Mengingat Marhaen dan Seruan Bung Karno di Kasus Rempang
"Mereka yang digusur dari lahan yang mereka tinggal di Rempang itu adalah kaum Marhaen. Siapa Marhaen itu? Kata Soekarno, Marhaen adalah mereka yang punya tanah, namun bukan miliknya," kata Benny melalui unggahan di akun sosial media X, dikutip Senin (18/9).
NUSADAILY.COM – JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman menyinggung soal marhaenisme yang merupakan pemikiran Presiden ke-1 RI Sukarno dalam konflik lahan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Benny menilai warga Rempang saat ini merupakan mereka yang laik disebut kaum marhaen.
Benny mengatakan warga Rempang mengalami penindasan. Mereka memiliki tanah tapi sempit, atau memiliki lahan tak bersertifikat, sehingga harus siap digusur setiap saat.
"Mereka yang digusur dari lahan yang mereka tinggal di Rempang itu adalah kaum Marhaen. Siapa Marhaen itu? Kata Soekarno, Marhaen adalah mereka yang punya tanah, namun bukan miliknya," kata Benny melalui unggahan di akun sosial media X, dikutip Senin (18/9).
Menurut Benny, mereka adalah orang-orang yang selalu dirundung malang dann menderita sepanjang masa. Ia pun berharap warga bersatu untuk berjuang.
"Satu-satunya jalan untuk perbaiki nasib mereka adalah kalau mereka bersatu. Itu kata Soekarno. Ingat teori sapu lidi, hanya kalau bersatu mereka menjadi kuat dan sulit dipatahkan," ujar dia.
Ribuan warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau terancam harus meninggalkan tempat tinggalnya karena akan ada pembangunan kawasan Rempang Eco-city. Pembangunan itu masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) tahun ini.
Proyek yang bakal dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16 ribu hektare.
Lonjakan Perampasan Wilayah Adat Era Jokowi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyoroti polemik relokasi sepihak warga Rempang, Batam, Kepulauan Seribu untuk PSN Eco City.
Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum Erasmus Cahyadi menilai keselamatan dan identitas masyarakat adat dari Suku Bangsa Melayu yang hidup secara turun temurun di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang Batam sedang terancam serius.
"Hal ini disebabkan karena negara lebih pro pada investasi asing yang berlindung di balik nama Proyek Strategis Nasional dan dibekingi oleh kebijakan serta aparat negara yang menindas," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/9).
Menurut Erasmus, pemerintah melalui BP Batam secara arogan memobilisasi aparat bersenjata dan secara paksa mengusir Masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam dari tanah dan akar budaya yang telah mereka warisi dari leluhur mereka selama ratusan tahun atau setidak-tidaknya sejak awal abad 18.
Erasmus berpendapat peristiwa itu menambah daftar kelam kekejaman negara terhadap Masyarakat Adat, terutama selama hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo berkuasa.
Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, kata Erasmus, kasus-kasus perampasan wilayah adat meningkat seiring pelaksanaan PSN dan proyek-proyek investasi lainnya.
"Atas nama investasi, Pemerintah tidak ragu merampas, menggusur, dan melakukan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang telah hidup ratusan tahun di atas wilayah adatnya," ujarnya.
Komnas HAM melaporkan sepanjang 8 bulan terakhir tahun 2023, telah terjadi 692 konflik agraria.
Sementara itu, kata Erasmus, AMAN juga mencatat bahwa telah terjadi 301 kasus terkait perampasan wilayah adat selama 2019-2023.
"Berbagai kasus yang terjadi memperlihatkan bahwa Pemerintah telah bersikap main kuasa, arogan, dan tidak tahu malu karena melanggar prinsip-prinsip dasar negara serta tidak memenuhi tujuan Indonesia merdeka," tuturnya.
Erasmus menilai pemerintah saat ini lupa bahwa negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan seterusnya sebagaimana yang telah dicita-citakan.
"Artinya, keseluruhan tindakan pemerintahan seharusnya mengacu pada tujuan bernegara tersebut.Itulah pula yang menjadi alasan mengapa negara merdeka seharusnya berbeda dengan penjajah," tuturnya.
Erasmus menyampaikan pihaknya mengecam, menolak, dan mendesak pemerintah maupun investor untuk menghentikan tindakan perampasan wilayah adat dan segala tindak kekerasan kepada warga dan masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam.
"Juga mendesak pemerintah khususnya BP Batam mencegah eskalasai konflik yang akan berdampak pada peningkatan korban lebih lanjut dengan tidak mengejar target relokasi 28 September 2023," ujar Erasmus.
Presiden Jokowi buka suara terkait penolakan relokasi warga dalam proyek strategis nasional (PSN) di Pulau Rempang.
Menurutnya penolakan hingga terjadi bentrok antara warga dengan aparat terjadi karena komunikasi yang kurang baik.
Ia mengatakan warga terdampak telah diberikan ganti rugi berupa lahan dan rumah. Namun terkait lokasi masih kurang dikomunikasikan dengan baik.
"Ini hanya salah komunikasi saja, di bawah salah mengomunikasikan saja. Diberi ganti rugi, diberi lahan, diberi rumah tapi mungkin lokasinya belum tepat, itu yang harusnya diselesaikan," kata Jokowi dalam acara Sewindu Proyek Strategis Nasional di Jakarta, Rabu (13/9).
Ribuan warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau terancam harus meninggalkan tempat tinggalnya karena akan ada pembangunan PSN Eco-city.
Proyek yang bakal dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luasan PulauRempang16 hektare untuk proyek tersebut.
Ribuan warga itu tak terima harus angkat kaki dari tanah yang sudah ditinggalinya jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Mereka gigih mempertahankan tempat tinggalnya, meski aparat TNI-Polri dikerahkan agar warga Rempang setuju direlokasi.
Bentrok tak terelakkan. Pada tanggal 7 dan 11 September 2023, bentrokan sempat pecah. Polisi menyemprotkan gas air mata hingga anak-anak dilarikan ke rumah sakit.
Hingga saat ini, 43 orang yang menolak relokasi ditangkap dengan dituduh provokator.(sir)