Membaca Kemampuan Industri RI Berkelit Diantara Ancaman Resesi Global

IMF pun memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen pada tahun ini atau turun nyaris separuh dari capaian tahun lalu sebesar 6,1 persen. Sementara pada 2023 diperkirakan hanya 2,9 persen.

Nov 26, 2022 - 16:59

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam sambutannya di acara 4th Finance Ministers and Central Bank Governor (FMCBG) Meeting' di Washington D.C., AS, Sri Mulyani mengatakan perang Rusia-Ukraina memberikan dampak buruk pada ekonomi global.

Ia mengatakan, saat ini kondisi dunia sedang dilanda bahaya di mana berbagai ancaman dari sisi ekonomi hingga keamanan masih terus menghantui.

Sinyal resesi muncul seiring dengan kebijakan moneter ketat bank sentral di sejumlah negara. Bank-bank sentral ini terus mengerek suku bunganya demi menekan inflasi.

IMF pun memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen pada tahun ini atau turun nyaris separuh dari capaian tahun lalu sebesar 6,1 persen. Sementara pada 2023 diperkirakan hanya 2,9 persen.

Belum selesai masalah yang ditimbulkan dari perang Rusia-Ukraina, baru-baru ini Amerika Serikat memutuskan untuk meninjau kembali hubungannya dengan Arab Saudi, termasuk dari sektor perdagangan.

Keputusan Joe Biden ini dipicu oleh langkah Saudi, bersama negara yang tergabung dalam OPEC+, untuk memangkas target produksi minyaknya. Hal tersebut tentu saja dikhawatirkan menambah kesuraman ekonomi.

Ketegangan Geopolitik

Ketegangan geopolitik itu mengakibatkan harga energi, pangan, hingga pupuk meningkat. Imbasnya, inflasi di sejumlah negara melambung. Lonjakan inflasi itu membuat bank-bank sentral di beberapa negara mengerek suku bunga acuannya.

Pada akhirnya, kebijakan moneter yang ketat itu berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan, sebagian negara terancam terperosok ke jurang resesi.

"Kita bertemu lagi saat situasi ekonomi global menjadi lebih menantang dan saya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa dunia dalam keadaan bahaya," kata Sri Mulyani.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut juga diamini oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah lembaga internasional, yang memproyeksi resesi global terjadi pada 2023 mendatang.

Sehubungan dengan ruwetnya ekonomi global, ada kekhawatiran sendiri di kalangan masyarakat soal peluang untuk mendapatkan pekerjaan.

Sebab, biasanya, kondisi ekonomi yang rentan membuat pelaku usaha mau tak mau harus melakukan efisiensi demi keberlangsungan usahanya.

Pada akhirnya, jalan pintas dalam efisiensi adalah dengan memutus hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Walaupun memang tidak semua perusahaan langsung melakukan PHK.

Menanggapi hal itu, Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan sebetulnya kondisi ekonomi dalam negeri masih cukup bagus di tengah ketidakpastian ekonomi global.

"Beda kalau kondisi di luar ada ancaman resesi, terus sinyal- sinyal resesi sudah kelihatan di dalam negeri, tapi ini kan tidak. Ekonomi Indonesia sepanjang tidak ada faktor yang menghalangi orang mobilitas, beraktivitas, itu masih bergerak sebetulnya. Termasuk sektor informalnya," jelas Faisal, Kamis (13/10).

Resesi Ekonomi Global
Menurut Faisal, industri yang akan terdampak langsung pada suramnya ekonomi global adalah yang bergantung pada ekspor impor, atau sektor bisnis yang berorientasi ke pasar ekspor.

"Misalnya komoditas seperti sawit, kemudian industri manufaktur yang dia banyak jual ke luar, seperti produk tekstil yang di pasar AS, sepatu ke AS dan Eropa ini akan terpengaruh," katanya.

Sedangkan untuk komoditas batu bara, ia menilai berpotensi turun, tetapi tidak terlalu tajam. Sebab, dari sisi supply meski ada gangguan namun permintaan masih ada.

Apalagi seperti di negara besar, ketika sumber energi bersih mengalami penurunan demand, mereka akan beralih ke energi yang murah.

"Energi yang murah itu seperti batu bara. Jadi batu bara yang paling lambat terpengaruh faktor global," katanya.

Ekonom INDEF Nailul Huda membenarkan jika industri-industri dengan orientasi impor-ekspor akan rentan melakukan PHK.

"Industri manufaktur yang masih mengandalkan bahan baku impor paling akan terkena dampak. Industri yang berbasiskan elektronik akan terkena dampak. Selanjutnya komoditas seperti batubara yang mengandalkan ekspor bisa lesu karena resesi ekonomi menurunkan permintaan global," kata Nailul.

Industri Terdampak
Setali tiga uang, Ekonom Celios Bhima Yudhistira juga mengatakan industri yang terancam rentan melakukan layoff karena efek resesi memiliki beberapa kriterian.

Pertama, porsi impor terhadap bahan baku cukup tinggi. Kedua, segmentasi konsumen sensitif terhadap perubahan harga produk atau layanan.

Ketiga, berkaitan dengan rantai pasok barang di hulu atau hilir yang mengalami penurunan permintaan.

Ia menyebutkan setidaknya ada delapan industri yang terancam terkena dampak resesi. Sehingga besar pula potensi untuk melakukan layoff karyawan.

Industri yang ia maksud adalah industri pakaian jadi, alas kaki, konstruksi, elektronik, otomotif, ritel, sektor pariwisata termasuk hotel dan restoran, serta pergudangan.

"Sebagian industri pakaian jadi ketergantungan bahan baku impornya tinggi, dan pasarnya orientasi ke negara yang alami resesi (AS dan zona Eropa)," tuturnya.(han)