi pelaksanaan Single Prosecution System dapat ditemukan dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., yang menetapkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia. Dalam undang-undang ini, diatur bahwa seluruh proses penuntutan, termasuk penyidikan dalam tindak pidana khusus seperti korupsi, dikendalikan oleh Jaksa Agun. Kebijakan ini memberikan mandat kepada Jaksa Agung untuk mengawasi, mengarahkan, dan memastikan keterpaduan antara jaksa di berbagai tingkatan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan juga memperkuat peran Jaksa Agung sebagai pengendali tunggal seluruh proses penuntutan di Indonesia, baik di bidang peradilan sipil maupun militer. Dalam konteks Single Prosecution System, Jaksa Agung memiliki otoritas untuk mengarahkan tindakan jaksa-jaksa di lapangan, sehingga menghindari adanya tumpang tindih atau tindakan tidak terkoordinasi.
Prinsip Single Prosecution System juga diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara yang menganut civil law, di mana jaksa berperan sebagai dominus litis, atau pengendali utama proses hukum. Di Indonesia, prinsip ini diterapkan untuk memastikan bahwa semua tindakan jaksa di seluruh Indonesia dilakukan secara terkoordinasi, dengan Jaksa Agung sebagai pusat kendali.
Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi: Menghindari Fragmentasi dalam Penegakan Hukum
Sebagai penuntut umum tertinggi, Jaksa Agung memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh tindakan jaksa di lapangan berjalan sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan Single Prosecution System, Jaksa Agung tidak hanya berperan dalam mengawasi, tetapi juga secara aktif memberikan arahan teknis dan strategis kepada jaksa-jaksa di berbagai tingkatan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada jaksa yang bekerja
sendiri-sendiri, tanpa koordinasi dengan jaksa lainnya atau tanpa mengikuti arahan yang diberikan oleh Kejaksaan Agung.
Sebagai contoh, dalam kasus tindak pidana korupsi, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk memberikan arahan yang jelas kepada jaksa mengenai strategi penyidikan dan penuntutan yang harus diambil. Dalam praktiknya, Jaksa Agung memastikan bahwa semua kasus korupsi yang ditangani oleh jaksa di berbagai daerah tetap sejalan dengan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung.
Contoh konkrit pelaksanaan Single Prosecution System dapat dilihat dari data empiris mengenai penyidikan kasus korupsi di Indonesia. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022, Kejaksaan berhasil menangani 405 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp39,2 triliun. Dalam menangani kasus-kasus ini, Jaksa Agung berperan sebagai pengarah utama dalam proses penyidikan dan penuntutan, memastikan bahwa seluruh jaksa yang terlibat bekerja sesuai dengan arahan dan tidak mengambil tindakan yang tidak terkoordinasi.
Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi
Salah satu kritik utama terhadap Kejaksaan adalah adanya anggapan bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi seharusnya hanya berada di bawah kendali KPK dan Polri. Kritik ini didasarkan pada pandangan bahwa penyidikan oleh jaksa dapat mengurangi efektivitas penegakan hukum. Namun, secara yuridis, kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi telah diatur secara eksplisit dalam berbagai undang-undang.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo UU 11 tahun 2021 tentang Kejaksaan R.I. memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Kewenangan ini didukung oleh prinsip dominus litis, yang menempatkan jaksa sebagai pihak yang mengendalikan jalannya penyidikan dan penuntutan. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, jaksa memiliki hak untuk menentukan apakah suatu kasus layak dibawa ke pengadilan atau tidak, serta mengarahkan jalannya proses penyidikan.
Lebih lanjut, kewenangan jaksa untuk menyidik tindak pidana korupsi telah berkali-kali diuji di Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan konstitusional. Misalnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 dan 16/PUU-X/2012, Mahkamah menolak permohonan yang menentang kewenangan jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kewenangan penyidikan oleh jaksa tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena prinsip penyidikan dalam KUHAP dan undang-undang terkait memungkinkan berbagai lembaga penegak hukum untuk memiliki kewenangan penyidikan, termasuk Kejaksaan.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 menunjukkan kinerja Kejaksaan yang signifikan dalam pemberantasan korups. Setidaknya Kejaksaan telah menyidik 405 kasus korupsi, dengan kerugian negara yang ditangani mencapai Rp39,2 triliun. Jumlah kasus ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan KPK yang menangani 36 kasus dan Kepolisian yang menangani 138 kasus. Selain itu, Kejaksaan Agung juga berhasil menyita aset yang mencengangkan, termasuk uang tunai, properti di luar negeri, serta kendaraan mewah. Aset- aset tersebut meliputi Rp21.141.185.272.031,90 dalam bentuk uang, US$11.400.813,57, SG$646,04, serta properti di Singapura, Australia, dan berbagai tempat lainnyaa. Data ini menunjukkan komitmen Kejaksaan dalam menyelamatkan kerugian negara dan membuktikan
bahwa seluruh jajaran Kejaksaan bekerja dalam satu koordinasi yang kuat dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Koordinasi dalam Penanganan Perkara Koneksitas
Salah satu aspek penting dari Single Prosecution System adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan penegakan hukum di berbagai bidang, termasuk dalam peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas melibatkan kasus-kasus yang melibatkan unsur militer dan sipil, yang dalam banyak kasus memerlukan koordinasi antara berbagai lembaga penegak hukum. Dalam konteks ini, Jaksa Agung tetap memiliki peran sentral sebagai penuntut umum tertinggi yang mengendalikan jalannya penyidikan dan penuntutan.
Sistem koneksitas diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan KUHAP, di mana Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk memutuskan pengadilan mana yang berhak mengadili perkara koneksitas. Dalam pelaksanaan kewenangan ini, Jaksa Agung berkoordinasi dengan Oditurat Jenderal TNI dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya
Untuk memperkuat sistem peradilan koneksitas, pemerintah juga telah membentuk Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (JAMPIDMIL) melalui Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021. JAMPIDMIL berfungsi untuk memastikan bahwa kasus-kasus yang melibatkan unsur militer dan sipil ditangani dengan koordinasi yang baik antara jaksa sipil dan oditur militer. Kebijakan ini adalah perwujudan dari Single Prosecution System, di mana seluruh proses penuntutan berada di bawah kendali Jaksa Agung.
Dalam beberapa kasus besar yang melibatkan tindak pidana korupsi oleh militer, seperti kasus korupsi Dana Tabungan Wajib Perumahan (TWP) TNI AD dan proyek pengadaan satelit slot orbit oleh Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung melalui JAMPIDMIL telah memainkan peran penting dalam penyidikan dan penuntutan
Mengatasi Tantangan Koordinasi dalam Penegakan Hukum
Meskipun Single Prosecution System dirancang untuk menghindari fragmentasi dalam penegakan hukum, tantangan dalam koordinasi antara lembaga penegak hukum tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa berbagai lembaga penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian, dan TNI, dapat bekerja sama secara harmonis dengan Kejaksaan. Namun, kebijakan ini telah dilengkapi dengan mekanisme yang memungkinkan Jaksa Agung untuk mengatasi perbedaan pendapat atau hambatan yang muncul di lapangan.
Pasal 35 huruf j Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 menegaskan bahwa seluruh penuntutan dalam kasus tindak pidana koneksitas harus tetap dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung. Ini berarti bahwa bahkan dalam kasus yang melibatkan berbagai lembaga penegak hukum, Kejaksaan tetap memiliki otoritas tertinggi dalam mengendalikan jalannya proses penuntutan. Kebijakan ini memastikan bahwa tidak ada jaksa yang bekerja sendiri-sendiri atau mengambil langkah-langkah yang tidak sesuai dengan kebijakan umum yang telah ditetapkan.
Kesimpulan
Kebijakan Single Prosecution System yang diterapkan oleh Kejaksaan Agung memiliki peran penting dalam menjaga keterpaduan dan koordinasi antara jaksa-jaksa di seluruh Indonesia. Melalui kebijakan ini, Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi memastikan bahwa
seluruh tindakan penyidikan dan penuntutan berjalan secara terkoordinasi, di bawah satu komando yang jelas. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi "anak buah yang bekerja sendiri- sendiri", karena seluruh jaksa bekerja sesuai dengan arahan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, Single Prosecution System efektif dalam mengarahkan jalannya proses penyidikan dan penuntutan, serta menjaga integrasi antara berbagai lembaga penegak hukum. Keberhasilan Kejaksaan dalam menangani kasus-kasus besar korupsi menunjukkan bahwa sistem ini mampu memberikan hasil yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan adanya kebijakan ini, Kejaksaan Agung dapat terus memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan baik, terkoordinasi, dan transparan, sehingga mampu memberikan keadilan yang maksimal bagi masyarakat.(****)
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya