Melihat Sikap Petinggi Polri dan Polisi Korsel dalam Tragedi Itaewon dan Tragedi Kanjuruhan

Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Keppres merekomendasikan sejumlah langkah hukum yang harus dilakukan berdasarkan temuan fakta hasil penyelidikan mereka.

Nov 26, 2022 - 17:23

NUSADAILY.COM – MALANG - Tragedi Kanjuruhan Kabupaten Malang, Sabtu, 1 Oktober 2022, dan Tragedi Halloween Itaewon di Korea Selatan di akhir Oktober 2022 menjadi sorotan bahkan ada public yang membanding-bandingkan sikap petinggi Polri RI dan Korsel.

Tragedi yang bermula dari saling berdesak-desakan kerumunan itu memiliki kesamaan, yakni memakan korban hingga ratusan orang--meninggal lebih dari seratus, dan menyeret kiprah aparat keamanan.

Namun, bagaimanakah pimpinan aparat kedua negara dalam bersikap dan bertindak mengatur institusi masing-masing setelah tragedi berdesak-desakan mengerikan berujung maut itu?

Klaim Prosedural di Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan Malang yang menjadi salah satu kematian di laga sepak bola terbesar dalam sejarah dunia itu berawal dari penggunaan gas air mata yang ditembak aparat di dalam stadion pada Sabtu (1/10) malam.

Setidaknya 135 orang tewas dan ratusan lain terluka dalam setelah para suporter berdesak-desakan ingin keluar usai gas air mata ditembak ke tribun.

Sejauh ini ada enam tersangka telah ditetapkan Polda Jawa Timur yakni tiga sipil dari pihak penyelenggara laga sepak bola, dan tiga polisi yang terlibat dalam pengamanan di dalam stadion.

Sebelumnya, pimpinan kepolisian daerah setempat mengklaim penembakan gas air mata dalam stadion itu sesuai prosedur, yang ternyata tindakan itu dinyatakan salah bila merujuk pada aturan badan sepak bola dunia (FIFA).

Sebelumnya pula, penembakan gas air mata itu diklaim polisi untuk mengatasi suporter yang rusuh.

Namun, temuan faktual menunjukkan penembakan gas air mata itu pun dilakukan ke arah tribun yang penontonnya tak ricuh.

Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Keppres merekomendasikan sejumlah langkah hukum yang harus dilakukan berdasarkan temuan fakta hasil penyelidikan mereka.

Salah satunya adalah memeriksa pejabat Polri yang meneken surat rekomendasi izin laga dengan risiko tinggi dimainkan malam hari.

"Langkah pimpinan Polri yang telah melakukan proses pidana dan tindakan administrasi dengan melakukan demosi sejumlah pejabat, sudah menjawab sebagian harapan masyarakat dan patut diapresiasi," demikian dikutip dari kesimpulan dan rekomendasi dalam laporan TGIPF yang telah diserahkan ke Jokowi pada 14 Oktober lalu.

"Namun, tindakan itu juga perlu ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap pejabat Polri yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian Nomor Rek/000089/IX/YAN.2.1/2022/DITINTELKAM tanggal 29 September 2022 yang dilakukan oleh Dirintelkam atas nama Kapolda Jawa Timur," kelanjutan rekomendasi yang diperuntukkan bagi Polri di dalam laporan TGIPF itu. bunyi rekomendasi TGIPF.

Kala itu Kapolda Jatim adalah Inspektur Jenderal Nico Afinta.

Beberapa hari usai Tragedi Kanjuruhan, Nicodi tarik ke Mabes Polri untuk menjadi Staf Ahli Sosbud Kapolri. Sedangkan posisi Kapolda Jatim kini dijabat Irjen Toni Harmanto yang sebelumnya merupakan Kapolda Sumatera Selatan.

Saat masih menjabat Kapolda Jatim itu, Nico menyebut penembakan gas air mata di dalam stadion itu prosedural karena terjadi kerusuhan massa.

Namun, rekaman-rekaman video dari ponsel pintar para suporter dalam stadion justru berkata lain tentang gas air mata yang ditembak ke tribun.

Rekaman dan kesaksian itu pula yang kemudian membuat laporan TGIPF maupun Komnas HAM secara terpisah menyatakan gas air mata lah yang menjadi faktor utama terjadinya tragedi menewaskan setidaknya 135 orang itu.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun seakan tak ingin meremehkan apa yang terjadi di Malang pada awal Oktober itu.

Dia mengerahkan pejabat utama di lingkungan Mabes Polri untuk memantau dan menginformasikan perkembangan penyelidikan Tragedi Kanjuruhan.

Setidaknya satu  pekan, sejumlah perwira tinggi dari Mabes Polri bermarkas sementara di Malang kala itu, termasuk pula Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo.

Listyo pula yang memimpin langsung konferensi pers penetapan enam tersangka Tragedi Kanjuruhan di Malang pada 6 Oktober 2022 lalu.

"Telah dilaksanakan gelar perkara meningkatkan status terkait dengan dugaan pasal 359 dan 360 KUHP tentang menyebabkan orang mati atau luka-luka berat karena kealpaan dan pasal 103 ayat 1 juncto pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Berdasarkan gelar dan alat bukti permulaan yang cukup maka ditetapkan saat ini 6 tersangka," ujar eks Kepala Bareskrim tersebut kala itu.

Tapi, lagi-lagi Polri sempat mengklaim gas air mata bukanlah penyebab kematian massal di Kanjuruhan. Klaim itu pun diakui didasari pernyataan sejumlah ahli dan dokter spesialis yang menangani korban.

Mereka terdiri dari para dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan spesialis penyakit mata.

"Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/10).

Berdasarkan pendalaman para ahli, Dedi justru menyatakan, bahwa para korban tewas dalam insiden Kanjuruhan akibat kekurangan oksigen karena berdesakan di pintu keluar stadion.

"Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak," katanya.

Ia menjelaskan gas air mata pada prinsipnya hanya menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan sistem pernapasan dan tidak akan menimbulkan efek fatal. Menurut sejumlah ahli, kata Dedi, tak ada gas air mata yang menyebabkan kematian.

"Di dalam gas air mata tidak ada toksin atau racun yang mengakibatkan matinya seseorang," ucapnya.

Pernyataan Polri itu bertolak belakang dengan temuan TGIPF bentukan Jokowi (14 Oktober 2022) dan kekinian temuan Komnas HAM (2 November 2022). Di dalam laporan keduanya sama-sama menyatakan gas air mata adalah faktor utama pemicu terjadinya tragedi berujung kematian massal itu.

Jokowi Salahkan Pintu dan Tangga stadion
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan langsung ke Malang dan Stadion Kanjuruhan pada 5 Oktober 2022 silam.

Dalam peninjauan yang di antaranya didampingi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menko PMK Muhadjir Effendy, Menpora Zainudin Amali, Ketua Umum PSSI M Iriawan (Iwan Bule), dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.

Pada saat konferensi pers yang rekamannya juga diunggah di saluran Youtube Sekretariat Presiden itu Jokowi mendapatkan pertanyaan dari wartawan mengenai kesimpulannya atas Tragedi Kanjuruhan setelah peninjauan langsung stadion itu.

"Itu nanti tim gabungan independen pencari fakta yang harus melihat secara detail. Tetapi sebagai gambaran saya melihat bahwa problem-nya ada di pintu yang terkunci, dan juga tangga yang terlalu tajam. Ditambah kepanikan yang ada, tapi itu saya hanya melihat lapangannya. Itu semua akan disimpulkan tim independen pencari fakta," kata Jokowi kala itu di Malang.

"Sekali lagi yang paling penting seluruh bangunan stadion akan diaudit oleh kementerian PU," imbuhnya.

Jelang akhir konferensi pers, Jokowi mendapat pertanyaan mengenai pihak yang bertanggung jawab dan harus meminta maaf atas Tragedi Kanjuruhan. Jokowi ditanya, selain investigasi pihak terkait apakah ada yang harus meminta maaf terutama kepada para korban.

Menpora yang berada di kanan Jokowi dengan tangan terlipat terlihat menggaruk kepala lalu menyeka keningnya.

 Ketum PSSI Iriawan dan Kapolri Listyo yang ada di samping kiri Jokowi sama-sama menoleh ke arah presiden. Jokowi memicingkan mata terlihat ingin memaknai maksud pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

Penanya mencoba mengulang kembali pertanyaannya, namun belum selesai kalimat, Jokowi memotong sekaligus menutup sesi tanya jawab itu, "Semuanya dilihat terlebih dahulu secara menyeluruh lewat tim gabungan independen pencari fakta, terima kasih."

Sujud Polisi Malang
Beberapa hari kemudian, Kapolresta Malang Kota diikuti jajarannya melakukan aksi sujud sebagai tanda berduka dan menyesal atas peristiwa Tragedi Kanjuruhan.

Momen sujud bersama itu diunggah dalam akun Twitter @polrestamakota, Senin (10/10). Dalam foto yang diunggah, tampak jajaran personel melakukan sujud bersama di halaman Polresta Malang Kota.

"Mohon ampun kami kepada-Mu ya Rabb atas peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober silam. Tak lupa permohonan maaf juga kami haturkan kepada korban dan keluarganya beserta Aremania Aremanita. Kabulkan doa kami, ya Rabb," demikian keterangan dalam unggahan itu.

Selanjutnya, selang sehari kemudian Kapolres Malang AKBP Putu Kholis Aryana bersimpuh mendoakan para korban insiden maut Stadion Kanjuruhan, pada Selasa (11/10) siang.

Hal tersebut dilakukan Kholis dalam kunjungan pertamanya ke Stadion Kanjuruhan usai resmi menggantikan AKBP Ferli Hidayat sejak Senin (10/10).

Selain berdoa, Putu juga menyisir seluruh area Stadion Kanjuruhan pasca insiden maut usai pertandingan Arema Fc Vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10) lalu. Aksi tersebut dilakukan Putu bersama Kapolsek Kepanjen Kompol Sri Widyasingsih dan Kasat Reskrim AKP Donny Kristian Bara'langi.

Sikap Polisi Korsel atas Tragedi Itaewon
Lain halnya dengan yang terjadi di Korea Selatan, Kepala Kepolisian Korea Selatan Yoon Hee-keun menyampaikan permohonan maaf atas tragedi pesta Halloween di Itaewon, Seoul, yang menewaskan setidaknya 156 orang pada akhir pekan lalu.

Di hadapan wartawan setempat pada Selasa (1/11), Yoon membungkuk dan menyatakan dirinya bertanggung jawab atas tragedi paling mematikan bagi Korsel sejak 2014 itu. Yoon mengakui bahwa respons polisi dalam menangani tragedi Halloween Itaewon 'tidak memadai'.

"Saya merasa tanggung jawab yang besar sebagai kepala lembaga pemerintah terkait," kata Yoon setelah membungkuk di ruang konferensi pers di Seoul.

"Saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk mencegah tragedi tragis serupa terulang lagi di masa depan di saat sekali lagi, perasaan bertanggung jawab atas keselamatan publik tidak akan pernah hilang terutama akibat insiden ini," paparnya lagi seperti dikutip CBS News.

Begitu pula pernyataan dari Direktur Divisi Investigasi Kejahatan Kekerasan Kepolisian Korsel, Oh Seung-jin, yang menuturkan saat ini pemerintah tidak memiliki manual khusus untuk mengatasi kerumunan massa yang terjadi spontan tanpa penyelenggara.

"Untuk festival Halloween kali ini, karena diharapkan banyak orang akan berkumpul di Itaewon, saya mengerti bahwa festival ini disiapkan dengan menempatkan lebih banyak pasukan polisi dari pada tahun-tahun sebelumnya," kata Oh seperti dikutip CNN.

"Tapi memang saat ini tidak ada manual persiapan terpisah untuk situasi seperti itu di mana tidak ada penyelenggara dan diharapkan ada kerumunan orang," imbuhnya.

Kejadian itu bermula saat semakin banyak orang memadati jalan yang menanjak. Kemudian jatuh dan menimpa massa di bawahnya, setelah itu kerumunan panik dan para pengunjung saling injak.

Hingga kini, pihak berwenang masih belum bisa menyimpulkan penyebab tragedi berdarah yang menelan 156 korban tewas ini dan masih melakukan penyelidikan.

Berbagai spekulasi soal penyebab kerumunan bisa berubah menjadi mematikan pada Sabtu malam itu terus bermunculan di kalangan publik. Namun, Sebagian besar publik sampai saat ini meyakini tragedi Itaewon murni kelalaian pengamanan dari pihak berwenang.

Bukan hanya kepala polisi Korsel, para pejabat lain termasuk Mendagri dan Wali Kota Seoul pun menyampaikan permintaan maaf kepada publik.

Pejabat lain, termasuk walikota Seoul dan menteri dalam negeri Korea Selatan, juga menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Mengutip dari media Korsel, Yonhap, Walikota Seoul Oh Se-hoon bahkan meneteskan air mata selama konferensi pers.

"Sebagai Wali Kota Seoul yang bertanggung jawab atas kehidupan dan keselamatan warga, saya merasakan tanggung jawab yang tak terbatas atas kecelakaan itu dan menyampaikan permintaan maaf saya yang terdalam," kata Oh dengan suara tersekat dan berlinang air mata dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (1/10).

Sementara itu di tempat terpisah, Mendagri Korsel Lee Sang-min meminta maaf sambil membungkukkan badan di pertemuan parlemen.

"Saya sangat meminta maaf kepada rakyat sebagai anggota Kabinet dalam posisi bertanggung jawab tanpa batas atas keselamatan rakyat," kata Lee seperti dikutip dari Korea Times, Selasa.

"... Sebagai ayah dari seorang putra dan putri, kejadian ini sangat tragis dan disesalkan. Sulit bagi saya untuk menerimanya. Kenyataan surealis ini dan kata-kata saya tidak dapat menggambarkan betapa mengerikannya [Tragedi Itaewon] itu," imbuhnya.

Sementara itu kepolisian Korsel telah meluncurkan gugus tugas yang beranggotakan sekitar 475 orang untuk menentukan penyebab tragedi, menyisir video kamera keamanan dan mewawancarai saksi.

Mereka mengatakan bahwa panggilan darurat pertama datang pada pukul 18:34 waktu setempat, beberapa jam sebelum penyerbuan maut dimulai, dan ada 10 panggilan lainnya selama beberapa jam berikutnya.

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol pun disebutkan mengamuk usai mengetahui polisi lalai menangani laporan soal tragedi pesta Halloween Itaewon.

Kepolisian disebut tak segera mengambil tindakan saat menerima 11 laporan tingkat bahaya kerumunan dalam festival Halloween di distrik Itaewon dan pada akhir pekan lalu.

Salah satu staf presiden Korsel mengatakan pada Selasa (1/11) malam Yoon menerima laporan panggilan ke hotline polisi saat kejadian. Ia kemudian meminta penyelidikan secara menyeluruh.

"[Mereka yang bertanggung jawab] ditangani secara ketat sesuai hukum dan prinsip," kata pejabat itu kepada Yonhap, Rabu (2/11).

Terpisah, Badan Kepolisian Nasional mengungkapkan isi 11 panggilan darurat yang muncul sekitar empat jam sebelum bencana itu.

Komnas HAM Singgung Itaewon saat Rilis Kanjuruhan
Perihal perbandingan dengan Tragedi Kanjuruhan dan Tragedi Itaewon, Komnas HAM RI sempat menyinggung pula peristiwa yang terjadi di salah satu distrik Seoul tersebut. Ketua Komnas HAM A Taufan Damanik menyinggung Tragedi Itaewon itu sebagai pengingat kepada Kapolri agar melakukan rekomendasi terkait Tragedi Kanjuruhan.

"Kita harap kepolisian Pak Kapolri khususnya memastikan rekomendasi [Komnas HAM] ini bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya, sehingga ada keadilan kepada seluruh korban," kata Taufan usai pihaknya merilis laporan akhir penyelidikan Tragedi Kanjuruhan di kantor Komnas HAM, Rabu (2/11).

Menurut dia, rekomendasi Komnas HAM perlu dijalankan agar tragedi kemanusiaan tersebut tidak kembali terulang. Tidak saja dalam pertandingan sepakbola, tetapi juga secara umum.

Dia mencontohkan soal insiden di Itaewon, Korea Selatan,pada Sabtu (29/10) malamyang mirip dengan peristiwa di Kanjuruhan. Ia mengingatkan tragedi kemanusiaan seperti di Kanjuruhan dan Itaewon bisa terjadi lagi jika tak ada kepatuhan dalam mengelola peristiwa berisiko tinggi.

"Di Korsel itu keramaian lain. Jadi kalau kita tidak taat asas mengelola atau peristiwa high risk bukan tidak mungkin terjadi peristiwa yang kita sebut tragedi kemanusiaan," kata Taufan.(
CNN/wan)