Mengenal Hak Paten Mengenai Vaksinasi Covid-19

Paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan oleh negara kepada seorang inventor atas invensinya. Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten dan beberapa aturannya diubah dengan UU Nomor 11 tahun 2020.

Dec 17, 2022 - 08:00
Mengenal Hak Paten Mengenai Vaksinasi Covid-19
Ilustrasi/Unsplash

NUSADAILY.COM - JAKARTA - Paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan oleh negara kepada seorang inventor atas invensinya.

Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten dan beberapa aturannya diubah dengan UU Nomor 11 tahun 2020.

Paten diberikan dari negara kepada seorang inventor. Inventor menurut UU adalah seseorang yang melakukan sendiri invensi atau seorang yang melaksanakan sendiri.

Salah satu syarat paten dalam UU, yaitu harus memberikan manfaat kepada masyarakat dan disebarluaskannya persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya dilakukan melalui lisensi.

Menurut situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, lisensi merupakan izin yang diberikan dari pemegang paten, izin tersebut dapat bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis dalam rangka menggunakan Paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Inventor akan mendaftarkan hak atas patennya atas temuannya (invention) kepada instansi yang berwenang. Jika di wilayah Indonesia, maka hak paten tersebut akan didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Implikasi dari pendaftaran paten adalah memberikan hak eksklusif kepada pemegang hak paten tersebut (Inventor). Hak eksklusif merupakan hak milik yang bernilai ekonomis (hak ekonomi) sebagai imbalan atas pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu invensi.

Hak eksklusif yang memberikan sifat monopoli bagi pemegang paten atas invensi yang telah didaftarkan patennya.

Sifat tersebut misalnya mengecualikan orang lain selain penemu dari melakukan atau menggunakan invensi tersebut tanpa adanya izin dari pemegang paten dan pembayaran royalty kepada pemegang hak paten.

Di satu sisi adanya paten memberikan reward bagi penemu untuk senantiasa melakukan inovasi baru dalam upaya memudahkan hidup khalayak umum.

Namun, di sisi lain, paten memberikan dampak negatif kepada masyarakat karena dapat menghambat akses masyarakat terhadap pelayanan Kesehatan dan obat-obatan yang telah didaftarkan patennya.

Aspek hukum kekayaan intelektual tidak hanya sekedar perlindungan karya atau ciptaan, tetapi juga menyangkut eksklusivitas dan hak ekonomi.

Hal tersebut menimbulkan dilema di tengah pencarian obat dan vaksin untuk meredakan virus corona 2020.

Beberapa Lembaga dan perusahaan farmasi dilaporkan menuai pro dan kontra terkait pendaftaran paten obat COVID-19 karena dinilai mementingkan hak ekonomi ketimbang penyembuhan masyarakat di tengah pandemi.

Sebagian orang percaya vaksin COVID-19 harus tersedia bagi seluruh orang sehingga hak eksklusivitas yang menjadi konsekuensi paten belum dibutuhkan.

Obat tersebut harus dapat dijangkau oleh siapa saja yang membutuhkan.

Tanpa mendiskreditkan usaha perusahaan atau Lembaga farmasi, perlindungan paten juga diperlukan karena banyak pengembangan dan uji coba terhadap obat atau vaksin telah menghabiskan banyak investasi dan waktu oleh para peneliti.

Lantas, bagaimana jika hak eksklusif tersebut diterapkan atas penemuan vaksin COVID-19? Di masa pandemi COVID-19, ketersediaan vaksin COVID-19 banyak dibutuhkan oleh masyarakat.

Namun, jika hak eksklusif yang sifatnya monopoli diterapkan dalam vaksin COVID-19 maka hak paten tidak memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan di dalamnya.

Lantas, apa yang menjadi solusi atas hal tersebut? Dalam rangka mencari jalan tengah atas masalah di atas, ditemukan mekanisme government use atau paten oleh pemerintah.

Government use merupakan pelaksanaan paten oleh pemerintah ketika pemerintah menggunakan atau mengizinkan pihak lain untuk menggunakan hak atas paten produk atau paten proses guna kepentingan pemerintah tanpa perlu mendapatkan izin dari pemegang paten.

Penjelasan lebih lanjut mengenai government use diatur dalam TRIPS Agreement (The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Menurut Pasal 31 Perjanjian TRIPS yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dimungkinkan bagi suatu negara mengajukan lisensi wajib atau government use, khususnya dalam situasi darurat terkait dengan Kesehatan.

Jika terdapat situasi darurat maka dimungkinkan pelaksanaan paten tanpa izin dari pemilik paten. Pasal 31 TRIPS menjelaskannya secara lebih lanjut demikian “Where the law of a member allows for other use of the subject matter of a patent without the authorization of the right holder, including use by the government or third parties authorized by the government, the following provisions shall be respected” .

Dalam UU Paten menyatakan bahwa pemerintah dapat melaksanakan paten tanpa izin dari pemilik paten dalam situasi mendesak di antaranya untuk memproduksi produk farmasi dan atau bioteknologi yang harganya mahal dan atau dipergunakan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah banyak, menimbulkan kecacatan yang signifikan, dan merupakan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMD).

Dengan demikian, penemu obat tetap akan mendapat hak ekonomi dan ciptaannya terlindungi.

Dalam kondisi darurat atau pandemi, pemerintah harus segera mengatur mekanisme lisensi wajib dan atau pelaksanaan paten oleh pemerintah (government use) dengan alasan situasi darurat.

Di Indonesia mengacu pada UU No.13/ 2016 tentang Paten, lisensi wajib, dan pelaksanaan paten oleh pemerintah.

Jika melihat kondisi pandemi, syarat terlaksananya lisensi wajib adalah adanya kedaruratan Kesehatan masyarakat yang meresahkan.

Dengan ditetapkannya covid sebagai pandemi oleh WHO dan di lingkup nasional penetapan Keppres No.12/2020 ttg Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 sebagai bencana nasional, telah menjadi dasar yang cukup bagi pemerintah untuk dapat melaksanakan paten tanpa persetujuan dari pemegang paten.

Melihat situasi kali ini yang harus diperkuat oleh pemerintah adalah kerja sama dengan internasional agar vaksin COVID-19 dapat diproduksi secara massif di masing-masing negara.

Sebelum adanya vaksin COVID-19, pemerintah juga sebenarnya pernah mengajukan government use. Pada 2004 melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004, pemerintah mengajukan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat-Obat Antiretroviral.

Antri-Retroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS. Pada saat itu Indonesia mengajukan government use dengan landasan kekurangan persediaan (inadequate supply).

Imbalan yang diberikan pemerintah atas obat yang diajukan mekanisme government use tersebut adalah dengan memberikan hasil sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai jual netto obat-obat Antiretroviral

Mekanisme government use menunjukan bahwa produksi secara massal vaksin COVID-19 tidak perlu menunggu lisensi dari pemegang paten, namun dengan catatan adanya keadaan yang darurat.

Government use ini juga telah diatur di Perpres No.77 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah. Mekanisme government use dapat menciptakan jalan tengah bagi permasalahan paten bagi obat-obat atau akses Kesehatan yang dibutuhkan secara darurat.

Maka dari itu, penemu obat tetap akan mendapat hak ekonomi dan ciptaannya terlindungi dan di satu sisi kepentingan kemanusiaan dapat dilakukan bersamaan.

(roi)