Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Tidak Ada Gunanya
Oleh: Patrisius Istiarto Djiwandono
Kalimat di atas diungkapkan beberapa tahun silam oleh seorang guru besar di Universitas tempat penulis bekerja (sekarang beliau sudah almarhum). Karena dilontarkan di depan forum pertemuan dengan semua dosen dalam acara evaluasi program, maka ia serasa tonjokan petinju kelas berat tepat di perut para pendengar. Semua hadirin, termasuk penulis, terkesiap kaget dan mungkin juga sedikit geram terhadap ucapan seseorang yang sudah kami anggap sebagai bapak dan panutan. Bagaimana mungkin beliau tega melontarkan pukulan tersebut?
Lama setelah itu penulis masih sering merenungkan ucapan tersebut. Ditambah dengan pengalaman sendiri mengamati praksis pendidikan karakter di berbagai lembaga, penulis akhirnya menguntai sebuah pemikiran tentang pendidikan karakter.
Pertama, ketika sebuah lembaga mencanangkan program pendidikan karakter untuk murid-muridnya, ada asumsi yang dipegang. Asumsi tersebut adalah bahwa semua dosen atau guru di lembaga tersebut sudah berwatak baik, punya integritas tinggi sebagai manusia dewasa maupun sebagai seorang akademikus, dan mampu menanggapi segala kesulitan hidup dengan bijaksana. Dengan demikian, mereka pantas menjadi panutan murid-muridnya. Tapi benarkah demikian?
Jika ternyata banyak pendidik yang berkarakter kurang baik, emosional, arogan, bahkan rasis dan intoleran, tentunya mereka tidak pantas menjadi panutan bagi para anak didiknya. Jika ini yang terjadi dan tidak ada upaya apapun untuk membenahi karakter para pendidiknya sendiri, maka segala ungkapan dan tekad untuk mendidik karakter menjadi sia-sia. Para murid tentu tidak akan mempercayai guru atau dosennya yang ternyata emosional, terlibat perseteruan dengan kolega, terlibat hutang sampai harus melakukan korupsi, atau terbukti melakukan plagiat karya orang lain. Di mata para murid, mau sekeras apapun para gurunya mencanangkan pendidikan karakter, mereka tidak akan menghiraukannya. Teladan nyata tanpa banyak kata lebih efektif buat mereka. Jika beberapa figur yang seharusnya menjadi teladan itu ternyata juga bermasalah, maka memang benarlah ungkapan bapak di atas: “pendidikan karakter tidak ada gunanya.”
Hal kedua yang juga penting adalah bagaimana watak baik itu ditanamkan di lembaga pendidikan. Ternyata memang harus ada kesadaran yang dibangkitkan dengan sangat sengaja. Maksudnya, pendidikan karakter harus mewujud bukan hanya dalam pembentukan perilaku terpuji, namun juga harus dibarengi dengan pengartikulasian secara verbal kepada para murid. Ungkapan verbal ini ditujukan untuk membuat mereka sadar bahwa kegiatan yang sedang mereka lakukan membentuk karakter tertentu. Jadi ketika sedang melakukan sebuah kegiatan bakti sosial di komunitas tertentu, sang mentor atau dosen pembimbing harus dengan sengaja secara verbal mengaitkannya dengan karakter tertentu: “kegiatan ini kita lakukan untuk mengasah kepedulian sosial kalian sebagai generasi muda.”
Ketika meminta para murid bekerja kelompok dalam sebuah tugas di kelas, sang guru atau dosen dengan lantang mengatakan: “kegiatan ini anda lakukan untuk mengasah kemampuan dan kemauan bekerja sama, saling menenggang rasa, dan bisa bersikap asertif tanpa harus menjadi agresif.”
Ketika mendorong para muridnya untuk tetap berusaha menyelesaikan sebuah tugas yang sulit, seorang guru atau dosen harus dengan lantang mengucapkan, “Ini memang berat namun jangan cepat putus asa karena ini akan membentukmu menjadi orang yang gigih.”
Semua upaya di atas tentu akan percuma jika tidak dilakukan secara ajeg dan terus-menerus. Repetisi membuat sebuah kecakapan atau watak menjadi makin melekat dalam diri seseorang. Maka sudah sejak dulu penulis yakin bahwa pendidikan karakter harus ditanamkan ke dalam pembelajaran atau perkuliahan sehari-hari. Banyak kegiatan berdimensi kognitif atau pun sosial yang bisa dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter di kelas. Menyimak dengan baik, mengendalikan diri, gigih, jujur, ramah dan menyenangkan, adalah beberapa jenis watak yang bisa dibentuk dan terus-menerus ditajamkan melalui kegiatan perkuliahan rutin.
Sebaiknya kita tidak bermimpi bahwa satu dua kegiatan pendidikan karakter dalam bentuk game-game atau berkumpul satu dua hari bisa membentuk karakter seorang manusia muda. Setelah menuntaskan satu program yang dilabeli pendidikan karakter, lengkap dengan game-gamenya yang seru dan kegiatan yang menantang, apakah karakter mereka akan menjadi lebih baik? Tanpa penguatan terus menerus dari tempaan di pembelajaran sehari-hari seperti yang dibahas di atas, maka kegiatan itu menjadi kurang efektif. Tentu penulis tidak sedang mengkritik program-program pendidikan karakter seperti itu. Ia tentu bagus, namun tanpa dibarengi dengan pemantapan sehari-hari, penulis takut apa yang diungkapkan bapak senior di atas menjadi benar: “pendidikan karakter itu tidak ada gunanya.”
Penulis merasa senang bahwa di Universitas Ma Chung pendidikan karakter dimulai dengan pengenalan terhadap diri sendiri. Pada awal masa studinya di Ma Chung, seorang mahasiswa akan diminta untuk melakukan introspeksi mendalam tentang siapakah dirinya dan seperti apakah wataknya. Ini fase penting di dalam pembentukan karakter. Seorang insan harus tahu dulu jati diri, ego, kelemahan dan kekuatannya. Setelah tahu itu, ia menjadi tahu kelemahan apa yang harus diperanginya dan kekuatan apa yang harus makin diasahnya. Tahap selanjutnya dalam pendidkan karakter akan menghadapkannya pada berbagai tantangan. Maka akan baik jika ada fase evaluasi pribadi secara berkala setiap akhir tahun ajaran. Evaluasi ini pada intinya bertujuan untuk mengukur seberapa baik sang diri sudah menghadapi berbagai tantangan di sekolah atau kampus. Sudahkah dia menjadi lebih baik? Atau apakah kelemahan-kelemahan yang dulu ada ternyata masih bercokol? Dengan bimbingan para pendamping karakter, konselor kampus, dan para dosen, rangkaian pendidikan karakter dari awal kuliah sampai lulus ini tentunya menjadi lebih mantap, lebih membekas, dan menjadi bekal yang kuat ketika mereka lulus dan mengarungi kehidupan.
Maka lalu kita bisa dengan hormat menanggapi ungkapan bapak senior di atas tadi, “Tidak, Bapak. Pendidikan karakter itu masih tetap berguna.” (****)
Patrisius Istiarto Djiwandono adalah guru besar bidang pendidikan bahasa di Universitas Ma Chung, dan Ketua Dewan Pakar Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Editor: Wadji