Oleh Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi, S.S., M.A.
Seperti judul terpilih di atas, tulisan hari ini bertujuan “mengumbar” kegelisahan tentang sekolah. Kegelisahan ini diawali dengan sebuah sobekan koran bungkus cabe di dapur. Penulis menghentikan meracik bumbu lodeh karena iseng ingin tahu isi tulisan itu.
Tanpa tahu siapa penulisnya, kalimat-kalimat itu menyatakan ideal sebuah “menu” sekolah. Ia mempertanyakan mengapa ada pelajaran yang tersisih saat musim EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, istilah UN tahun 1980an). Benar sekali.
Nyatanya, penulis mengalami masa genting melahap semua materi pelajaran mainstream tersebut berhari-hari. Musim tegang ini berulang di tingkat menengah pertama dan atas.
Prioritas atas beberapa mata pelajaran ini mempengaruhi perlakuan ketika proses belajar siswa. Dan, tulisan kali ini bisa dikatakan ratapan atas semua ini.
Lebih ngeri lagi di dekade-dekade berikutnya. Siswa SD mengalami kesibukan layaknya karyawan perusahaan. Berangkat pagi pulang petang. Seluruh daya upaya harus dikerahkan demi sebuah derajat nilai.
Betapa susah membuat janji bertemu mereka, kecuali malam hari. Ah, kelelahan jelas tergambar di wajah-wajah lugu mereka. Tuntutan sekolah memang tinggi.
Entah mengapa dan bagaimana ini terjadi. Yang jelas, para orang tua tergopoh-gopoh mencari kursus, les, dan bimbingan belajar demi tuntutan ini. Siswa-siswa itu sekarang menjadi objek dari sistem.
Dan, banyak lagi ilustrasi kejadian yang tidak tertampung pada tulisan ini. Penulis percaya, pembaca budiman dapat memahami detail pengalaman pribadi masa sekolah baik sebagai orang tua maupun saat menjadi siswa sekolah.
Baca Juag: Seorang Nenek Korban Penembakan Sekolah Dasar Texas Dilarikan ke Rumah Sakit dalam Kondisi Kritis