Oleh: Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si.
Tahun 2024 bagi Indonesia merupakan tahun bersejarah, karena pada tahun tersebut pesta demokrasi kolosal akan dilakukan.
Mulai dari Pemilihan Legislatif (Pilleg), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sampai Pemilihan Presiden (Pilpres) digelar serentak pada tahun yang sama.
Namun hawa persaingannya sudah terasa dari sekarang. Halus tapi tegas, para bakal calon mulai mengiklankan diri, baik langsung maupun melalui tim suksesnya.
Hal yang sama sering kita ulangi setiap menjelang Pemilu. Iklan-iklan pencitraan tersebar dengan massif ditangani oleh para ahli marketing.
Dibantu oleh para Lembaga survey “membaca” potensi, sebagai bahan transaksi. Transaksi dengan kekuatan lain atau dengan partai, guna menemukan siapa yang paling besar peluang untuk dipilih, persis seperti ajang pencarian bakat ya.
Beralihkan mesin partai ke agensi marketing dalam proses kandidasi bakal calon, tampaknya menjadi tanda perubahan makna pemilu dari mesin demokrasi menjadi mesin kontestasi idola saja.
Secara esensi, pergeseran ini terjadi karena demokrasi telah kelelahan. Demokrasi menjadi ajang kontestasi yang pemenangnya dianggap paling disenangi, bukan yang paling visioner atau cakap dalam berkebangsaan dan bernegara.
Para kandidat terpilih ditentukan oleh popularitas, keidolaan, bukan pada bukti kepedulian bernegara dan berbangsa.
Baca Juga: Ayu Ting Ting Peluk Reza Rahadian, Ngarep Berjodoh Dengan Aktor Idola!