Mengulik ‘Udang Dibalik Rempeyek’ Kades Minta Perpanjang Jabatan Jadi 9 Tahun

Asrinaldi menjelaskan sudah hukum alam para elite lokal dan nasional membutuhkan dukungan kepala desa dan warganya jelang Pemilu. Di sisi lain, masyarakat desa sangat bergantung pada peran kepala desa dalam kesehariannya. Apalagi, kini kepala desa juga punya akses terhadap sumber keuangan desa yang berasal dari pemerintah. Modal ini kemudian bisa digerakkan untuk mendukung kandidat tertentu jelang Pemilu 2024 yang semakin dekat.

Jan 20, 2023 - 16:20
Mengulik ‘Udang Dibalik Rempeyek’ Kades Minta Perpanjang Jabatan Jadi 9 Tahun

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Selasa (17/1) lalu, matahari masih sepenggalah atau sekitar pukul 8.00 WIB. Ratusan orang berseragam cokelat dengan tanda pangkat terpasang di pundak mulai berdatangan di depan gerbang DPR RI, Senayan Jakarta.

Semakin siang, makin menyemut jumlahnya mencapai ribuan. Mereka adalah para kepala desa dari Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) yang menuntut perpanjangan masa jabatan yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun.

Mereka beralasan masa jabatan sembilan tahun dapat menurunkan tensi persaingan yang muncul imbas pemilihan kepala desa (Pilkades). Sementara enam tahun terlalu pendek. Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi menilai permintaan perpanjangan masa jabatan bernuansa politis.

Ia curiga dengan usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Sebab, jika dikabulkan akan rawan digunakan untuk memobilisasi dan mengamankan dukungan warga bagi elite lokal dan nasional jelang Pemilu 2024.

"Kalau saat mereka sedang menjabat tapi minta diperpanjang itu emang bisa untuk mobilisasi dukungan warga desa. Saya pikir DPR bisa menyetujui usulan itu pertimbangannya ya seperti itu," kata Asrinaldi, mengutip CNNIndonesia.com, Rabu (18/1).

Asrinaldi menjelaskan sudah hukum alam para elite lokal dan nasional membutuhkan dukungan kepala desa dan warganya jelang Pemilu. Di sisi lain, masyarakat desa sangat bergantung pada peran kepala desa dalam kesehariannya. Apalagi, kini kepala desa juga punya akses terhadap sumber keuangan desa yang berasal dari pemerintah.

Modal ini kemudian bisa digerakkan untuk mendukung kandidat tertentu jelang Pemilu 2024 yang semakin dekat.

"Jelas karena basis grass root ada di desa. Tahun 2023 pejabat politik ini memang harus hati-hati dengan rakyat. Dan mereka bersikap akomodatif karena mereka sadar nasib mereka di tangan masyarakat saat ini," kata Asrinaldi.

Ia mengaku tak sepenuhnya menolak usul perpanjangan masa jabatan kades. Ia berkata perpanjangan masa jabatan kades bisa saja dilakukan asal didasari kajian serius dan tak sekadar mencari alasan politis. Dia menekankan harus ada kesinambungan pembangunan pemerintahan daerah dan pemerintahan desa.

"Kalau alasan pembangunan, dokumen perencanaan pembangunan terintegrasi ini kan lima tahun, makanya diakomodir transisi enam tahun. Tapi sekarang sembilan tahun kan aneh jadinya," kata dia.

Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo mengatakan mobilisasi kepala desa demi kepentingan politik jadi problem klasik ketika desa diberi otonomi lewat UU Desa.

"Yang awalnya desa adalah entitas sosial kemasyarakatan kini menjadi entitas politik. Itu lebih dampak tak terduga karena ketika desa menjadi daerah otonom, rentan menjadi arena kontestasi kepentingan," kata Wasisto.

Wasisto pun tak setuju jika alasan perpanjangan masa jabatan kades untuk meredam konflik di desa akibat Pilkades. Dia bilang konflik yang kerap terjadi imbas Pilkades tidak terlalu tinggi.

"Tensi politik Pilkades sendiri tidaklah terlalu tinggi seperti halnya Pilbup, Pilwalkot, maupun Pilgub," kata Wasis.

Wasis berpandangan latar belakang sosial ekonomi masyarakat desa ditambah dengan corak paguyuban membuat efek Pilkades tidak terlalu tinggi.

"Biasanya potensi re-elektabilitas incumbent Kades itu juga masih tinggi jika selesai masa jabatannya. Tentu itu diukur pula dari performa kinerja Kades bersangkutan," kata dia.

Alarm Demokrasi

Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa merusak demokrasi.

"Kalau sebagian Kepala Desa dan Budiman Soedjatmiko masih ngotot terus perpanjang jabatan kades jadi 9 tahun dan disetujui oleh Presiden pula maka ini tanda-tanda mereka perusak demokrasi," ujar Ubedilah, Kamis (19/1).

Ubedilah membantah argumen 6 tahun tidak cukup untuk membangun desa. Lalu, dana untuk pilkades lebih baik untuk dana pembangunan sumber daya desa. Menurut dia, 6 tahun justru waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa dan mengatasi keterbelahan sosial akibat Pilkades.

Karenanya, masalah substansi yang terjadi bukan soal kurang waktu tetapi minimnya kemampuan kepemimpinan Kepala Desa untuk melaksanakan pembangunan desa. Serta, minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades.

"Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka Kepala Desa tidak akan mampu jalankan program programnya dengan baik termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan," terang Ubedilah.

Ia juga menjelaskan alasan dana Pilkades lebih baik untuk pembangunan merupakan argumen yang lemah. Hal itu karena dana Pilkades sudah disiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya.

Dana Pilkades, jelas dia, juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN. Contohnya seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN. Ubedilah mengaku telah menghitung total dana Pilkades seluruh Indonesia tidak sampai Rp50 triliun.

Terkait teori merusak demokrasi, ia menekankan jabatan publik yang dipilih rakyat itu harus digilir agar terhindar dari kecenderungan otoriter dan korupsi. Ia juga menyoroti 686 kepala desa menjadi tersangka korupsi meski jabatannya 6 tahun. Ia pun mengkhawatirkan jabatan 9 tahun bakal berpengaruh pada angka korupsi tersebut.

Tak hanya itu, menurut pasal 39 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan Kepala Desa dapat ikut Pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Apabila masa jabatan kades berubah menjadi 9 tahun, itu artinya seorang kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun.

Ia menilai itu adalah periode yang berpotensi besar menjalankan praktek korupsi.

"Kekuasaan yang terlalu lama itu cenderung absolut dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Jabatan 9 tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi absolut," terang dia.

Sebelumnya, ribuan kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengaku sudah mempersiapkan kajian akademik usulan masa jabatan kepala desa hingga sembilan tahun dalam satu periode dan dapat dipilih lagi di periode kedua.(han)