Mengapa Aristotle Sebaiknya Masih Hidup dan Mengajar Kita Teladan Ini?

Oleh: Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono

Nov 13, 2024 - 19:09
Mengapa Aristotle Sebaiknya Masih Hidup dan Mengajar Kita Teladan Ini?

Gagasan-gagasan Aristotle menawarkan cara pandang untuk era milenial yang merupakan gabungan dari nilai-nilai sekuler, moral kebajikan, dan ilmu pengetahuan empiris. Mari kita simak beberapa di antaranya. Semoga bermanfaat.

 

Eudaimonia

 

Eudaimonia tak lain tak bukan adalah kebahagiaaan. Namun menurut Aristotle, kebahagiaan sejati dicapai bukan karena keberlimpahan harta, pengakuan status sosial, atau penghargaan oleh orang lain. Kebahagiaan terletak pada kemampuan untuk mewujudkan potensi kita sebagai manusia seutuhnya.

 

Pertanyaan untuk kita renungkan: bayangkan Anda mendapat warisan harta melimpah luar biasa dari orang tua. Anda tinggal hidup enak, tidak usah bekerja sama sekali, dan menikmati semua kemewahan sampai mati. Tapi hidup Anda ya hanya begitu-begitu saja. Bangun, makan, jalan-jalan ke mana-mana, beli barang-barang mahal, lalu bersantai sambil kipas-kipas dengan uang dolar. Begitu terus sampai Anda tua lalu mati.

 

Bayangkan situasi sebaliknya: Anda harus berjuang mencari penghidupan dan akhirnya ya hanya bisa hidup sederhana. Tapi Anda bebas untuk mewujudkan semua potensi Anda, dan Anda menyumbang banyak pada kemanusiaan melalui potensi itu. Di posisi mana Anda merasa lebih bahagia?

 

Hedonisme bukan sekadar enak

 

Aristippus, salah satu murid Socrates, menggagas konsep hedonisme. Menurutnya, hedonisme itu teruwjud melalui pemuasan nafsu jasmani dan semua indera kita. Bahkan seorang filsuf lain bernama Bentham memunculkan “kalkulator hedonisme”, yaitu dengan cara menghitung seberapa nikmat kepuasan itu, seberapa lama ia berlangsung, apakah ia merupakan akibat dari suatu upaya, apakah tidak ada konsekuensinya, dan berapa yang akan menikmatinya. Yang seperti ini disebut hedonisme kuantitatif.

 

Salah satu murid Bentham bernama John Stuart Mill mengatakan bahwa hedonisme seperti itu membuat manusia tak ubahnya seperti babi. Babi hanya bisa merasakan kenikmatan badaniah saja lewat makan dan seks. Hedonisme seperti ni disebutnya hedonisme tingkat rendah. Lalu seperti apakah hedonisme tingkat tinggi? Ia muncul dari kemampuan kita untuk menikmati karya seni, terlibat dalam percakapan intelektual, atau dari perilaku yang baik dan santun. Ini disebut juga sebagai hedonisme kualitatif.

 

Kebajikan

 

Para pemikir jaman sekarang membagi kebajikan menjadi dua, yaitu: pertama, berupa keberanian, kejujuran, dan integritas. Kebajikan yang ini menguntungkan diri kita sendiri dan orang lain. Kedua adalah kebaikan hati dan belas kasih. Yang ini lebih banyak menguntungkan orang lain tapi tak jarang membuat kita agak “menderita” karena harus berkorban sesuatu.

 

Namun, di mata Aristotle semua kebajikan selalu mengandung unsur intrinsik. Dia yakin bahwa kalau kita mencintai diri kita sendiri, maka akan terbuka jalan untuk mencintai dan mengasihi orang lain. Ini gagasan yang selaras dengan Socrates, para pemikir Stoicism, dan filsuf-filsuf Victorian seperti Thomas Hill Green. Dia tahu bahwa tidak ada kebahagiaan sejati di balik seorang penguasa yang kejam dan rakus, yang tidak memberi ruang di dalam batinnya untuk kebajikan, pengekangan nafsu, dan nilai-nilai luhur lainnya. Sekalipun hidupnya bergelimang harta dan kekuasaan yang notabene dia peroleh dengan cara menghancurkan nasib orang lain, dia pasti merasa hampa di dalam sana.

 

Aristotle pun mengakui fakta bahwa tidak semua orang dilahirkan dengan keberuntungan. Jika Anda miskin, bertampang tidak menarik, tidak pintar di sekolah, atau tidak punya anak, tidak punya posisi penting, atau bahkan punya cacad fisik, memang menjadi tantangan tersendiri untuk menjadi bahagia. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin.

 

Sekali lagi Aristotle mengingatkan bahwa kebahagiaan adalah hal menata mental dan moral, dan itu tidak selalu berbanding lurus dengan keelokan jasmani, status sosial yang gemerlap, dan keberlimpahan materi . Melalui kerasnya hidup, kesulitan, dan nasib kurang baik tadi, kebajikan bisa tetap bersinar dari dalam diri. Orang yang menyadari hal ini tetap akan sabar dan tawakal sekalipun cobaan hidup menghajarnya berkali-kali.

 

Marah

 

Aristotle berpendapat bahwa kemarahan tidak senantiasa jelek. Berbeda dengan filsuf Stoic yang memandang kemarahan sebagai satu bentuk kegilaan yang harus dikendalikan atau dihilangkan. Aristotle menganggap bahwa kemarahan itu perlu diungkapkan. Namun, kita harus bisa marah pada saat yang tepat, untuk alasan yang tepat, dan kepada orang yang tepat, dalam jumlah yang tidak berlebihan.

 

Orang yang tidak pernah marah malah akan dipandang pantas digilas dan dianiaya, dan dengan demikian juga tidak akan bahagia. Begitu juga dengan nafsu seks. Selama nafsu seks itu hadir secukupnya, tidak berlebihan atau terlalu sedikit, maka baik-baik saja.

 

Cintailah diri sendiri

 

Aristotle menyatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak dilahirkan dengan bibit jelek atau bibit baik. Setiap orang, berapapun usianya, tidak pernah terlambat untuk memperbaiki bangunan moralnya menjadi lebih baik. Yang lebih penting, kita harus mencintai diri kita sendiri tanpa maksud untuk menjadi narsis atau sebaliknya, membenci diri sendiri. Hanya dengan mencintai diri sendiri, kita membuka jalan untuk mencintai orang lain. Jauh sebelum Sigmund Freud, Aristotle sudah meyakini bahwa insting biologis kita adalah sesuatu yang alamiah, dan bukan sesuatu yang bejat secara moral.

 

Etika tentang tindakan

 

Di mata Aristotle, etika adalah sesuatu yang fleksibel. Setiap tindakan harus dilihat menyatu dengan maksud dan situasinya. Seorang pencuri, misalnya, mencuri sepeda motor karena dia memerlukan uang untuk anaknya yang sedang sakit, sementara dia tidak punya uang. Prinsip mempertimbangkan latar belakang dan alasan pelaku ini seharusnya juga tertanam di dalam lembaga hukum. Filsafat yang mempertimbangkan hal seperti ini disebut “moral particularist”. Mereka yakin bahwa dalam persoalan etika, detil dan hal-hal yang dianggap kecil justru punya bobot tersendiri yang patut dipertimbangkan.

 

Demikianlah inti sari ajaran dari filsuf Aristotle ini. Menurut beberapa pakar filsafat pendidikan, tentu ada baik dan buruknya. Buruknya, terutama dari sudut pandang kaum beragama, adalah bahwa semua hal tersebut menghindari sistem metafisika (baca: keilahian) yang tidak bisa dicerna oleh indera manusia. Tapi kalau kita berpikiran positif, ya mari kita ambil manfaat baiknya  saja.  Pasti berguna untuk penduduk jaman milenial yang karena kecanggihan teknologinya justru berasa gamang dan memerlukan panduan moral seperti ini. (****)

 

 

Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono adalah guru besar pendidikan bahasa di Universitas Ma Chung dan Ketua Dewan Pakar di Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Artikel ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).