Pentingnya Kemampuan Memberikan Tes di Dunia Pendidikan
Oleh: Patrisius Istiarto Djiwandono
Seorang guru pengajar Bahasa Indonesia suatu hari memberikan ujian kepada kelasnya. Seorang muridnya datang terlambat 10 menit. Ketika ditanya, sang murid menjawab bahwa dia terlambat bangun karena kemarin malam bermain game online sampai larut. Sang guru mengizinkan dia untuk tetap mengikuti tes hari itu, namun memotong nilainya sebesar 3 poin. Alasan sang guru adalah ketidakdisiplinan sang murid membuatnya harus dihukum dengan pengurangan nilai. Sang murid ternyata bisa mengerjakan tes itu dengan baik, namun skornya yang seharusnya 8 menjadi 5 karena terpotong tiga poin.
Kasus di atas tidak jarang terjadi di dunia pendidikan. Dengan dalih pendidikan karakter, beberapa guru memberikan hukuman lewat pengurangan nilai akademik untuk suatu kelemahan karakter anak didiknya. Tindakan ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang esensi tes akademik di kalangan pendidik.
Ada setidaknya tiga kriteria tes yang baik, yaitu validitas (kesahihan), konsistensi atau keterandalan, dan kepraktisan. Dari ketiganya, validitaslah yang menjadi elemen terpenting dalam sebuah tes. Sebuah tes dianggap valid jika ia mengukur apa yang memang ingin diukur. Dalam kasus di atas, aspek validitas itu menjadi kacau ketika tes bahasa Indonesia yang sejatinya mengukur penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bercampur dengan penilaian karakter.
Validitas sendiri terbagi menjadi beberapa jenis. Salah satunya adalah validitas konstruk. Validitas ini intinya mengatakan bahwa sebuah tes kecakapan tertentu harus mampu mengukur kecakapan tersebut sesuai dengan teori (konstruk) kecakapan tersebut. Tes kemampuan berbicara, misalnya, harus mengukur secara tepat aspek-aspek yang terkandung dalam teori atau konstruk kecakapan berbicara. Kembali ke kasus diatas, tes sang guru yang seharusnya sudah dirancang sesuai dengan teori penguasaan bahasa Indonesia menjadi rancu ketika skor sang murid mengandung aspek penilaian karakternya yang dipaksakan masuk ke dalamnya.
Maka, sudah selayaknya ada upaya untuk lebih mengasah kecakapan para pendidik di berbagai tingkat pendidikan untuk mengetes dengan benar. Tidak perduli kurikulum apa yang berlaku, entah itu Kurikulum 2013 atau Kurikulum Merdeka, pengetahuan dan ketarmpilan mengetes atau menguji merupakan hal yang mutlak harus menjadi bagian dari persiapan karir seorang guru.
Bagaimana sebenarnya gambaran kemampuan guru di lapangan dalam mengetes atau mengevaluasi kemampuan anak didiknya? Upaya penulis untuk menelusuri karya ilmiah dan penelitian dari sepuluh tahun terakhir menunjukkan masih sangat sedikit upaya pemetaan ini dilakukan. Adapun yang sudah ada belum menunjukkan bahwa penguasaan ini sudah tinggi. Berikut disajikan gambaran sekilas tentang kelemahan yang masih cukup menyolok.
Yang pertama adalah kajian tentang validitas sebuah tes. Beberapa laporan di jurnal ilmiah menyatakan bahwa validitas dicapai dengan cara sesederhana meminta pendapat beberapa pakar tentang apakah butir-butir sebuah tes sudah valid atau belum. Memang meminta pendapat pakar adalah salah satu cara untuk mengetahui validitas.
Tapi tentu saja itu jauh dari memadai. Masih ada beberapa teknik lain yang perlu dilakukan untuk memastikan validitas sebuah alat tes, yaitu analisis faktor, criterion validity, convergent validity dan divergent validity. Tiga yang disebut terakhir pada intinya memastikan bahwa sebuah tes mengukur hal yang sama dengan tes lain yang sudah terbukti valid, dan bahwa tes itu mengukur hal yang berbeda dengan sebuah tes lain yang memang tidak mengukur konstruk sasaran.
Pada masa di mana kurikulum pendidikan harus mengarah kepada OBE (Outcome-Based Education), menjadi penting bahwa setiap pendidik memastikan semua butir soal tes yang dibuatnya mengukur capaian pembelajaran yang sudah ditentukan dalam silabus.
Konsep yang relevan dengan hal ini adalah validitas isi. Validitas isi menuntut bahwa butir-butir tes memang mengukur apa yang menjadi capaian suatu pembelajaran. Dengan kata lain, tes tersebut harus mengukur ‘isi’ pembelajaran. Jika tujuan pembelajarannya adalah mampu meringkas inti sebuah esai pendek, misalnya, butir tes yang baik akan juga meminta sang siswa meringkas inti sebuah esai. Jika butir tes itu malah mengukur penguasaan kosa kata sebuah esai, maka ia dikatakan tidak memiliki validitas isi.
Kelemahan kedua berkaitan dengan pengukuran kecakapan produktif (berbicara dan menulis). Temuan menunjukkan bahwa guru belum sepenuhnya bisa merancang rubrik atau panduan penilaian yang tepat. Kalau pun sudah ada panduan penilaian, ternyata penerapannya juga masih setengah hati karena alasan keterbatasan waktu. Jadi, skor yang diberikan kepada siswa masih diragukan validitasnya karena proses yang seharusnya penuh dijalankan setengah saja. Jika sebuah tes sudah tidak valid, maka kita tidak bisa mempercayai hasil tersebut. Tanpa validitas, tidak ada relaibilitas atau keterandalan.
Hal ketiga berkaitan dengan washback effect. Ini adalah pengaruh sebuah tes terhadap tindak laku pembelajaran yang mendahuluinya. Sebuah tes berformat pilihan ganda, misalnya, akan cenderung ‘memaksa’ guru dan murid untuk berlatih menjawab tes dengan pilihan ganda. Seorang guru yang mengajarkan ketrampilan berpikir kritis dan kreatif namun mengakhiri semester dengan tes pilihan ganda akan membuat murid-muridnya mengabaikan seluk beluk berpikir kritis kreatif karena mereka lebih suka berlatih untuk menjawab tes pilihan gandanya.
Sebaliknya, seorang guru yang mengakhiri semesternya dengan format tes presentasi atau menulis esai akan membuat muridnya berlatih mengungkapkan pikiran secara runtut, memikat, dan substantif secara lisan atau tertulis. Ini menjadi sebuah masukan bagi para guru yang cenderung menyukai format pilihan ganda yang memang mudah untuk diskor namun sebenarnya mengebiri proses berpikir yang lebih mendalam.
Uraian di atas merujuk pada pentingnya para pendidik memiliki penguasaan teknik merancang tes atau pengujian siswanya. Jika ini diabaikan, praktik di lapangan akan sarat dengan tindak pengetesan yang melanggar prinsip validitas dan washback effect. (****)
Patrisius Istiarto Djiwandono adalah guru besar di bidang pendidikan Bahasa, dosen tetap prodi Sastra Inggris di Universitas Ma Chung, Malang, dan Ketua Dewan Pakar Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Editor: Wadji