Pakar UI Sebut Pernyataan Ghufron Menyesatkan, KPK Harus Koreksi Putusan Gratifikasi Kaesang

"Jadi, di dalam konteks gratifikasi, penerimanya tidak harus pejabatnya langsung. Bisa lewat orang lain, lewat perantara, siapa pun itu. Bisa juga ditujukan kepada orang dekatnya, terutama keluarga inti," ucap dia.

Nov 8, 2024 - 06:28
Pakar UI Sebut Pernyataan Ghufron Menyesatkan, KPK Harus Koreksi Putusan Gratifikasi Kaesang

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana Bondan menilai pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, tidak bisa menetapkan status penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Kaesang Pangarep adalah keliru bahkan menyesatkan.

Menurut Gandjar, KPK harus mengoreksi putusan dengan membuka penyelidikan dugaan gratifikasi tersebut.

"Bukan cuma keliru menurut saya, malah jadi menyesatkan," ujar Gandjar usai mengisi materi dalam agenda matrikulasi hukum tindak pidana korupsi di KPK, Jakarta, Rabu (6/11).

Gandjar menjelaskan istilah gratifikasi baru muncul di Undang-undang 20/2001. Akan tetapi, larangannya sudah ada sejak lama di zaman Presiden RI ke-2 Soeharto. Kata dia, penerima gratifikasi tidak harus pejabat langsung.

"Jadi, di dalam konteks gratifikasi, penerimanya tidak harus pejabatnya langsung. Bisa lewat orang lain, lewat perantara, siapa pun itu. Bisa juga ditujukan kepada orang dekatnya, terutama keluarga inti," ucap dia.

Atas dasar itu, tegas Gandjar, larangan kepada pejabat untuk menerima gratifikasi, suap dan lain sebagainya juga berlaku pada keluarga intinya.

Di kasus dugaan penerimaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang, kata Gandjar, yang harus disasar penegak hukum adalah ayahnya yang pada saat itu menjabat Presiden RI yakni Joko Widodo.

"Kita sudah punya yurisprudensi menyangkut riwayat Pasal-pasal suap, baik bagi pemberi maupun penerima. Bisa diterima oleh orang lain, orang dekatnya, keluarga, baik sebagai titipan maupun sebagai adresaat. Jadi, dari situ sudah jelas bahwa memang yang disasar bukan si anak, yang akan diminta pertanggungjawaban hukum adalah bapaknya atau ibunya yang pejabat," terang dia.

Gandjar yang mengambil bagian dalam tim perumus Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset ini menjelaskan dalam hukum tidak diatur pengecualian pidana terhadap mereka yang telah pisah kartu keluarga.

Pernyataan tersebut untuk membantah klaim Nurul Ghufron yang mengatakan alasan KPK tidak bisa melanjutkan pemeriksaan terhadap Kaesang adalah karena yang bersangkutan bukan penyelenggara negara dan sudah pisah kartu keluarga dengan keluarga intinya yang notabene merupakan pejabat.

"Pisah kartu keluarga ini saya tidak tahu siapa yang ngajarin, siapa yang mulai, ini menyesatkan," tegas Gandjar.

"Makanya saya bilang begini, kata kuncinya adalah hubungan keluarganya, terutama keluarga inti. Konteks hukumnya apa? Bahwa ada hubungan hukum. Nah, hubungan hukum itulah yang membuat ia dilarang juga. Cuma yang diminta pertanggungjawaban bukan dia-nya, tapi si pejabatnya yang harusnya dikejar," tandasnya.

Sebelumnya, KPK melalui Nurul Ghufron menyampaikan tidak bisa menetapkan status penerimaan fasilitas jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep masuk kategori gratifikasi atau tidak.

Keputusan itu menuai polemik sehingga dikritik banyak pihak. Terlebih, keputusan dimaksud keluar tanpa ada klarifikasi terhadap pihak pelapor dalam hal ini Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidilah Badrun dan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.(han)