Mencermati Imbas RUU MK, Mahfud MD: Saldi, Enny, Suhartoyo Bisa Langsung Diberhentikan
Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih yang datang dari lembaga pengusul Presiden, serta Ketua MK Suhartoyo yang datang dari lembaga pengusul MA. Mereka, kata Mahfud, bisa saja langsung diberhentikan alias ditarik lembaga pengusul masing-masing ketika RUU MK disahkan jadi undang-undang.
NUSADAILY.COM – JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai RUU MK yang tengah digodok di gedung parlemen saat ini memuat pasal kontroversial.
Salah satunya adalah mengenai bakal beleid hakim bisa ditarik oleh lembaga pengusul masing-masing.
Mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan ini menilai apabila RUU MK itu disahkan jadi undang-undang, bisa saja sejumlah hakim MK mendadak langsung diberhentikan lembaga pengusulnya: Presiden, DPR, atau Mahkamah Agung (MA).
Dia mengatakan Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih yang datang dari lembaga pengusul Presiden, serta Ketua MK Suhartoyo yang datang dari lembaga pengusul MA. Mereka, kata Mahfud, bisa saja langsung diberhentikan alias ditarik lembaga pengusul masing-masing ketika RUU MK disahkan jadi undang-undang.
Hal itu konsekuensi dalam aturan peralihan RUU MK yang tengah digodok di DPR. Mahfud mengaku saat dirinya menjabat Menko Polhukam dalam kabinet pemerintahan Jokowi, dirinya menolak pembahasan RUU itu karena dikhawatirkan mengganggu independensi hakim jelang Pilpres 2024.
"Saya menolak pengesahan RUU MK itu, terutama terkait peraturan peralihan pasal 87, karena waktu itu isinya menurut saya tidak umum. Yang umum itu kalau ada aturan baru, yang sudah ada itu dianggap sah sampai selesainya masa tugas," kata Mahfud dalam keterangan video yang disiarkan via fitur reel Instagram miliknya, dikutip Rabu (15/5).
"Di RUU itu disebutkan dengan berlakunya UU itu maka hakim MK yang sudah menjadi hakim lebih lima tahun dan belum 10 tahun itu, akan atau harus dimintakan konfirmasi ke lembaga yang mengusulkannya. itu saya tidak setuju waktu itu, karena bisa mengganggu independensi hakim MK, pada waktu itu sedang menjelang pilpres [Pilpres 2024]," imbuh eks Cawapres nomor urut 3 tersebut.
Konsekuensi untuk lanjut atau ditarik terhadap ketiganya merujuk pada bunyi klausul Pasal 23A RUU MK yang mengatur soal evaluasi hakim mahkamah.
Pasal itu menyebutkan hakim mahkamah maksimal hanya bisa menjabat selama 10 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun. Artinya, setiap lima tahun, hakim MK wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung untuk dievaluasi kembali.
"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setelah lima tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya," demikian bunyi Ayat 2 Pasal 23A RUU MK.
Sementara pada Pasal 87 RUU MK terkait mekanisme peralihan berdampak konsekuensi bagi Saldi, Enny, dan Suhartoyo untuk bisa dievaluasi sebab ketiganya sudah menjabat lebih dari lima tahun, dan kurang dari 10 tahun.
Jika tidak ditarik atau dihentikan, Suhartoyo akan memasuki masa pensiun sebagai hakim MK pada tahun depan. Sedangkan, Saldi menyisakan masa jabatan hingga 2027 dan Enny hingga 2028.
Pasal 87 RUU MK menyebut hakim konstitusi yang telah menjabat selama lima tahun dan kurang dari 10 tahun hanya dapat melanjutkan masa jabatannya terhitung sejak tanggal penetapan dirinya sebagai hakim MK, dan dengan syarat disetujui lembaga pengusul.
Keputusan di tangan Presiden dan MA
Menurut Mahfud, apabila RUU MK itu disahkan jadi undang-undang, maka nasib tiga hakim MK yakni Saldi, Enny, dan Suhartoyo tersebut tergantung keputusan lembaga pengusul masing-masing yakni Presiden dan MA.
Mereka, sambungnya, bisa berhenti dan juga bisa saja diputuskan lembaga terkait--Saldi dan Enny oleh Presiden, dan Suhartoyo oleh MA--untuk lanjut kembali hingga berakhirnya masa tugas.
"Tapi bisa juga langsung diganti. Itu bisa juga. Nanti silakan aja [keputusan lembaga pengusul masing-masing]," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, sebaliknya jika lembaga pengusul masing-masing itu memutuskan Saldy, Enny, dan Suhartoyo tetap bekerja, dia menilai itu sebagai bagian dari politik etis.
"Nah kalau ketiga hakim MK ini Saldi, Enny, dan Suhartoyo masih sesudah dimintakan konfirmasi dinyatakan masih boleh bertugas sampai berakhir masa SK-nya,," kata Mahfud.
"Itu bisa menjadi politik etis bagi pemerintah, untuk menunjukkan 'bahwa kami tidak akan mecat kok, meski aturannya begitu'. Meskipun, saya tidak tahu perkembangan berikutnya [dari berlakunya RUU MK tersebut]," imbuhnya.
Selain tiga hakim yang disinggung Mahfud itu enam lain yakni Anwar Usman dan Ridwan Mansyur berasal dari lembaga pengusul MA, kemudian Daniel Yusmic dari lembaga pengusul Presiden. Tiga hakim lainnya adalah Arief Hidayat, Arsul Sani, dan Guntur Hamzah dari lembaga pengusul DPR.
Mereka tak kena konsekuensi dari aturan peralihan dalam RUU MK bila disahkan jadi undang-undang.
Anwar telah menjabat lebih dari 10 tahun yakni sejak 2011 lalu, dan akan pensiun 3 tahun lagi. Arief juga sudah lebih dari 10 tahun jadi hakim MK sejak 2013 silam dan akan pensiun dua tahun lagi.
Sisanya baru menjabat sebagai hakim MK kurang dari lima tahun yakni Daniel sejak 2020, Guntur sejak November 2022, serta Arsul dan Ridwan Mansyur sejak November 2023.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi III DPR diam-diam menggelar rapat pengesahan tingkat satu dan menyepakati revisi UU MK perubahan keempat dibawa ke tingkat dua. Revisi UU MK kini selangkah lagi disahkan menjadi UU.
Sebenarnya, pengesahan revisi UU MK sempat ditunda lantaran menuai penolakan sejumlah pihak. Namun, kini dilanjutkan dengan memuat pasal-pasal yang dianggap problematik. Mulai dari evaluasi hakim oleh lembaga pengusul hingga memasukkan unsur perwakilan lembaga di MKMK.
Sejumlah pertanyaan pun mencuat dari akademisi hingga pemerhati hukum dan politik. Apa urgensi dari revisi UU MK? Mengapa pembahasan dilakukan ketika masa reses? Atau, apa motif pembuat UU memasukkan unsur perwakilan lembaga di MK?
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai DPR ingin mengkerdilkan peranan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat revisi Undang-undang MK yang kini tinggal disahkan di Rapat Paripurna DPR.
"Yang menonjol dari kecenderungan DPR ini justru sikap ingin mengerdilkan MK," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/5).
Lucius menduga revisi UU MK oleh DPR sebagai tanda para wakil rakyat itu ingin mencari jalan untuk mengendalikan MK secara legal.
Sementara itu, Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' meyakini ada motif terselubung dari revisi UU MK. Terlebih, revisi UU MK ini dibahas secara diam-diam di masa reses. Dia pun menduga motif utama revisi UU MK adalah untuk mengkooptasi dan mengendalikan hakim-hakim konstitusi.
Menurut Herdiansyah keinginan DPR mengkooptasi MK bukan tanpa tujuan. Apalagi, MK punya peran strategis dalam menentukan nasib produk legislasi DPR yang masuk meja sidang.
"Upaya kooptasi terhadap MK, agar sejalan dengan selera subjektif lembaga-lembaga pengusulnya, terutama DPR dan Pemerintah," kata dia, Rabu ini.(sir)