Menelisik Musabab Pemerintah dan DPR ‘Ngotot’ Sahkan RKUHP Ditengah Kontroversi

Aksi #ReformasiDikorupsi itu pun menimbulkan setidaknya lima korban jiwa, di mana yang paling tersorot adalah Immawan Randi dan Yusuf Kardawi--dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO)--tewas karena timah panas aparat saat demo di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Dec 6, 2022 - 18:02
Menelisik Musabab Pemerintah dan DPR ‘Ngotot’ Sahkan RKUHP Ditengah Kontroversi
Ilustrasi: Gedung DPR RI

NUSADAILY.COM - JAKARTA - Masih segar dalam ingatan, pada 2019 silam, jelang akhir masa bakti DPR periode 2014-2019, para anggota dewan yang terhormat terlihat ‘ngotot’ ingin mengesahkan RKUHP ditengah kontroversi.

Celakanya, aksi ‘ngotot’ itu memicu gelombang demo besar di mana-mana dengan tagar #ReformasiDikorupsi hampir di seluruh daerah Indonesia.

Penyebabnya, RKUHP yang ingin disahkan itu memuat pasal-pasal bermasalah yang mengancam kriminalisasi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.

Aksi #ReformasiDikorupsi itu pun menimbulkan setidaknya lima korban jiwa, di mana yang paling tersorot adalah Immawan Randi dan Yusuf Kardawi--dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO)--tewas karena timah panas aparat saat demo di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Pengesahan RKUHP itu terus tertunda selama lebih dari tiga tahun terakhir. Pemerintah dan DPR pun gencar melakukan sosialisasi untuk memberitahu kepada publik mengapa diperlukan KUHP yang baru.

Pun, ada beberapa perubahan dalam draf RKUHP hingga kekinian direncanakan disahkan dalam Rapat Paripurna di kompleks parlemen, Selasa (6/12).

Rapat paripurna itu digelar setelah pada pembicaraan tingkat I di Komisi III DPR pada 24 November lalu disetujui untuk dibawa ke tingkat II untuk disahkan jadi undang-undang. Draf terbaru RKUHP itu pun kemudian menyebar ke publik awal Desember ini alias jelang akhir pekan lalu.

Hanya berbilang hari hingga diputuskan dan dijadwalkan DPR untuk disahkan dalam Rapat Paripurna pada Selasa ini.

Namun, draf terbaru tersebut dinilai sejumlah elemen dari aliansi jurnalis hingga praktisi dan akademisi hukum masih memuat pasal-pasal bermasalah yang bisa mengancam kehidupan demokrasi hingga kriminalisasi.

Peneliti sekaligus pengacara publik LBH Masyarakat Ma'ruf Bajammal menyayangkan DPR dan pemerintah terburu-buru mengesahkan RKUHP meskipun publik masih menilainya memuat pasal-pasal bermasalah.

Tak dipungkiri, sambungnya, hal itu menimbulkan dugaan ada transaksi antara pemerintah dan DPR dalam subtansi dalam RKUHP yang menguntungkan kekuasaan sehingga rencana itu harus segera disahkan.

"Bisa jadi ada transaksi yang sifatnya persamaan kepentingan karena substansi RKUHP yang ada lebih menguntungkan kekuasaan," kata Ma'ruf, mengutip CNNIndonesia.com, Senin (5/12).

Ma'ruf sependapat bahwa masih ada pasal-pasal kontroversial yang tetap berkukuh di masukkan DPR dan pemerintah dalam rencana aturan tersebut. Di antaranya pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, hukuman mati, larangan unjuk rasa hingga pasal soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong.

Ia menilai pasal kontroversial itu potensial untuk mengkriminalisasi seseorang yang berlainan pandangan dengan kekuasaan.

"Pasal-pasal tersebut berpotensi membungkam kebebasan masyarakat sipil dan mencederai demokrasi," kata dia.

Di sisi lain, Ma'ruf berpandangan DPR tengah belajar dari pengalaman demo besar-besaran menolak RKUHP pada tahun 2019 lalu. Pada masa itu penolakan besar dari masyarakat atas RKUHP. Sehingga, DPR dan pemerintah ngotot segera mengesahkan sebelum terjadinya demi besar-besaran.

"Sehingga mereka mengagendakan pengesahan cepat agar masyarakat kesulitan berkonsolidasi untuk melakukan demonstrasi besar penolakan RKUHP yang ada," kata dia.

Senada, pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pemerintah dan DPR sekadar kejar target buru-buru mengesahkan RKUHP tanpa menyaring aspirasi masyarakat lebih luas untuk saling terlibat dalam pembahasan.

Terlebih lagi, Ia menilai masih banyak pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP yang melanggar prinsip demokrasi.

"Yang saya bilang itu kejar target. Karena sudah lama kan. Secara subtansi isinya masih banyak yang langgar demokrasi," kata Fickar.

Ia mencontohkan pasal penghinaan kepada pemerintah atau lembaga negara tak perlu dimasukkan kembali dalam Rancangan KUHP.

Alasannya, pasal-pasal itu dianggap memunculkan semangat neokolonialisme. Sebab, pasal itu awalnya bermula dari Pemerintah Hindia Belanda yang menerapkan pasal penghinaan terhadap Ratu.

Pasal penghinaan terhadap Ratu itu dilanjutkan oleh pemerintah pasca kemerdekaan menjadi 'Pasal Penghinaan Presiden'. Fickar berpendapat kondisi tidak bisa diadopsi karena Belanda menganut sistem monarki parlementer, sementara Indonesia menganut sistem presidensial yang demokratis.

"Negara kerajaan itu Ratu sama kepala negara enggak bisa dipisahkan, enggak bisa diganti. Lah kalau di negara demokrasi kan presiden cuma lima tahun. Presiden itu institusi atau lembaga. Masa menghina lembaga dipidana. Kita kan punya demokrasi. Itu dihormati juga," kata dia.

Melihat itu, Fickar berpendapat pasal-pasal karet itu potensial menjadi alat bagi pihak berkuasa untuk menindas lawan atau masyarakat yang berbeda pandangan.

"Itu sinyalemen, nadi bisa dipakai alat oleh mereka yang berkuasa karena jabatan atau karena uangnya untuk menindas masyarakat. Nah, lebih jauh bisa menjadi momok buat demokrasi sendiri," kata dia.

DPR RI dan pemerintah dijadwalkan akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat Paripurna yang rencananya digelar Selasa (6/12).

Jadwal pengesahan RKUHP pada paripurna hari ini berlangsung sepekan setelah keputusan tingkat I diambil bersama pemerintah dalam rapat di Komisi I DPR pada 24 November lalu, dan berbilang hari sejak draf resminya disebar ke publik jelang akhir pekan lalu.

Berdasarkan pantauan pada situs resmi DPR pada Selasa pagi ini tercantum Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RKUHP yang memang dijadwalkan pada rapat paripurna hari ini.

Selain itu, agenda lainnya adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang kerja Sama Pertahanan dan Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Fiji tentang Kerja Sama Bidang Pertahanan.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly menyadari RKUHP tak bakal 100 persen disetujui oleh semua pihak. Dia tak ambil pusing soal suara penolakan terhadap RUU tersebut.

Dia pun melempar masalah itu untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK) kelak setelah RKUHP disahkan jadi undang-undang.

"Kalau untuk 100 persen setuju tidak mungkin kalau pada akhirnya nanti masih ada yang tidak setuju, gugat aja di Mahkamah Konstitusi," kata Yasonna di kompleks parlemen, Senin (5/12).

Politikus PDIP itu mengatakan pihaknya lebih memilih mengesahkan RKUHP ketimbang harus terus memakai KUHP saat ini yang diadopsi sejak zaman kolonial. Dia mengklaim RKUHP telah melakukan banyak reformasi dari KUHP yang saat ini dipakai.

Di sisi lain, terkait penolakan RUU itu, pemerintah dan DPR juga telah melakukan sosialisasi selama beberapa tahun terakhir. Sosialiasi dilakukan lintas lembaga baik oleh Kemenkumham, Kominfo, bahkan Badan Intelejen Negara (BIN).

"Ada yang kita softing down ada yang kita lembutkan, kalau masih perbedaan pendapat ya itu biasa dalam demokrasi," katanya.

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengkritik penerapan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam penyusunan undang-undang, khususnya RKUHP.

Ia juga menyoroti RKUHP menjadi problematik lantaran pemerintah seakan terburu-buru dan terkesan menghalalkan segala cara agar RKUHP itu disahkan.

"Saya rasa banyak masalah di RKUHP ini karena pemerintah seakan terburu-buru untuk menyelesaikannya jadi, segala macam cara diterobos," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/11).

Bivitri juga tidak setuju soal sikap pemerintah yang seakan bertindak sebagai wasit dalam menyikapi perbedaan di publik yang diameteral.

Menurutnya, pemerintah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip rule of law dalam penyusunannya.

"Saya enggak setuju, tugas pemerintah bukan seperti wasit di antara golongan masyarakat, tapi tugas pembentuk hukum adalah berpegang kepada prinsip jadi bukannya seperti wasit antara dua atau sekian provinsi. Harusnya punya pegangan prinsip-prinsip rule of law," tegas Bivitri.

Bivitri juga menyinggung azas meaningful participation yang sebelumnya telah diputuskan oleh MK, menurut dia, dalam kasus RKUHP ini, hak publik susah untuk memenuhi hal tersebut.

"Kalau menurut MK sendiri partisipasi bermakna itu ada hak didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan jawaban atas pertimbangan terutama yang kedua ketiga ini kita harus kritik," ujarnya.

Timbul tanya entah kenapa, sejak 2019 silam pemerintah dan DPR kerap terkesan memburu-buru untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Apa memang sangat dibutuhkan atau hanya memenuhi titipan.(han)