Mengintip “Kandungan” Peribahasa Indonesia
Peribahasa Indonesia sangat kaya makna kehidupan. Nilai-nilai tradisi dan kultur tercakup di dalamnya. Upaya membongkar makna dan mengimplementasikan dalam kehidupan merupakan persoalan yang harus dicarikan jalan keluar. Ribuan peribahasa yang merupakan kristalisasi pemikiran, perenungan, filosofi, dan pandangan hidup telah tersebar, tetapi belum mendapat porsi yang layak dalam penggunaannya.
Peribahasa Indonesia sangat kaya makna kehidupan. Nilai-nilai tradisi dan kultur tercakup di dalamnya. Upaya membongkar makna dan mengimplementasikan dalam kehidupan merupakan persoalan yang harus dicarikan jalan keluar. Ribuan peribahasa yang merupakan kristalisasi pemikiran, perenungan, filosofi, dan pandangan hidup telah tersebar, tetapi belum mendapat porsi yang layak dalam penggunaannya.
Sebagai bagian dari sastra lama, peribahasa perlu dilestarikan, ditumbuhkembangkan dan dimasyarakatkan, sehingga nilai-nilai di dalamnya dapat diserap, dipahami, dihayati, diinternalisasi, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sikap sabar, berlaku jujur, sifat hemat, kerja sama yang baik, amanah, menolong sesama, memberi kepada yang membutuhkan, berlaku adil, rukun, dan sebagainya serta sindiran-sindiran kepada sikap-sikap yang tidak terpuji. Kalau ini benar-benar ditanamkan kepada generasi bangsa, maka akan terlahir generasi yang bermental terpuji dan berbudi luhur.
Dalam kenyataannya pemakaian peribahasa mulai langka, bahkan nyaris ditinggalkan. Ini akan mengancam eksistensi peribahasa yang demikian kaya makna. Kalau tidak “digalakkan” lagi pemkaiannya, maka akan terancam punah.
Kemajuaan zaman cenderung membawa dampak negatif, selain membawa dampak positif. Dampak negatif itu menggejala dalam kehidupan manusia, termasuk bangsa Indonesia. Dampak negatif itu misalnya adanya gejala lunturnya kecintaan pada nilai moral dan nilai luhur bangsa sendiri.
Banyaknya penyimpangan moral yang dilakukan manusia seperti pemerkosaan, korupsi, pembunuhan sadis adalah bentuk degradasi moral, yang cenderung ke dehumunisasi. Oleh sebab itu dunia pendidikan memerlukan materi pendidikan nilai yang membentuk anak didik cinta pada budaya dan bangsa sendiri, walaupun tidak cauvinistis.
Yang di khawatirkan adalah jika sastra lama kita terlalu menjauh dan tak diminati masyarakat sastra kita sendiri. Hal ini bisa membuat sastra kita asing dan tercerabut dari masyarakat. Jika kondisi ini semakin parah bisa berakibat fatal. Misalnya peribahasa akan mati.
Peribahasa Indonesia sebagai salah satu bentuk sastra klasik , mengadung nilai kehidupan yang ideal (Danadjaja, 1984), Di dalamnya berisi nilai kepribadian yang luhur (Koentjaraningrat, 1990). Hal demikian bisa dipahami karna sastra berkaitan dan memuat nilai-nilai masyarakat tempat sastra itu lahir (Brumfit, 1983 ), terutama sastra yang masih primitif. Karena kandungan nilai kehidupan yang luhur itu, maka peribahasa mempuyai kemungkinan untuk materi pendidikan dan patut dikaji.
Penelitian folklore Indonesia, termasuk peribahasa, sangat berguna bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dewasa ini masih berat bineka-nya daripada tunggal ika-nya (Danadjaja,1984:19).
Dalam peribahasa, manusia mengakui adanya Tuhan yang Mahaesa, baik secara implisit maupun eksplisit. Pengakuan keesaan Tuhan tersebut diakui oleh pengakuan bahwa Tuhan Mahakuasa yang diyatakan lewat pengakuan adanya nasib dan takdir dalam hidup manusia. Pengakuan adanya nasib tersebut terdiri dari pengakuan adanya nasib baik manusia, pergantian nasib manusia, nasib malang manusia , dan celaka yang tidak terduga.
Manusia mengakui adanya nasib dan takdir baginya tetapi manusia harus berusaha keras meraih nasib baik. Setelah berusaha keras selanjutnya manusia tinggal pasrah dan meyerah kepada takdir. Selanjutnya tidak ada jalan lain kecuali berbakti kepada Tuhan.
Sikap manusia yang percanya adanya takdir tetapi masih mau berusaha keras untuk meraih nasib baik dan selanjutnya pasrah, berserah diri kepada Tuhan. Ini disebut faham hidup moderat yakni suatu faham yang meyakini bahwa manusia hidupnya ditentukan oleh Tuhan lewat takdir tetapi manusia wajib berusaha keras dalam mengusahakan nasib baiknya (Azra, 1987).
Pengakuan bahwa Tuhan Mahaesa merupakan dasar nilai religious yang fundamental. Lewat pengakuan adanya Tuhan, manusia dapat dilihat, apakah manusia ber-Tuhan ataukah tidak (atheis). Pengakuan manusia tentang adanya Tuhan dalam peribahasa Indonesia terlihat seperti //Yang esa hanyalah Tuhan// //Tuhan bersifat kadim, manusia bersifat gawa//, //Adat barsendi syarak, syarak bersendi kitabulloh.//
Dari peribahasa tersebut dapat dipahami bahwa secara eksplisit Tuhan diakui “ada” dan bersifat Mahaesa (monothisme) seperti dalam peribahasa , yang esa hanyalah Tuhan. Keberadaan Tuhan juga di akui dengan menujukan sifat Tuhan bahwa Tuhan bersifat kadim (Tuhan Maha kuasa) seperti dalam peribahasa , “ Tuhan bersifat kadim , manusia bersifat gawa .’ Secara implisit pun Tuhan diakui ada.
Nasib adalah keimanan bahwa makhluk (manusia) pada kejadian awalnya berupa nyawa rahim (nyawa substansi tanpa peran), kemudian diberi ketentuan (garis hidup) untuk dijalankan di alam peran (alam mitsal). Dalam pengertian yang sederhana, nasib adalah kondisi hidup yang harus dilalui manusia.
Nasib tidak pernah diketahui manusia sebelum terjadi. Pengakuan manusia tentang adanya nasib dalam dapat contohkan seperti //Untung sabut timbul , untung batu tengelam// ( Jika bernasib baik akan selamat, jika bernasib buruk akan celaka).//Apabila orang miskin menghendaki uang dia mendapat anak, apabila orang kaya menghendaki anak iya mandapat uang// (Manusia lemah , Tuhanlah yang berkuasa)
Seperti terlihat dalam peribahasa tersebut, bahwa manusia mengakui adanya nasib. Selanjutnya, bagaimanakah sikap manusia terhadap nasib? Sikap manusia dalam menghadapi nasibnya dapat dilihat pada peribahasa ini://Usaha menjalankan untung menyudahi.// (Berusahalah sungguh-sungguh , berhasil atau tidak bergantung kehendak Tuhan).// Adat periuk bergerak,adat lesung berdedak.// (Jika menghendaki suatu keuntungan haruslah berusaha).//Asal ditugal adalah benih// (Sesuatu usaha tentu ada hasilnya).
Dari contoh tersebut dapat dipahami bahwa manusia sebaiknya dalam meyikapi nasib tidak bersikap fasik. Manusia percanya akan nasib, tetapi manusia wajib berusaha dan hasilnya bergantung kehendak Tuhan, seperti dalam ungkapan //Usaha menjalani, untung meyudahi //
Demikian juga tentang datangnya kematian, bahwa ajal manusia telah ditetapkan Tuhan. Pada saat masih bayi manusia bisa mati, anak-anak, remaja, dewasa, juga bisa mati. Demikian juga, orang yang sudah tua pasti akan mati, seperti dalam ungkapan, //Bunga gugur putik pun gugur, tua gugur masak pun gugur//. Jika ajal belum tiba bagaimana pun manusia tidak akan mati, tetapi jika ajal datang tidak akan bisa ditangguhkan lagi,//Sebelum ajal berpantang mati//. Jika manusia percaya bahwa semua kehidupannya telah ditakdirkan, kemudian bagaimanakah sikap manusia dalam menghadapi takdir?
Setelah berusaha manusia hanya tinggal pasrah menunggu ketentuan Tuhan. Harapan-harapan yang ada sepenuhnya tergantung kepada Tuhan lewat takdirnya sehingga manusia menyerah kepada takdir, //Bagai wau putus teraju//. Berhasil atau gagal, manusia tinggal mengikuti takdir, seperti dalam ungkapan, “Layang-layang putus talinya”.
Dalam kondisi kepasrahan seperti ini tidak ada jalan lagi bagi manusia kecuali hanya berbakti kepada Tuhan karena hidup manusia sebenarnya hanyalah untuk berbakti. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan waktu.
Dalam kehidupan sosialnya manusia menjunjung tinggi norma-norma yang merupakan kaidah hubungan antarmanusia. Kaidah itu melandasi tindakan hidup sosial manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sesama manusia. Nilai-nilai yang melandasi kehidupan bersama dan kerja sama tersebut dalam peribahasa terdiri dari: kebaktian antarmanusia, kebersatuan hidup, adil terhadap orang lain.
Dalam peribahasa Indonesia, kebaktian antarmanusia ini ditekankan bahwa manusia harus: (a) hormat kepada yang lebih tua, (b) hormat kepada orang sebaya, (c) hormat kepada keluarga pada umumnya, dan (d) hormat kepada yang lebih muda. Dalam hormat kepada keluarga pada umumnya, ditekankan bahwa manusia harus hormat kepada kerabat keluarga/ sanak-saudara, hormat antara suami-istri, dan hormat antara orang tua dengan anak.
Dalam kebersatuan hidup manusia harus memegang dan memahami bahwa manusia harus: (a) merasa senasib (kebersamaan hidup), (b) bermusyawarah dalam memecahkan masalah hidup, dan (c) tertib dalam hidup.
Tertib di dalam hidup. Tata tertib merupakan satu syarat terciptanya ketenangan dan kedamaian dalam membina kebersatuan hidup. Tertib berarti menurut aturan atau ketentuan yang telah digariskan bersama (Riyadi, 1990). Taat tata tertib berarti taat dan tunduk terhadap aturan atau ketentuan yang telah disepakati bersama, baik berupa adat maupun hasil musyawarah.
Manusia yang baik akan berbuat adil. Sebuah tindakan-tindakan yang harus dilakukan walaupun pahit dan harus dikenakan pada diri sendiri. Dalam menjalankan perintah, manusia harus berlaku adil, seperti dijelaskan dalam peribahasa, //Ikut hukum memiat daging, sakit di awak sakitlah di orang//. (Jika manusia berani berbuat adil maka hukum akan tegak). //Teraju yang tiada palingan//, artinya hukum yang adil.
Seperti yang dinyatakan dalam peribahasa, “Undang-undang berbatu intan”. Artinya, suatu hukum yang adil dan baik sehingga dihargai orang. Tindakan yang adil adalah tindakan yang tepat pada proporsinya, tidak berat sebelah, tidak merugikan pihak tertentu dan berusaha menjaga keharmonisan integritas masyarakat.
Itulah beberapa nilai kehidupan yang sempat saya “intip” dari peribahasa Indonesia. Masih banyak nilai kehidupan yang sangat berharga, tetapi mengintip hanyalah upaya melihat bagian kecil dari sudut ruang peribahasa Indonesia. Sangat disayangkan kalau peribahasa Indonesia tidak lagi dijadikan materi pembelajaran bahsa dan sastra Indonesia di sekolah. Kalau gurunya sudah merasa asing dengan peribahasa, apalagi muridnya…..sangat terasing.
Dr. Aries Purwanto, M.Pd. adalah dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Al- Khoziny Sidoarjo, dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).