Mencermati Kursi Goyang Ketum Golkar dari Masa ke Masa, Apa Istana ‘Selalu’ Terlibat atau Dilibatkan?

Sejumlah nama kader Golkar seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Bahlil Lahadalia, dan Bambang Soesatyo didorong menjadi ketua umum menggantikan Airlangga jika benar-benar terjadi munaslub. Luhut mengaku siap menjadi ketua umum jika banyak kader Golkar yang mendukungnya. Begitu juga dengan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Jul 27, 2023 - 17:09
Mencermati Kursi Goyang Ketum Golkar dari Masa ke Masa, Apa Istana ‘Selalu’  Terlibat atau Dilibatkan?

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Kepemimpinan Airlangga Hartarto di Partai Golkar mengalami guncangan, usai Ridwan Hisjam salah satu Anggota Dewan Pakar serta sejumlah kader senior mendorong pergantian ketua umum melalui musyawarah nasional luar biasa (Munaslub).

Salah satu pertimbangannya yakni elektabilitas Airlangga yang rendah. Selain itu, Airlangga juga dinilai tak mampu menggenjot suara Golkar menjelang Pemilu 2024.

Dewan Pakar Golkar juga telah memberikan tiga rekomendasi kepada Airlangga pada 10 Juli lalu. Pertama Airlangga harus menggelar deklarasi capres sekaligus cawapres paling lambat Agustus 2023.

Kedua Airlangga segera membentuk poros baru di Pilpres 2024 di luar poros KIB yang ada saat ini. Ketiga Airlangga segera menggelar program Airlangga Menyapa Rakyat ke seluruh wilayah Indonesia.

Sejumlah nama kader Golkar seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Bahlil Lahadalia, dan Bambang Soesatyo didorong menjadi ketua umum menggantikan Airlangga jika benar-benar terjadi munaslub.

Luhut mengaku siap menjadi ketua umum jika banyak kader Golkar yang mendukungnya. Begitu juga dengan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

"Setiap kader yang merasa bertanggung jawab untuk pengabdian kepada partai saya pikir semuanya terpanggil, tetapi lewat mekanisme partai," kata Bahlil di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (25/7).

Sementara Wakil Ketua Umum Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) tak banyak bicara saat ditanya terkait wacana munaslub Golkar yang telah mencuat.

"Ah itu (Munaslub) adalah domain Ketua Umum, saya hanya Wakil Ketua Umum. Tahun depan jadwal Munas," kata Bamsoet.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro berpendapat peluang Luhut maupun Bahlil untuk menggantikan Airlangga cukup besar.

Menurutnya, kedua tokoh itu memiliki modal yakni sumber daya untuk bersaing di posisi itu. Belum lagi, keduanya saat ini merupakan pejabat eksekutif yang memiliki posisi strategis.

"Golkar ini susah untuk tidak dikaitkan dengan resource, siapapun ketum yang mau berlaga, dia harus punya sumber daya yang mumpuni untuk berkontestasi. Dalam konteks ini Pak Luhut dan Pak Bahlil punya resource yang mumpuni lah," kata Agung saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (25/7) malam.

Agung mengatakan Airlangga kini dihimpit persoalan internal dan eksternal. Di internal, persoalan elektabilitas partai yang merosot, elektabilitas Airlangga yang rendah hingga belum jelasnya sikap Golkar di Pilpres 2024.

Sementara di eksternal, Airlangga diperiksa Kejagung sebagai saksi dalam kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO).

Menurut Agung, jika persoalan internal dan eksternal itu tidak bisa ditangani oleh Airlangga, wacana munaslub untuk menggantikannya akan semakin liar.

"Ketika dinamika internal dan eksternal tidak bisa ditangani dengan baik oleh Pak Airlangga, maka kans Pak Luhut dan Bahlil masuk cukup besar," katanya.

Terpisah, Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro menilai munculnya isu munaslub Golkar karena sikap gamang Airlangga.

Bawono menyebut Airlangga tidak memiliki elektabilitas yang mumpuni untuk menjadi capres. Sementara langkah hendak merapat ke sejumlah bakal calon presiden tidak disambut positif.

"Mau merapat ke capres lain sepertinya jalannya tidak terbuka, para capres seperti enggan berpasangan dengan Airlangga," kata Bawono.

Ia menyatakan sejak era reformasi, Golkar memang belum pernah melahirkan tokoh yang punya daya saing elektoral sebagai capres. Kondisi itu, menurutnya, membuat Golkar seperti kehilangan marwah padahal pernah berkuasa 32 tahun.

"Jadi yang dipandang tokoh-tokoh senior itu, partai ini harus dikembalikan marwahnya, jadi partai ini harus berkuasa dan punya tokoh yang menjual secara elektoral," katanya.

Bawono berpendapat variabel utama yang memengaruhi dinamika di internal Golkar adalah dukungan politik dari Istana. Menurutnya, hal itu terjadi di zaman pemerintahan SBY hingga Jokowi saat ini.

"Jadi ada variabel utama yang menentukan, atau yang memiliki pengaruh terhadap dinamika politik di internal partai Golkar. Yaitu variabel dari istana, dukungan politik dari istana. Itu terjadi bukan hanya di pemerintahan Pak Jokowi, di pemerintahan Pak SBY juga gitu," katanya.

Ia mencontohkan dinamika di Golkar pada 2004, di Pilpres putaran pertama, Golkar mendukung pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid. Sementara di putaran kedua, mendukung Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi.

Saat itu, pemilu dimenangkan oleh pasangan SBY dan Jusuf Kalla. Golkar belakangan bergabung ke pemerintahan dan berganti Ketua Umum.

"Atas dukungan politik Istana, terjadi dinamika di Golkar, JK kemudian jadi ketum, Akbar Tandjung kalah dalam Munas. Begitu juga 2009, Aburizal Bakrie membawa Golkar tetap dalam pemerintahan kedua SBY, lagi-lagi atas dukungan istana. Begitu juga di 2014 Jokowi dan 2019 sekarang," kata dia.

Oleh karenanya, ia berpendapat, pernyataan kesiapan jadi ketum Golkar oleh Luhut hingga Bahlil tidak akan keluar ke publik jika tidak ada sinyal dukungan dari Istana.

"Jadi ada variabel dukungan istana, siapapun presidennya, itu akan menentukan dinamika elektoral di Partai Golkar... kalau misalnya nama yang beredar saat ini apakah Luhut, Bahlil atau Bamsoet, menurut saya mereka tidak akan mungkin berani mengucapkan kesiapan itu, jika tidak ada sinyal dukungan dari istana," kata Bawono.

Agung berpendapat susah untuk tidak mengaitkan dinamika yang terjadi di internal Golkar ini dengan campur tangan dari Istana.

Soal isu keterlibatan istana ini sebenarnya sudah dibantah Bahlil. Ia menyatakan Presiden Jokowi tidak ikut campur atas kisruh di pucuk partai beringin. 

"Pak Jokowi enggak mau cawe-cawe lah. Untuk urusan Golkar, beliau enggak," ujar Bahlil saat menemui pemimpin media massa, Sabtu (22/7) .

"Kalau urusan presiden, dia cawe-cawe untuk kebaikan negara. (Urusan Partai Golkar) enggak," tuturnya

Namun dia juga tak bisa memastikan apakah Jokowi pernah memberi arahan tak resmi agar Airlangga dicopot dari jabatannya dan diganti kader Partai Golkar lainnya.

"Saya enggak tahu ya," kata dia menjawab pertanyaan.

Agung sendiri menilai pernyataan Bahlil tersebut hanya menampakkan bagian depan dari situasi politik yang terjadi saat ini di tubuh Golkar. 

"Kalau di panggung depan pasti tidak ada jawaban Bahlil, tapi di belakang. Politik itu di belakang panggung, di belakang layar, kita kadang enggak tahu, ini kan ruang remang-remang," katanya.

Sejak isu ini mencuat, Airlangga telah buka suara. Ia menegaskan pergantian ketua umum hanya dilakukan melalui musyawarah nasional. Menurutnya tak akan ada munaslub Golkar seperti yang digaungkan sejumlah politisi senior.

"Ya itu tadi saya katakan, kan tidak ada (munaslub). Munas 2024, silakan kalau berminat jadi ketua umum Golkar, ke 2024," kata Airlangga di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (13/7).

Pasang Surut Golkar Usai Soeharto Tumbang

Partai Golkar mengalami pasang surut setelah kepemimpinan Soeharto tumbang dan Orde Baru berakhir. Di era reformasi, perolehan suara Golkar naik turun disertai konflik internal.

Pemilu 1999 menjadi pemilu pertama Golkar tanpa Soeharto. Kata "partai" pun disematkan ke nama Golkar sebagai syarat menjadi peserta pemilu.

Dipimpin Ketua Umum Akbar Tanjung, Golkar cuma berhasil duduk di posisi kedua. Mereka kalah dari PDIP yang meraih 35.689.073 (33,74 persen suara sah nasional) dan mendapat 153 kursi DPR RI.

Sementara itu, Golkar mengumpulkan 23.741.758 suara atau 22,44 persen suara sah nasional. Mereka mengamankan 120 kursi di parlemen dan Akbar Tanjung didapuk sebagai Ketua DPR RI.

Pada pemilu berikutnya, Golkar sempat bangkit. Mereka kembali menjadi pemenang pemilu setelah meraih 24.480.757 suara (21,58 persen suara sah nasional) dan mengamankan 127 kursi DPR RI.

Meski demikian, Akbar Tanjung tak melanjutkan kepemimpinannya di Golkar dan DPR. DPR dipimpin oleh politikus Golkar lainnya, Agung Laksono.

Sementara itu, kursi Ketua Umum Partai Golkar diduduki Jusuf Kalla. JK baru saja memenangkan Pilpres 2004 bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada Pemilu 2009, Golkar tak lagi berkoalisi dengan Partai Demokrat. JK memutuskan maju sebagai calon presiden melawan SBY.

Hasil pemilu tak memihak Golkar dan JK. Golkar hanya berada di posisi kedua dengan perolehan 15.037.757 suara (14,45 persen suara sah nasional) dan 106 kursi DPR RI.

Pemenang Pemilu 2009 adalah Partai Demokrat. Mereka mendapatkan 21.703.137 suara (20,85 persen suara sah nasional) dan 148 kursi DPR RI.

Kemenangan Demokrat bersamaan dengan kemenangan SBY di Pilpres. Pasangan JK-Wiranto hanya menduduki posisi ketiga.

Kekalahan JK di pilpres berlanjut ke dinamika pergantian nakhoda di Golkar. Ia digantikan Aburizal Bakrie (ARB) melalui musyawarah nasional.

Di Pilpres 2014, Golkar tak keluar sebagai pemenang. PDIP yang menjadi pengusung utama Jokowi-JK menang dengan 23.681.471 suara (18,95 persen) dan 109 kursi DPR RI.

Meski demikian, Golkar mampu mendulang 18.432.312 suara (14,75 persen). Mereka mengamankan 91 kursi.

Dualisme di Partai Beringin

Kekalahan Golkar dan capres mereka pada 2014, Prabowo Subianto, merembet ke dualisme kepemimpinan. Konflik intern Golkar muncul karena ada kubu ARB dan kubu Agung Laksono.

ARB menggelar musyawarah nasional di Bali, sedangkan Agung di Jakarta. Konflik berjalan sekitar dua tahun.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan kepengurusan Agung sah pada Maret 2015. Sementara itu, Mahkamah Agung menetapkan kepengurusan ARB sah pada Oktober 2015.

Dualisme di Golkar mulai mendapat pembenahan setelah JK, wakil presiden saat itu dan mantan Ketua Umum Golkar, turun tangan. Ia menggagas rekonsiliasi pada awal 2016.

Partai beringin menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) pada 17 Mei 2016. Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum.

Meski demikian, kepemimpinan Setnov tak bertahan lama. Ia terseret kasus korupsi e-KTP. Airlangga Hartarto terpilih menggantikan Setnov di pucuk Golkar.

Pada Pemilu 2019, Golkar masuk barisan pendukung Jokowi-Ma'ruf. Mereka mampu menduduki mendulang 17.229.789 suara (12,31 persen).

Secara perolehan suara, Golkar kalah dari Partai Gerindra. Gerindra yang mendukung Prabowo-Sandiaga mendapat 17.596.839 suara (12,57 persen).

Meski begitu, perolehan kursi DPR RI Golkar lebih banyak dari Gerindra. Golkar mengamankan 85 kursi, sedangkan Gerindra 78 kursi.

Berkat capaian di Pemilu 2019, Airlangga dipercaya melanjutkan kepemimpinan di Golkar. Ia pun dideklarasikan sebagai bakal calon presiden Partai Golkar.

Empat tahun berjalan, kepemimpinan Airlangga digoyang. Dewan Pakar Partai Golkar memutuskan untuk mengevaluasi pencapresan dan kepemimpinan Airlangga.

Dewan Pakar menilai Airlangga gagal menaikkan elektabilitasnya sebagai bakal capres. Mereka mengusulkan pergantian capres hingga ketua umum lewat munaslub.

"Kalau saya lihat ada beberapa nama di mana? Orang yang duduk di pemerintahan, super hebat, siapa yang selevel oleh Pak Airlangga? Ya Luhut Binsar Pandjaitan, itu kalau mau dilihat yang super hebat," ungkap Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (12/7).(han)