Nilai Moral dalam Lagu Permainan Anak Madura

Tak habis Madura dikupas dari berbagai sisi. Itu karena etnis Madura memiliki budaya yang khas dan unik. Tak heran jika banyak para peneliti, pengamat budaya dan praktisi lainnya yang tertarik dengan kultur masyarakat Madura.

Nilai Moral dalam Lagu Permainan Anak Madura
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Salimullah, M.Pd.

 

 

Tak habis Madura dikupas dari berbagai sisi. Itu karena etnis Madura memiliki budaya yang khas dan unik. Tak heran jika banyak para peneliti, pengamat budaya dan praktisi lainnya yang tertarik dengan kultur masyarakat Madura.

Karakter etnis Madura yang khas dan unik juga tergambar dalam lagu-lagu berbahasa Madura, di antaranya dalam syair lagu permainan anak. Bahkan dalam lagu permainan anak ini tergambar jelas bagaiama tentang sikap, keyakinan, etos kerja, dan pola pikir masyarakat Madura. Lagu ini tidak hanya menjadi hiburan tetapi menjadi transformasi nilai-nilai, salah satunya nilai moral.

Di Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep, ada beragam jenis syair lagu Madura yang dinyanyikan anak-anak sambil bermain. Di Desa Saronggi, Kecamatan Saronggi yang bernama permainan ti` titti` liya` liyu`, cong-koncong konce, ra-ra kotana mera, ko-soko bucang, tong ta`etong  dan jan-kolajang. Sedangkan di Desa Kerta Barat Kecamatan Dasuk terdapat permainan anak seperti tan-pangantanan dan  pesapean papa.  Begitu juga dengan Desa Juruan Daya, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep juga terdapat permainan anak seperti ker-tanoker dan pa’ opa’ eling.  Permainan-permainan anak tersebut dinilai cukup relevan jika ditinjau dari sisi bentuk folklor dan pelestarian nilai kearifan lokal permainan anak.

Dalam syair lagu Pa’kopa’ iling, misalnya. Pa’ kopa’ iling/ilinga sakoranji/eppa’na entara mamaleng/ana’ tambang tao ngaji/ngaji babana cabbi/eangka’e sarabi /pamolena sakek ghighi/kebemole ka pareghi//.  Lirik lagu Pa’ Kopa’ iling memang sangat pendek dan sederhana sehingga gampang untuk dinyanyikan dan dihafalkan oleh anak-anak. Namun di balik kesederhanaan lagu ini terdapat nilai-nilai yang sangat mendalam, yaitu nilai pendidikan, sosial, etika, moral, dan agama.

“Pa’ Kopa’ iling, ilingnga Sakoranji”// Bertepuk-tepuk ingat, Ingatnya Sekeranjang// kalimat tersebut mengingatkan kita atas kesadaran bahwa menuntut ilmu itu sangat penting. Dan bait-bait tersebut menganjurkan kita supaya selalu mengingat bahwa ilmu agama sangatlah penting dalam kehidupan. Pada ujar-ujar yang lain juga disebutkan bahwa orang Madura belum sah menjadi orang Madura bila tidak bisa mengaji dengan lancar.

Pada larik “Eppa’na entara mamaleng memiliki maksud bahwa untuk mendapatkan anak yang berbakti, si bapak harus ‘’mencuri”. Mencuri di sini artinya adalah bahwa si bapak mencuri kesempatan dari orang lain. Dengan kata lain si bapak bangun malam dan berdoa kepada Allah SWT supaya ‘’anak tambang tao ngaji”, supaya generasi penerus mampu membedakan antara yang hak dan batil. Seorang bapak harus memberikan contoh yang baik bagi penerusnya.”// Anak tambang tao ngaji, ngaji babana cabbi”//anak bodoh bisa ngaji, ngaji di bawah cabai”.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura ketika memasrahkan anaknya ke langgar orang tua selalu membawa “sher”. Sher berupa makanan pokok biasanya terdiri dari nasi, ikan, ketan, pisang, dan sebagainya. Nasi yang di dalam “sher” itu disebut rasol, di tengah-tengah nasi ditancapkan cabai merah yang menjadi simbol kecerdasan dan  ketajaman berpikir.

Dalam syair lagu permainan anak yang lain, seperti Gai’ bintang dengan lirik sebagai berikut: Gai’ bintang ya le’ gaggar bulan/pagei’na janor konéng/kaka’ elang ya le’ sajan jau/pajauna ka lon-alon/liya lites, kembang atos, tocca’ toccer/. Nilai moral tentang religius yang terkandung dalam nyanyian gai’ bintang di atas memiliki nilai filosofi keagamaan yang tinggi. Nilai religius pada nyanyian anak (gai’ bintang) memiliki tiga  pesan yang tersirat pertama qanaah, kedua pantang menyerah dan ketiga niat ibadah.

Pertama, Qanaah adalah sifat selalu menerima dan mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah SWT.  Seperti halnya dalam kalimat “ghai’ bintang gaggar bulan”, menginginkan bintang namun yang didapat adalah bulan. Kedua, sikap pantang menyerah harus tertanam di dalam diri setiap ummat manusia. Meskipun dengan hanya dengan janur yang panjangnya sekitar 1 meter dapat meraih bulan atau bintang bila sudah dikehendakimoleh Allah, seperti yang tercermin dalam syair “paghai’na janur koning”. Ketiga adalah segala bentuk niat untuk berbuat baik semata-mata hanyalah untuk ibadah. Hal ini tergambar dalam syair “liya litus kembang atus tocca’ toccer”.  

Peribahasa Madura juga mengatakan, “mlappae manok ngabang – (membumbui burung terbang)”. Tentu saja ada kesamaan tujuan dari bait pertama puisi gai’ bintang dengan peribahasa Madura, mlappae manok ngabang, yaitu memberikan sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan.  Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya. Hal itu terdapat pada syair, gai bintang, ya le’ gaggar bulan (menjolok bintang, yang jatuh rembulan).

Kandungan isi yang dapat dipetik pada syair ini adalah nilai religius. Rembulan dan Bintang merupakan benda langit yang jauh dari permukaan bumi namun sinarnya mampu memberikan penerangan di malam gelap gulita. Bahkan Bintang sebagai penunjuk arah, terutama untuk para nelayan ketika mengarugi lautan yang luas. Bintang juga menjadi penunjuk untuk para petani ketika akan memulai bercocok tanam.

Kaka’ elang ya le’ sajan jau’ (abang pergi kian jauh), bait ketiga ini memberikan semacam legitimasi pada bait pertama dan kedua. Dan kemudian ditutup dengan kalimat, pajauna ka lon-alon, (jauhnya ke alun-alun). Syair ini memberikan semacam sinyal kepada manusia tentang sebuah nilai. Terkadang sesuatu yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan, sesuatu yang diinginkan tidak akan menjadi kenyataan. Semuanya tergantung kepada pemberianNya.

Dalam lirik lagu permainan Ker Tanoker, juga tersirat aspek hubungan manusia dengan sesama manusia dengan indikator kasih sayang dan menghormati orang lain. Sebagaimana dalam lirik lagu Ker-Tanoker sebagai berikut:

Kertanoker, dimma bara’dimma temor/

Ker-soker, sapa nyapa kaadha’ lanjang omor/

Ker-tanoker jambuna massa’ saseba’/

Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’/

Ker-tanoker jambuna massa’ sapennay/

Ker-tanoker lagguna nyapa e songay/

Ker-tanoker jambuna massa’ sacorong/

Ker-tanoker lagguna nyapa e lorong/

Ker-tanoker jambuna massa’ pagar/

Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar/.

 

Ker-tanoker (kepompong) adalah makhluk hidup jelmaan ulat yang sedang menjalankan proses metamorfosis. Ulat yang semula berbentuk bulat panjang, lembek dan menjijikkan kemudian berubah bentuk menjadi kepompong. Pada masa pertapaan dan menjadi Tanoker anak-anak sering mengambilnya dan menjadikannya sebagai alat bermain. Sebelum Tanoker mengeras, ujung kepala sedikit lembek, dan apabila mendengar suara maka ujungnya akan bergerak-gerak, ke kanan, kiri, depan dan belakang.

Dan biasanya permainan ini dilakukan ketika anak-anak berselisih ataupun bertengkar dan kemudian tidak saling bertegur sapa (bahasa Madura soker). Anak-anak yang tidak bertegur sapa tersebut sebenarnya ingin menyapa, tetapi karena saling menjaga gengsi mereka bersikeras tidak menyapa. Tetapi ketika salah satu anak sudah tidak tahan untuk menyapa karena tidak punya teman bermain, maka anak tersebut mencari Ker-tanoker (kepompong).

Melihat anak yang satunya akan menyapa, yaitu dengan mencari Ker-tanoker, maka ia pun berlari untuk mencari Ker-tanoker pula. Masing-masing anak-anak itu sudah mempunyai seekor Tanoker, lalu kedua anak tersebut nangkring di kayu pagar masing-masing rumah. Kemudian kedua anak tersebut saling (sambit) melempar kalimat yang ada pada syair Ker-tanoker dan saling menjawab pula. Nah, kedua anak yang saling tidak bertegur sapa tersebut akhirnya saling menyapa dan saling memaafkan.

Kata Ker-tanoker merupakan diksi yang mendekati kata soker (tidak bertegur sapa), dengan demikian terjadi keserasian pengucapan baik di awal kalimat maupun akhir kalimat pada pantun yang diucapkan. Walaupun bahasa yang digunakan sangat sederhana, namun mengandung makna tersirat mendalam. Makna mendalam pada syair ini adalah tentang esensi persaudaraan, persahabatan, dan perdamaian.

Untuk meredam berbagai bentuk benturan, syair ini memberikan rambu-rambu bagaimana harus berbuat, yaitu sebuah sikap mengalah. Mengalah belum tentu kalah. Peribahasa mengatakan, ‘kalah jadi arang, menang jadi abu’.

 

Agus Salimullah, M.Pd adalah guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 2 Kota Batu dan  Kabiro Harian Bangsa Kota Batu serta anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Tulisan ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum, anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).