Menelisik Pengusul Pemilu Kembali Coblos Partai Seperti Era Orba
"Demi kepentingan bangsa dan negara, sistem ini dapat diubah menjadi proporsional tertutup. Ini lebih penting sebagai insentif bagi kaderisasi Partai," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Minggu (27/2).
NUSADAILY.COM – JAKARTA - Wacana Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai mengemuka seiring gugatan uji materi UU Pemilu yang saat ini berproses di Mahkamah Konstitusi.
Upaya mengembalikan Pemilu pada sistem proporsional tertutup telah digaungkan sejumlah pihak sepanjang tahun ini.
Mereka yang menghendaki rakyat mencoblos partai alih-alih calon legislatif langsung beralasan sistem proporsional terbuka saat ini telah menghamburkan duit negara untuk ongkos Pemilu.
Digaungkan PDIP
Wacana ini untuk pertamanya kali digaungkan oleh PDIP besutan Megawati Soekarnoputri pada Februari lalu. PDIP menganggap, sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini menelan ongkos Pemilu mahal.
"Demi kepentingan bangsa dan negara, sistem ini dapat diubah menjadi proporsional tertutup. Ini lebih penting sebagai insentif bagi kaderisasi Partai," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Minggu (27/2).
Suara senada juga dilontarkan Ketua DPP PDIP bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat yang meyakini sistem proporsional tertutup mampu menekan praktik jual-beli suara.
"Dengan itu maka tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka yang sekarang ngurusin partai luar biasa, berkorban luar biasa kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," kata Djarot beberapa waktu lalu.
KPU, MPR hingga Mahfud MD kompak mengamini
Merespons pernyataan PDIP tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD turut mendukung kembalinya sistem proporsional tertutup.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengklaim bahwa putusan MK tidak pernah memerintahkan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka.
Wacana ini terus didengungkan oleh MPR dan KPU pada bulan September lalu kala Badan Pengkajian MPR menyambangi Kantor KPU.
Elite PDIP Djarot Saiful Hidayat selaku Ketua Badan Pengkajian MPR menerangkan pihaknya akan mengkaji wacana ini. Djarot juga menyampaikan, Ketua KPU Hasyim Asyari turut melontarkan gagasan itu.
Tak hanya itu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto juga meminta pemilihan umum atau Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.
Berproses di MK
Kini gugatan uji materiil terhadap sejumlah pasal pada UU Pemilu yang diajukan oleh Kader PDIP-NasDem itu tengah berproses di MK.
Mereka meminta MK membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu berbunyi: "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka."
Putusan MK nantinya akan sangat mempengaruhi skema pemungutan suara di Pemilu 2024 terkait pilihan mencoblos calon anggota legislatif atau lambang partai politik.
Potensi Terwujud
Ketua KPU Hasyim Asyari menyatakan ada kemungkinan sistem coblos partai itu kembali diterapkan pada Pemilu 2024.
Hasyim memprediksi, MK bisa saja mengabulkan gugatan itu jika berkaca dari jejak putusan selama ini.
"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/12).
Jika MK mengabulkan gugatan itu, maka daftar nama Caleg di surat suara akan lenyap, pemilih hanya dapat melihat lambang partai politik pada surat suara.
Sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2004 sirna dan sistem proporsional tertutup selayaknya zaman Orde Baru pun kembali diterapkan.
Partai politik lagi-lagi menjelma menjadi pemegang otoritas penuh untuk menunjuk kadernya yang akan menjabat sebagai anggota dewan.
Sementara rakyat selaku konstituen hanya bisa menunggu siapa Dewan yang akan mewakilinya tanpa bisa memilih langsung.
Kontroversial
Sejumlah pihak pun menyentil keras wacana ini. Mereka beranggapan, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Sehingga, rakyat berhak menentukan secara langsung atas wakil-wakilnya di parlemen.
"Penentu terakhir mana calon yang terpilih adalah calon yg dipilih rakyat secara langsung yang mendapat suara terbanyak dan itulah proporsional dengan daftar calon terbuka," tukas eks Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay kepada CNNIndonesia.com, Kamis (29/12).
Wacana ini juga mendapat tentangan dari partai oposisi, Partai Demokrat. Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng menyebut demokrasi Indonesia berderap mundur jika wacana itu terealisasi.
"Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia," kata Andi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (29/12).
Di sisi lain, DPR menilai KPU telah berbicara topik di luar kewenangannya. Sebab, kemungkinan sistem pemilu itu hanya bisa dilakukan setelah diatur lewat UU atau Perppu yang telah disepakati pemerintah dan DPR.
"Itu Saudara Hasyim [Hasyim Asy'ari selaku Ketua KPU] dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu," kata Doli dalam keterangannya, Kamis (29/12).(han)