Pengajar Bahasa Inggris Harus Bagaimana Lagi?
Oleh: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd.
Perasaan hati ini bercampur baur ketika beberapa mahasiswa tidak bisa melakukan presentasi dalam Bahasa Inggris dengan baik. Presentasi ini merupakan bentuk Ujian Tengah Semester (UTS). Materi UTS sudah saya berikan 2 minggu sebelumnya dan tidak ada mahasiswa yang mengajukan keberatan.
Perasaan marah, kecewa, putus asa, jengkel, bingung dan sedih menuntun saya untuk bertanya kepada mahasiswa. Pertanyaan ‘Mengapa kalian tidak melakukan presentasi dengan baik?’ meluncur begitu saja dari mulut saya. Jawaban mereka sungguh di luar dugaan.
“Saya grogi karena kelompok lainnya tidak ada di ruangan ini.”, “Saya takut ketika Ms. Yuli melihat saya karena saya pikir saya melakukan kesalahan”, “Saya takut salah.” Berbagai jawaban ini membuat saya terdiam. Sebuah pertanyaan muncul di kepala saya ‘Saya harus bagaimana lagi?’
Saya memang meminta setiap kelompok untuk presentasi sendirian di ruang kelas. Sementara kelompok yang tidak presentasi menunggu di luar kelas. Kelompok yang sudah presentasi saya izinkan untuk melakukan kegiatan lain, seperti mempersiapkan diri untuk UTS yang lain. Setiap kelompok terdiri dari 3 mahasiswa dan setiap mahasiswa wajib presentasi selama 5 menit.
Setiap kelompok mendiskusikan 1 topik. Setiap anggota kelompok menjelaskan materi yang berbeda. Mereka hanya diizinkan melihat PPT yang berisi poin-poin penting. Saya sadar bahwa mahasiswa masih kesulitan dengan Bahasa Inggris. Dengan bekerja dalam kelompok, mereka dapat saling menolong.
Bekerja dalam kelompok merupakan strategi saya supaya mahasiswa tidak takut. Kebanyakan mahasiswa masih menganggap Bahasa Inggris sebagai momok. Sementara itu, presentasi individu merupakan cara untuk menghargai usaha setiap individu. Mahasiswa yang berusaha keras akan mendapatkan nilai yang berbeda dari mahasiswa yang tidak. Dengan demikian, mahasiswa yang telah berusaha keras tidak akan kecewa.
Penilaian individu ini diharapkan memacu setiap mahasiswa untuk berusaha keras. Durasi presentasi yang sama menghindarkan mahasiswa untuk mendominasi atau menghindari tantangan. Durasi yang sama ini menunjukkan keadilan bagi setiap mahasiswa.
Saya telah mengajar para mahasiswa ini sejak mereka semester 1. Di awal pertemuan, saya memberi kesempatan kepada mereka untuk mengutarakan kesan mereka terhadap Bahasa Inggris. Beberapa mahasiswa menganggap Bahasa Inggris sebagai momok. Sejak saat itu saya berusaha keras untuk membantu mereka agar mempunyai kesan positif terhadap Bahasa Inggris. Berbagai strategi saya gunakan.
Saya menekankan bahwa membuat kesalahan itu tidak apa-apa karena Bahasa Inggris bukan bahasa kita. Dukungan saya berikan ketika mereka berhasil ataupun gagal dalam menggunakan Bahasa Inggris. Saya membagikan pengalaman studi atau menghadiri seminar di negara lain secara gratis berkat kemampuan Bahasa Inggris saya. Saya berbagi makanan dan berbincang dengan mereka di waktu istirahat. Selain itu saya menggunakan metode mengajar yang menarik dan tidak monoton.
Mahasiswa yang saya ceritakan sebelumnya berasal dari Sumatera dan Kalimantan. Kompetensi Bahasa Inggris mereka rendah tetapi mereka tidak memanfaatkan bantuan yang saya dan teman-teman mereka berikan. Mereka tidak mau keluar dari zona nyaman dan mencapai target lebih tinggi.
Jelas sekali mereka tidak berusaha untuk mengalahkan tantangan mereka. Dari jawaban mereka, kita bisa menilai kalau resiliensi mereka rendah. Jawaban mereka tidak masuk akal. Sangat tidak mungkin kalau dosen tidak menatap mahasiswa yang melakukan presentasi.
Jawaban tidak masuk akal keluar lagi dari mulut seorang murid SMA kelas XII asal NTT. Dia mengatakan baru serius belajar Bahasa Inggris sebelum tes seleksi masuk perguruan tinggi. Alasannya karena dia baru sadar kalau bahasa Inggris itu penting. Padahal pihak sekolah sudah berusaha keras untuk membinanya. Bisa ditebak, murid ini tidak lulus tes seleksi.
Sangat disayangkan, kesadaran murid ini untuk keluar dari zona nyaman terlambat. Dia tidak menyadari bahwa menguasai keterampilan berbahasa Inggris membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Selain itu, keterampilan ini membutuhkannya untuk bekerja super keras. Keinginan untuk mempunyai keterampilan berbahasa Inggris saja tidak cukup. Kerja keras dan waktu yang cukup sangat diperlukan.
Saya jadi ingat dengan seorang mahasiswa yang tidak serius mempelajari Bahasa Inggris. Tentu saja kemampuan Bahasa Inggrisnya rendah. Pagi itu dia meminta persetujuan saya untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Dia sadar akan kemampuannya tetapi dia berjanji akan belajar sangat serius sebelum keberangkatan. Saya sudah mengingatkannya untuk belajar dengan serius sejak semester 1 tetapi tidak pernah ditanggapi.
Bukan hanya saya, saya percaya pengajar Bahasa Inggris di NTT ini telah berusaha keras. Tapi ini tidak cukup. Usaha ini harus melibatkan pihak lain, terutama pemerintah yang mempunyai kekuasaan dan akses ke berbagai pihak. Dalam waktu dekat kolaborasi yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran tersebut pada warga Kalimantan Timur.
Ibukota RI akan berada di Kalimantan Timur. Tentu saja warga dunia akan banyak berdatangan di sana. Tentu saja kegiatan berskala internasional juga akan dilaksanakan di sana. Bukan hanya pembangunan fisik yang perlu diperhatikan, pembangunan kesadaran untuk menguasai Bahasa Inggris juga harus ditumbuhkan. Dengan adanya kemampuan Bahasa Inggris yang meningkat, Kalimantan Timur akan lebih siap lagi.
Pemerintah dapat mulai mengandeng pihak universitas untuk melakukan penelitian dan Abdimas di sana. Pemerintah juga dapat menggandeng pihak perusahaan untuk melakukan CSR. Partisipasi ini bisa dilakukan baik secara onsite maupun online.
Sekali lagi terbukti bahwa mengajar Bahasa Inggris itu tidak mudah. Apakah sebagai pengajar Bahasa Inggris kita harus menyerah? Tentu saja tidak. Kita harus menggandeng pihak lain dan terus belajar. Belajar metode baru, belajar sabar lagi dan belajar percaya bahwa Tuhan Sang Pencipta akan membantu kita. Tuhan memberkati kita semua. (****)
Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd. adalah dosen tetap Prodi PGSD Universitas Kristen Petra sekaligus anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Sulistyani, M.Pd., dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri sekaligus pengurus pusat PISHI.