MK Mengabulkan Permohonan Sistem Pemilu Diubah Coblos Gambar Partai Bukan Caleg

8 Fraksi DPR Tolak Sistem Coblos Partai Delapan dari sembilan fraksi di DPR menolak sistem proporsional tertutup. Parpol-parpol tersebut adalah Golkar, Demokrat, PAN, PKB, PKS, NasDem, Gerindra, dan PPP

Mar 8, 2023 - 19:49
MK Mengabulkan Permohonan Sistem Pemilu Diubah Coblos Gambar Partai Bukan Caleg
Foto: Gedung MK (20detik)

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu sistem proporsional terbuka atau coblos gambar caleg hari ini. Agenda sidang itu yakni mendengarkan keterangan pihak terkait.
Sidang lanjutan dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 itu digelar Rabu (8/3/2023) pukul 10.00 WIB di Lantai 2, Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

BACA JUGA : P21 Rampung, Gakkum KLHK Serahkam Dua Pelaku Pencemaran...

Dalam jadwal tersebut tertulis agenda sidang yakni mendengarkan keterangan pihak terkait, yakni DPP PBB dan Derek Loupatty, dkk (IX). Dari DPP PBB, argumentasi disampaikan oleh sang ketua umum, Yusril Ihza Mahendra.


Diketahui, ada 6 pemohon yang tertulis dalam gugatan ini. Di antaranya:

1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)

Dalam gugatan ini, pemohon meminta MK mengabulkan permohonan agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup atau coblos gambar partai bukan caleg.

8 Fraksi DPR Tolak Sistem Coblos Partai
Delapan dari sembilan fraksi di DPR menolak sistem proporsional tertutup. Parpol-parpol tersebut adalah Golkar, Demokrat, PAN, PKB, PKS, NasDem, Gerindra, dan PPP. Mereka pernah melakukan pertemuan bersama dan memberikan pernyataan menolak sistem coblos gambar partai ini.dilansir dari detik.com

"Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita. Di lain pihak, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat dimana dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan Partai Politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam salah satu pertemuan tersebut.

BACA JUGA : PPATK Blokir Rekening Keluarga Rafael Alun Ayah Tersangka...

Setelahnya, perwakilan fraksi parpol-parpol tersebut menggelar konferensi pers di DPR. Dipimpin Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, mereka membacakan pernyataan sikap mereka menjelang sidang perkara sistem pemilu terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).

Berikut pernyataan yang dibacakan Doli mewakili 8 fraksi:

1. Bahwa kami akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju;

2. Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan keputusan MK nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 dengan mempertahankan pasal 168 ayat 2 undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia;

3. Mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai dengan amanat undang-undang tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Pemilu Coblos Partai Belenggu Hak Rakyat
Penolakan tak hanya disampaikan oleh sejumlah partai politik, tetapi juga aktivis. Salah satu yang menolak adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut ICW, sistem proporsional tertutup bisa membelenggu hak rakyat. Selain itu, sistem ini dianggap bisa menyediakan ruang gelap bagi politik uang.

"Polemik sistem pemilu proporsional tertutup: upaya belenggu hak rakyat dan ruang gelap politik uang," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan pers, Selasa (24/1/2023).

ICW membeberkan sejumlah alasan. Pertama, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif.

"Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik," kata Kurnia.(ris)