Mengkalkulasi Kemungkinan China Kalahkan AS Menjadi Negara Adidaya

Pengamat dari Program Strategi dan Geoekonomi Carnegie, Jake Sullivan, berpendapat, bahwa China telah melakukan berbagai upaya, termasuk pemaksaan dan manipulasi politik untuk melemahkan hubungan Amerika Serikat dengan mitra militer dan sekutunya.

Nov 26, 2022 - 17:01

NUSADAILY.COM - BEIJING – Pada tahun 2017 lalu, Presiden China, Xi Jinping, mengungkapkan niatnya untuk menjadikan Negeri Tirai Bambu sebagai "pusat panggung dunia."

Memang tak dapat dipungkiri, di bawah kepemimpinan Xi, China bergerak maju di berbagai sektor, mulai dari teknologi, ekonomi, hingga militer.

Pengamat dari Program Strategi dan Geoekonomi Carnegie, Jake Sullivan, berpendapat, bahwa China telah melakukan berbagai upaya, termasuk pemaksaan dan manipulasi politik untuk melemahkan hubungan Amerika Serikat dengan mitra militer dan sekutunya.

Beberapa pejabat China mempromosikan ide "Asia untuk warga Asia." Ide itu merujuk pada paham negara Asia harus menyelesaikan urusannya tanpa bantuan dari AS.

"Di bawah Xi, China bertekad menjadi pemain global yang semakin berpengaruh, bersedia menegakkan kepentingan nasionalnya dengan lebih tegas ketimbang sebelumnya," tulis Direktur Rajawali Foundation Institute for Asia, Anthony Saich, dikutip dari situs resmi Universitas Harvard.

Menurut Saich, China kini memiliki tiga motif dalam pendekatan global. Pertama, China berupaya menjadi pemain besar dalam urusan dunia.

Kedua, China melihat dirinya setara dengan Amerika Serikat dalam menentukan aturan global dan institusi. Terakhir, China mengembangkan kebijakan yang lebih koheren terhadap Asia.

Melihat sikap China yang semakin ingin berkuasa atas dunia, apa yang terjadi jika Beijing berhasil mencapai itu?

The Atlantic mengatakan masih belum jelas tatanan dunia di bawah pemerintahan Xi Jinping. Namun, ada kemungkinan nilai demokrasi bakal menurun.

"Tidak seperti tatanan saat ini, di mana demokrasi liberal diangkat sebagai bentuk pemerintah satu-satunya yang sah, versi Xi bakal mengangkat otoritarianisme ke status yang setara, atau bahkan lebih tinggi," demikian pernyataan dari The Atlantic.

Matt Pottinger, kepala program China di Foundation for Defense of Democracies mengatakan, "Itu [perubahan tatanan dunia yang dilakukan China] sebenarnya untuk mengubah supremasi hukum, [mengubah] sistem kesetaraan di antara negara dengan kepekaan hierarkis yang mengutamakan otoritarianisme."

Dua Negara Adidaya
Mirip dengan pendapat sebelumnya, pengamat di Pusat Strategis dan Studi Internasional (CSIS) Indonesia, Waffaa Kharisma, berpendapat China mungkin bakal jadi negara adidaya, tetapi tidak sendiri.

"Masih agak jauh kemungkinan Tiongkok menjadi negara adidaya sendirian [hegemon unipolar]. Yang lebih memungkinan dia hegemon berdua atau bipolar, dan adidayanya akan di beberapa sektor tertentu," kata Waffaa ketika diwawancara CNNIndonesia.com, Rabu (12/10).

Ia kemudian mengatakan, "Amerika Serikat mungkin di militer. Tiongkok di perdagangan, komoditas, dan lain-lain. Tiongkok misalnya nanti menyusul AS di teknologi IT dan elektronik, AS tapi masih kuat di sektor inovasi software."

Pertanyaan yang muncul kemudian apakah China Mampu Kalahkan AS Jadi Negara Adidaya? Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Suzie Sudarman menilai China masih belum dapat menjadi negara hegemoni.

Salah satu alasannya karena China masih belum memiliki ruang gerak untuk mendisiplinkan dunia.

"China tidak memiliki ruang gerak untuk mendisiplinkan dunia, seperti AS membangun institusi internasional setelah Perang Dunia II," kata Suzie, Rabu (12/10).

"AS mendisiplinkan [dunia] dengan menegakkan hukum internasional yang sesuai dengan [apa] yang dikehendakinya," tuturnya lagi.

Selain itu, Suzie berpendapat China masih belum memiliki kesempatan yang sama agar negara lain patuh pada sistemnya, yakni yang lebih otoriter.

"China masih menjadi sesuatu yang ditakuti bagi negara-negara yang ingin bekerja sama, karena militerismenya lebih menjelma sebagai kekuatan mendominasi daripada memberikan ruang bermanuver secara bebas," ujar Suzie.(han)