Pakar Sebut Aneh bin Ajaib Keputusan Menkumham Digugat KSP, soal Kisruh Demokrat

Denny Indrayana menganggap aneh ketika keputusan Menkumham Yasonna Laoly digugat Kepala Staf Presiden Moeldoko ke pengadilan. Padahal keduanya sama-sama di pemerintahan.

Jun 6, 2023 - 16:46
Pakar Sebut Aneh bin Ajaib Keputusan Menkumham Digugat KSP, soal Kisruh Demokrat

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Sejumlah pakar hukum tata negara menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dimakzulkan apabila terbukti melanggar hukum terkait Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Moeldoko perihal kepengurusan Partai Demokrat.

Guru besar hukum tata negara sekaligus senior partner Integrity law firm Denny Indrayana menilai sikap diam Jokowi atas upaya hukum Moeldoko mengambil alih Partai Demokrat bisa menjadi pintu masuk pemakzulan.

Hal itu disampaikan Denny merespons pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam sebuah wawancara dengan salah satu media massa.

"Saya setuju dengan pendapat Prof. Jimly ini bahwa dibiarkannya KSP Moeldoko membajak Partai Demokrat harusnya bisa menjadi pintu masuk pemakzulan (impeachment) Presiden Jokowi," ujar Denny lewat akun Twitter @dennyindrayana.

Denny menjelaskan secara hukum jika kondisi normal, DPR harus mengajukan hak angket untuk menyelidiki dugaan Jokowi memberikan persetujuan atas langkah pembajakan politik yang dilakukan oleh Moeldoko.

"Jika terbukti memang ada persetujuan Presiden Jokowi, maka proses pemakzulan berlanjut ke MK [Mahkamah Konstitusi]. Jika tidak terbukti, tentu proses harus berhenti," ucap Denny.

Denny Indrayana menganggap aneh ketika keputusan Menkumham Yasonna Laoly digugat Kepala Staf Presiden Moeldoko ke pengadilan. Padahal keduanya sama-sama di pemerintahan.

Keputusan Yasonna Laoly yang dimaksud mengenai kepengurusan Partai Demokrat dengan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

"Dan aneh secara ketatanegaraan keputusan Menkumham digugat oleh KSP Moeldoko. Itu aneh bin ajaib, dan presiden diam, kan ini anak buah dia," kata Denny di Political Show CNN Indonesia TV, Senin (5/6).

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' sependapat dengan Denny.

Menurut dia, PK Moeldoko bisa menjadi pintu masuk pemakzulan apabila ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Jokowi.

"Tentu saja itu bisa jadi pintu masuk pemakzulan presiden," kata Castro melalui pesan tertulis, Minggu (4/6).

Dalam kondisi normal di luar momentum politik Pemilu 2024, lanjut Castro, DPR pada dasarnya sudah memiliki argumen yang cukup memadai untuk memakzulkan presiden.

Ia pun memberi penjelasan pemakzulan presiden diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Presiden dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Usul pemberhentian presiden atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR.

"Dan jika ditafsirkan, sikap diam presiden terhadap tindakan yang keliru apalagi itu dilakukan oleh bawahannya langsung, dalam hal ini kepala KSP Moeldoko, maka itu dapat dikualifikasikan sebagai bentuk 'perbuatan tercela'. Sebab, sikap diam presiden tersebut sama halnya dengan melegitimasi atau menyetujui tindakan Moeldoko," tutur Castro.

"Jadi, makna cawe-cawe yang kerap kali diperbincangkan itu bukan hanya ikut campur langsung terhadap peristiwa di luar kewenangannya, tetapi juga terhadap sikap diam terhadap tindakan keliru," tandasnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman ini menilai seharusnya Jokowi menegur bahkan memberhentikan Moeldoko.

"Tapi, ini kan peristiwa yang berulang ya. Dulu saat isu tiga periode dan penundaan pemilu, presiden juga seolah permisif dengan tindakan bawahannya yang bertentangan dengan konstitusi tersebut," pungkasnya.

Kondisi politik

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Wiratraman menyatakan seorang presiden bisa dimakzulkan apabila terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.

Namun, ia memberi catatan kritis mengenai situasi politik kini yang membuat pemakzulan akan sulit terjadi kendati ada perbuatan melanggar hukum.

"Ya tentu bisa karena melakukan tidakan yang patut diduga melanggar hukum. Namun, apakah mekanisme itu akan digunakan DPR? Rasanya tidak di tengah menguatnya kartelisasi politik. Terlebih, itu juga menempuh mekanisme MK, yang saya pun menyebutnya Mahkamah Kartel," kata Herlambang.

Dalam tulisannya di Kompas, Herlambang yang juga merupakan bagian dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menjuluki MK dengan Mahkamah Kartel ketika ramai peristiwa pergantian tengah jalan hakim konstitusi Aswanto dengan alasan sering menganulir produk hukum DPR.

Menurut Herlambang, penarikan Aswanto oleh DPR dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah menjadi penanda kuat bekerjanya politik kartel.

Herlambang menyebut praktik itu sebagai cerminan ketatanegaraan yang buruk.

Sebelumnya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut Presiden Joko Widodo tidak mengetahui manuver Kepala Staf Presiden Moeldoko dalam kudeta di Partai Demokrat.

Ngabalin mengaku hampir setiap hari bertemu dengan Moeldoko di Istana. Menurutnya, Moeldoko tidak pernah bicara soal manuver politik di lingkungan kerja.

"Jangankan saya, istrinya sama Pak Presiden saja tidak tahu,'" kata Ngabalin dalam program d'Rooftalk: Perebutan Kekuasaan di Partai Demokrat yang disiarkan detikcom, Rabu (10/3).

Ngabalin juga sempat menemui Presiden Jokowi di Istana Bogor beberapa hari lalu. Ia mengaku tak sempat bicara banyak dengan Jokowi. Namun, ia mengklaim Jokowi tak mengetahui aksi Moeldoko di Demokrat.

Politikus Partai Golkar itu berkata Moeldoko fokus mengerjakan tugas sebagai KSP saat di Istana. Menurutnya, tidak ada waktu sedikit pun Moeldoko bicara soal rencana politiknya.

"Menurut saya, banyak agenda negara yang sungguh-sungguh kami harus bicarakan," ujarnya. "Tidak ada sama sekali kesempatan dan peluang membahas materi lain," imbuh Ngabalin.

Sementara itu Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan isi pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dan Menkumham Yasonna Laoly saat membahas kisruh kepengurusan Partai Demokrat.

Mahfud mengatakan Jokowi meminta kepengurusan Demokrat hasil Kongres Luar Biasa tak disahkan meski Moeldoko teman di pemerintahan.

"Kata Pak Jokowi, kalau memang begitu tegakkan saja hukum, ndak boleh disahkan pak Moeldoko meskipun dia teman kita dan punya ambisi politik kata Pak Jokowi," kata Mahfud dalam sebuah dialog dengan ekonom Didik Rachbini melalui live Twitter, Rabu (29/9) malam.

Kala itu, Mahfud menjelaskan semua peraturan yang berkaitan dengan konflik partai politik kepada Jokowi.

Mahfud mengatakan acara yang disebut KLB Demokrat Moeldoko dilakukan tanpa izin pengurus Demokrat yang sah. Tidak pula melalui prosedur yang ditentukan aturan partai, sehingga hasil KLB tidak bisa disahkan.

"Ini kan mereka di luar, bukan pengurus yang sah, jadi itu ndak boleh disahkan. Kata Pak Jokowi, 'Kalau memang begitu tegakkan saja hukum, ndak usah disahkan Pak Moeldoko meskipun dia teman kita dan punya ambisi politik', kata Pak Jokowi," kata dia.

Jejak kasus PK Moeldoko

Upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko diawali konferensi pers yang digelar Agus Harimurti Yudhoyono/AHY pada 1 Februari 2021.

Setelah itu, Kongres Luar Biasa (KLB) digelar di Deli Serdang dan menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum pada 5 Maret 2021.

Merespons hasil KLB itu, Menkumham Yasonna H. Laoly mengumumkan pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang pada akhir Maret 2021.

Yasonna mengatakan dari hasil verifikasi, terdapat beberapa dokumen yang belum dilengkapi, antara lain dari perwakilan DPD, DPC serta tidak adanya mandat dari Ketua DPD dan DPC.

Setelah itu, berbagai gugatan dan upaya hukum pun dilayangkan oleh kubu Moeldoko untuk mendapatkan legalitas. Namun, berulang kali ditolak pengadilan.

Moeldoko sempat menggugat Menkumham ke PTUN DKI Jakarta terkait dengan penolakan pengesahan perubahan susunan kepengurusan DPP Partai Demokrat masa bakti 2020-2025 dan pengesahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Namun, gugatan itu kandas.

PTUN beralasan tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara yang menyangkut internal partai politik.

Upaya hukum Moeldoko juga kandas di tingkat Pengadilan Tinggi TUN dan Mahkamah Agung (MA) hingga akhirnya Moeldoko mengajukan PK.

Permohonan PK tersebut sudah masuk dan masih dalam proses untuk diadili oleh MA.(han)