Menanti Palu Gada Hakim MK soal Keinginan PDIP Pemilu Coblos Partai

Menurut hemat PDIP, kata Arteria, parpol memiliki kewenangan untuk menentukan kader terbaik yang akan bertarung di pemilu. Atas dasar itu, menurutnya, sangat relevan jika parpol juga memiliki hak untuk menentukan kader yang bakal menduduki kursi legislatif.

Menanti Palu Gada Hakim MK soal Keinginan PDIP Pemilu Coblos Partai

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan memberikan keterangan dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/1), tentang pemilihan umum (pemilu) menggunakan sistem proporsional tertutup atau coblos partai.

Arteria menyampaikan, partainya ingin pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup karena Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota legislatif adalah partai politik (parpol).

"Ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol. Dengan demikian, amat terang dan jelas, parpol lah yang terlibat sangat aktif. Tidak hanya berperan, serta namun juga berkompetisi sebagai konsekuensi logisnya maka parpol yang seharusnya memiliki dan diberikan kewenangan untuk menentukan formasi tim, pasukan-pasukan terbaiknya dalam ajang kompetisi pesta demokrasi," kata Arteria di hadapan majelis hakim MK.

Menurut hemat PDIP, kata Arteria, parpol memiliki kewenangan untuk menentukan kader terbaik yang akan bertarung di pemilu. Atas dasar itu, menurutnya, sangat relevan jika parpol juga memiliki hak untuk menentukan kader yang bakal menduduki kursi legislatif.

"Tentunya setelah melalui rangkaian proses mulai dari rekrutmen, seleksi pendidikan kader berjenjang, penjaringan dan penyaringan, hingga diusulkan menjadi caleg," ucap dia.

Menurut Arteria, permohonan uji materi UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka sangat bisa diterima, diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh majelis hakim MK.

Arteria menyatakan rezim hukum pemilu bukan sekadar melahirkan wakil rakyat melalui proses yang demokratis, melainkan juga mewujudkan sistem ketatanegaraan yang berintegritas demi menjamin konstitusi, konsistensi, serta kepastian hukum.

Dia juga menyampaikan masalah kepastian hukum dan sistem pemilu yang efisien luput dari pertimbangan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka atau coblos caleg yang selama ini dipakai.

Ia pun mempertanyakan, apakah sistem proporsional terbuka yang sudah dilaksanakan di tiga pemilu terakhir sudah memenuhi berbagai prinsip pemilu yang diharapkan.

"Sehubungan dengan asas pemilu jujur dan adil, apakah sistem yang sudah tiga kali diterapkan sudah memenuhi prinsip-prinsip pemilu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, profesional, akuntabel, efektif dan efisien?" tanya Arteria dalam paparannya di hadapan hakim MK itu.

Tanggapan DPR

Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar Supriansa sebagai wakil DPR yang memberi keterangan dalam sidang itu mengatakan sistem proporsional terbuka merupakan yang terbaik untuk diterapkan di Indonesia bagi pemilih parpol, dan para caleg.

Supriansa menambahkan mengembalikan pemilu ke sistem proporsional tertutup justru membawa kemunduran demokrasi. Apalagi, ia bilang MK pernah menerbitkan putusan nomor 22-24/PUU-XX/2008 yang menguatkan penerapan sistem proporsional terbuka.

Pihaknya memandang, sistem proporsional tertutup di mana caleg yang berhak duduk di kursi legislatif ditentukan parpol justru berpotensi merusak internal partai itu sendiri.

"Akan menimbulkan konflik antara para kader parpol di internal, khususnya dengan para ketua partai karena semua kader pastinya akan merasa patut dan layak dipilih untuk memiliki kursi anggota DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota," kata Supriansa.

"DPR RI berpandangan tidak benar jika peran partai politik menjadi terdistorsi, sebagaimana didalilkan para pemohon," imbuhnya.

Supriansa melanjutkan, DPR menganggap bahwa parpol telah diberikan peran yang cukup vital, meskipun dalam sistem proporsional terbuka pemilih dapat mencoblos nama caleg dan caleg yang berhak menduduki kursi legislatif ialah yang memperoleh suara terbanyak

"Berdasarkan Pasal 241 UU Pemilu, parpol peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai AD/ART dan/atau penentuan internal. Berdasarkan pasal a quo, jelas sekali partai politik diberikan wewenang penuh oleh UU," ujar Supriansa.

Bisa Timbulkan Gejolak Sospol

Bahtiar, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, mengkhawatirkan bahwa perubahan terhadap sistem pemilihan umum (pemilu) di tengah proses tahapan pemilu berpotensi melahirkan gejolak sosial politik di partai politik (parpol) dan di tengah masyarakat.

Pernyataan itu disampaikan Bahtiar saat memberikan keterangan dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem proporsional tertutup pada Kamis (26/1).

"Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilu di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai maupun masyarakat," kata Bahtiar.

Bahtiar lalu mengutip Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Menurut Bahtiar, sistem proporsional terbuka seperti yang berlaku saat ini merupakan hasil musyawarah yang memperhatikan kondisi objektif proses transisi masyarakat ke demokrasi.

Dengan sistem terbuka, Bahtiar mengatakan pemerintah menganggap akan ada penguatan sistem kepartaian, budaya politik, perilaku pemilih, hak kebebasan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan, dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

Pemerintah menilai sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang terbaik dan layak diterapkan di Indonesia. Sebab rakyat bebas memilih caleg yang akan dipilih dan caleg terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak.

"Di samping memberikan kemudahan, juga lebih adil bagi anggota DPR/DPRD dan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Baik yang tergabung dalam parpol maupun non-parpol karena kemenangan seseorang untuk terpilih tidak digantungkan kepada parpol tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan," ucap dia.

Ia menambahkan, saat ini penyelenggara pemilu sudah berjalan. Jika sistem pemilu berganti maka hanya akan menimbulkan masalah baru.(han)